Nusantarakini.com, Sangatta –
Putusan Sela Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sangatta menolak keberataan Penasehat Hukum Terdakwa Abdullan Bin Cacco, petani gurem di Desa Sepaso Selatan, dalam Perkara No. 217/PID.B/LH/2017/ PN-Sgt dengan pidana pasal 162 Jo pasal 132 UU No.4 Tahun 1999 yang dibacakan tanggal 6 September 2017 oleh ketua Majelis Hakim Tornado Edmawan, SH., MH; dan hakim anggota Alfian Wahyu Pratama, S.H., M.H; dan Muhammad Riduansyah, SH.
Terhadap dakwaan kabur karena syarat formil dan materil yang disampaikan Penasehat hukum terdakwa, Harli, SH, MA, (6/9/2017), penyebutan Abdullah Bin Cacco sebagai Almarhum, seperti dinyatakan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Penutut (JPU). Keberataan syarat materil, dakwaan, tidak mengurai lokasi kejadian berupa batas wilayah Utara, Selatan, Timur dan Barat terjadinya tindak pidana.
Keberatatan Penasehat Hukum terdakwa terhadap Dakwaan JPU Premature, Bukan Tindak Pidana, Delik Aduan—dari pengadu yang tidak memiliki hak mengadu- Majelis Hakim menolak dengan alasan bahwa premature tidak dikenal dalam perbuatan pidana. Malah sebaliknya, Majelis Hakim menyatakan Perkara no No. 217/PID.B/LH/2017/ PN-Sgt me majelis hakim delik umum.
Terhadap semua keberatam Penasehat Hukum Terdakwa, Majelis Hakim menolak semua keberatan Penasehat Hukum terdakwa dengan alasan bahwa tidak ada masalah dengan salah penulisan mengenai, nama, umur dan pekerjaan terdakwa. Sedangkan keberatan mengenai tempat kejadian yang tidak jelas disampiakan dengan jelas, dan mencantumkan pasal yang tidak menegaskan UU mana yang dirujuk dalam mempidanakan terdkawa, tetapi kata Majelis dalam putusannya, tetap dianggap diperbolehkan.
Terhadap pertimbangan Majelsi Hakim Pengadilan Negeri Sangatta, menurut Kuasa Hukum Terdakwa, sangat serampangan dan majelis Hakim kelihatan tidak netral dan berpihak kepada PT.Kaltim Prima Coal. Jelas bahwa perkara ini bukan delik umum, kata Harli SH, MA penasihat hukum terdakwa. Namun yang menjadi pokok keberetan penasehat Hukum Terdakwa—pengadu yang tidak memiliki hak hukum mengadu—seperti yang didasarkan pada Pasal 1 angka 5 dan pasal 98 UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Disinilah kata Penasehat hukum terdakwa, Majelis Hakim masuk angin.
Kata penasehat hukum terdakwa, bahwa PT KPC harus menyelesaikan hak atas yang berada diatas izin PKP2B, izin menambang batubara. Penjelasan mengenai hak atas tanah dibedakan dalam pasal 134, 135 sampai dengan 138 UU No.4 Tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, jelas membedakan ha katas tanah izin menambang. Itulah sebabnya, sebelum menambnag perusahaan wajib membebaskan ha katas tanah masyarakat yang terkena tambang.
Memang ada upaya hukum melalui Banding, namun perkara yang bukan pidana menjadi dibuat pidana, merupakan ketidak adilan, karena menghabiskan waktu terdakwa—yang seharusnya digunakan untuk mencari nafkah bertani menghidupi keluarganya. Namun, kriminalisasi yang tidak sehat ini, menjadi sarana mencipatakan ketidak-adilan.
Melihat upaya kriminalisasi yang dibuat KPC, kata Nachung Tajuddin, Ketua Umum Jaringan Nasional Indonesia Baru, tim pendukung Jokowi Pilpres 2014, menyatakan rantai merupakan sindikat. Para pelaku berhubungan dengan mata rantai pengusaha, dan aparat penegak hukum di Sangatta . Ada ratusan kasus yang terjadi di PN Sangatta memiliki kesamaan, banyak masyarakat yang tanahnya dijadikan areal tambang dan pembuatan jalan hauling dipidanakan padahal belum dibayarkan.
Kelakukan itu, Kata Nachung, merupakan kelakuan lembaga peradilan yang sesat.
Padahal Lanjut Nachung, prinsip Nawacita, yang diusung Jokowi membangun dan menyediakan sarana keadilan bagi masyarakat pinggiran. Apa yang terjadi di Sangatta, merupkan bentuk ketidak adilan. Lembaga yang sejatinya menjadi sarana mencari keadilan malah berpihak ke pemilik modal. [mc]