Nusantarakini.com, Jakarta –
Apa yang dapat menggambarkan busuknya sistem pendidikan di Indonesia? Begini.
Kalau seorang wanita mau punya anak, maka enak diawal, tapi susah ketika keluar. Setelah anak keluar, kembali bahagia. Karena dapat menimang bayi.
Lain dengan pendidikan di Indonesia. Mau masuk ke suatu sekolah yang mutunya sedang, sudah susah. Ketika sudah masuk dan berjalan, susah juga. Bayar ini bayar itu, persis seperti di awal. Mau keluar sebelum lulus, juga susah. Mau keluar pas mau lulus-lulusan, juga susah. Bayar ini bayar itu. Setelah lulus, susah juga. Tidak langsung dapat berproduksi. Putar sini putar sana. Lamar sini lamar sana. Sogok sini sogok sana. Bahkan setelah lulus, nganggur dan hidup sengsara. Padahal sepertiga umur sudah dihabiskan oleh sekolah. Ratusan juta selama menjalani hidup dari sekolah ke sekolah tanpa bisa langsung trampil berproduksi, melayang dari kantong orang tua.
Sebenarnya wajar jika Jokowi menggugat IPB baru-baru ini. Gugatan dia sebenarnya merupakan buah bibir selama ini yang beredar di masyarakat. Kenapa kampus pertanian, kiprah lulusannya malah banyak di perbankan. Sampai-sampai banyak yang memplesetkan, IPB, Institut Perbankan Bogor.
Ini tidak bisa disalahkan kampusnya semata. Semua sisi sistem pendidikan di Indonesia turut bertanggungjawab soal yang ganjil ini. Pendeknya, sistem pendidikan di Indonesia hanya mengejar uang dan uang. Akhirnya ya orang pertanian pun beralih ke profesi ngurusin uang.
Nah, yang paling gempar baru-baru ini apa yang terjadi pada praktik sekolah pasca sarjana di UNJ. Bikin bulu kuduk bergidik. Sudah segitunya penyimpangan sistem sekolah di Indonesia.
Lagi-lagi semua itu motif dan startnya uang dan uang. Akibatnya tabrak sana tabrak sini.
Memang di Indonesia, tujuan dan fungsi sekolah sudah lama menyimpang. Tujuan dan fungsinya hanya untuk mendapatkan cap. Setelah mendapatkan cap, dengan cap itu digunakan untuk mencari uang. Lamar sana lamar sini. Akibatnya sekolah ataupun perguruan tinggi adu gengsi cap. Cap itu dikomodifikasi untuk mencari uang pula. Lama kelamaan, cap itu sangat mahal. Bayangkan untuk dapat kuliah pasca sarjana di UI, supaya dicap kartu mahasiswanya, harus keluarin uang sepuluh juta lebih. Apa-apaan ini? Nggak masuk akal.
Demikian setiap kampus berlomba menjadi rumah bisnis sertifikasi. Pokoknya saling isap dan saling peraslah. Rusak dan busuk sebusuk-busuknya sistem pendidikan di Indonesia.
Kalau bisa, bikinlah sekolah yang tak perlu label dan akreditasi. Akreditasinya cukup pengakuan rakyat. Tak perlu menyesuaikan dengan tuntutan ini itu dari pejabat. Cukup bagaimana sekolah berjalan murah, hasilnya terampil berproduksi untuk hidup secara produktif, mandiri dan berakhlak baik. Tak perlu lama-lama di sekolah secara massal. Bagi yang pintar, bisa langsung loncat kelas alias akselerasi. Patokannya: bisa dan siap menjalani hidup secara mandiri, produktif, dan berakhlak baik. Tidak terjebak isapan dan pemerasan sistem hidup busuk dan dekaden yang berlaku. Lulusannya siap membangun kehidupan yang baru dan memberi harapan bagi manusia pada umumnya yang terjebak dalam sistem hidup serba parasit dan merusak. Itu saja, untuk mengakhiri sistem sekolah di Indonesia yang makin nggak karuan hari ini.
Masak sekolah menyusahkan orang tua dan anak: menyusahkan sejak awal ketika mau masuk sekolah, proses, lulus hingga setelah lulus. Masih saja menyusahkan.
~ John Mortir