Nusantarakini.com, Jakarta –
Tragedi Rohingya dan Palestina adalah cermin benggala bagi eksistensi negara-negara yang berpenduduk Muslim seperti Mesir, Turki, Arab Saudi, Malaysia dan tentu saja Indonesia. Ternyata solidaritas dan kemampuan negara-negara Muslim tersebut di dalam memberikan keamanana bagi sesama Muslim impoten sama sekali.
Entah apa yang menghalangi mereka lagi untuk bertindak mencegah pembunuhan massal di Myanmar saat ini. Rupanya sifat bancilah yang membuat para pemimpin negara-negara berpenduduk Muslim tersebut gagal mengungkapkan sikap mereka yang tegas agar pembunuhan massal tersebut dihentikan.
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi salah satu contohnya. Mesir tidak usah disebut. Indonesia yang bertetangga dan satu lingkungan regional ASEAN, dimana Indonesia adalah pendirinya, tidak mampu secara sigap menginisiasi pertemuan dengan para pemimpin ASEAN terkait isu Rohingya.
Ini tidak lagi soal urusan dalam negeri Myanmar. Ini sudah masuk soal perikemanusiaan yang dilanggar secara telanjang. Sudah sewajarnya Presiden Jokowi tergopoh-gopoh memanggil duta besar Myanmar dan menanyakan secara langsung bagaimana pelanggaran perikemanusiaan itu terjadi di sana. Ini kan langkah yang mudah kalau mau. Lebih bagus lagi Indonesia langsung mengumpulkan para pemimpin Asean di Jakarta dan menekan Myanmar supaya segera menghentikan kekejaman di sana.
OKI tidak bisa diharap, karena macan ompong. Turki terlalu jauh di utara sana. Hanya Indonesia yang pantas melakukan tindakan untuk menghentikan pelanggaran HAM yang begitu mengerikan di negeri yang katanya “adiknya negara Indonesia ini”.
Jenderal Soeharto pernah memainkan peranan yang baik dalam memaksa Filipina agar tidak terlalu jauh menggasak komunitas Muslin Moro, di bagian selatan negara itu. Konflik di Kamboja, kisah peranan Indonesia juga sangat penting membawa kedamaian dan pemulihan di negeri Bapak Hun Sen yang mengidolakan Soeharto tersebut.
Sekarang, Myanmar yang jenderal-jenderalnya di masa lalu banyak menimba ilmu politik kepada jenderal-jenderal Indonesia di dalam hal meletakkan hubungan militer dengan negara, harusnya dapat membuka celah bagi pemerintah Jokowi masuk mengambil peranan ke Myanmar untuk menghentikan kekejaman yang sudah masuk kategori genosida.
Kita tahu, problem konflik sipil – militer di Myanmar pasca reformasi masih sebenarnya bagaikan api dalam sekam. Supremasi sipil masih jauh dari pelaksanaan administrasi negara tersebut.
Tapi hal itu tidak menjadi alasan etnis Rohingya yang dijadikan sasaran politik kontestasi. Itu sangat kejam dan tidak termaafkan.
Begitu dulu, untuk sementara. Pokoknya Presiden Jokowi jangan bungkam dan komentarlah, supaya rakyat tahu, pikiran pemerintah terkait kekejaman di Myanmar seperti apa, sih? Kok tiba-tiba lamban dan lambat sekali responnya. Tidak seperti respon terhadap penerbitan HGB untuk Kapuk Naga yang akan mengelola pulau reklamasi. Padahal sudah ditolak jauh-jauh hari lho oleh rakyat.
~ John Mortir