Nusantarakini.com, New York –
Beberapa hari yang lalu di sebuah kota Amerika, Charlottesville, Virginia terjadi kekerasan bahkan merenggut nyawa manusia. Kekerasan yang fatal itu dipicu oleh pandangan rasisme sekelompok warga putih Amerika yang menamakan diri sebagai “White nationalists”. Secara kelompok mereka seringkali diidentik dengan “white supremacy” atau KKK dan juga Neo Nazists. Peristiwa itu menjadikan isu lain tentang Donald Trump tenggelam seolah tak pernah eksis. Isu paling besar selama ini adalah isu keterlibatan Rusia dalam memenangkan Donald Trump pada pemilu presiden Amerika lalu.
Presiden Trump sendiri dalam beberapa hari setelah peristiwa itu diam seribu bahasa. Seolah tidak ada apa-apa walau semua pihak, termasuk media dan para politisi ribut membahasnya. Setelah mendapat desakan kuat barulah Donald Trump memberikan pernyataan mengutuk kejadian itu, termasuk menyebut pihak-pihak yang dianggap paling berganggung jawab. Hanya saja Donald Trump mengomentari dengan komentar yang tidak masuk akal. Mengutuk KKK dan New Nazist. Tapi juga menyalahkan pihak yang menentang esksistensi dan prilaku mereka. Pernyataan Donald Trump ini semakin memperkeruh suasana dan perdebatan yang ada, baik di kalangan para politisi maupun media, bahkan masyarakat luas.
Peristiwa rasisme di Amerika ini, walau bukan sesuatu yang baru, adalah salah satu bentuk paradoks kehidupan yang nyata. Di zaman dan di negara di mana equalitas diakui sebagai nilai yang membanggakan (proud value) tapi juga masih terjangkiti penyakit rasisme yang kronis. Rasisme ini tidak saja menjangkiti banyak orang sebagai individu. Tapi saya khawatir justeru memang masih terjadi rasisme sistim. Di mana daerah-daerah dengan penduduk mayoritas ras tertentu sangat maju. Tapi daerah-daerah yang sebaliknya dari ras lain sangat terbelakang. Saya tidak perlu memberikan contoh-contoh nyata lagi di tulisan ini.
Paradoks dua pemimpin
Sebagai ilustrasi kenyataan paradoks dunia kita, saya menyampaikan dua contoh pemimpin bangsa pada masa dan tempat yang berbeda. Yang satu adalah pemimpin sebuah bangsa di Afrika dan di abad silam, di saat dunia masih dikenal sebagai dunia tribalisme. Dan yang satu lagi adalah pemimpin di negara Barat (tanpa menyebut nama) dan di abad kini, di saat dunia mengaku sebagai dunia yang modern, beradab, lebih maju dalam berlikor dan pendidikan. Dari kedua pemimpin ini siapa yang berhak dan punya otoritas moral (moral authority) untuk mengklaim sebagai pemimpin yang lebih beradab dan berkemajuan?
Pemimpin yang pertama adalah raja Najasyi dari Habasyah (Ethiopia). Beliau adalah pemimpin dari kerajaan Kristen di Afrika saat itu. Pemimpin yang kuat, berwibawa, tapi bijak dan berkarakter. Beliau memimpin di Afrika, dan justeru di abad ketujuh yang dikenal sebagai abad yang masih sangat terbelakang. Tapi kenapa beliau mempu menjadi pemimpin yang luar biasa dan berkarakter? Saya sangat yakin bahwa itu karena dampak dari ajaran Isa AS yang dihayatinya.
Karakter kepemimpinan yang berkarakter dan beradab itu dibuktikan di saat sekelompok orang asing dari luar negaranya, yang tidak dikenalnya, bahkan datang dari negara yang kerap konflik dan perang. Mereka adalah pengikut Rasulullah SAW yang datang ke mereka di awal-awal datangnya risalah Islam untuk mendapat perlindungan dari kebiadaban para kafir musyrik di Mekah. Sang raja harusnya curiga, mereka adalah orang-orang Arab yang dikenal keras, senang perang, dan kurang bermoral. Tapi membuka mata, pikiran sekaligus hati terhadap realita di hadapannya. Bahwa pre asumsi yang terkadang menjadi kesimpulan belum tentu adalah sebuah kesimpulan yang benar. Oleh karenanya beliau memastikan siapa mereka yang hadir di hadapannya itu dengan menanyakan keyakinannya. Dan pemimpin rombongan itu, Jafar bin Abi Thalib, hanya mengutip beberapa ayat dari Surah Maryam. Sang raja pun membuka pikiran dan mata hatinya menemui keagungan akan ajaran yang diyakini oleh pendatang itu.
Pemimpin yang kedua adalah pemimpin sebuah negara besar, di bagian dunia yang merasa lebih maju dalam berpikir dan peradaban. Dan justeru di masa yang diakui sebagai masa modern dan lebih beradab, berilmu dan berkemajuan dalam pemikiran. Tapi justeru yang terjadi adalah memilah-milah manusia berdasarkan ras dan asal kesukuan. Pemimpin yang menimbang-nimbang manusia berdasar warna kulit dan bentuk wajahnya. Pemimpin yang menolak kedatangan mereka yang terusir dari negaranya karena perang yang direkayasa oleh siapa? Mereka ditolak karena dicurigai jangan-jangan pendatang itu membawa karakter keras, menjadi teroris, karena mereka datang dari negara yang dilabeli teroris. Padahal para pendatang itu melarikan diri dari teroris-teroris ciptaan siapa?
Dari kedua pemimpin itu siapakah yang berhak mengaku lebih berkemajuan, beradab dan menghargai nilai-nilai universal kemanusiaan yang agung, kesetaraan di antaranya? Apakah pemimpin abad tujuh di sebuah negara Afrika atau pemimpin di abad 21 di sebuah negara maju?
Rasisme itu penyakit bersejarah
Saya menyebutnya penyakit bersejarah (historic sickness) karena sesungguhnya penyakit bermula sejak awal penciptaan manusia (Adam). Saat itu Adam sebagai makhluk yang terbaik, bentukan yang tersempurna dengan potensi yang dahsyat, menjadikannya makhluk termulia. Dan karenanya makhluk yang selama ini termulia, terdekat, terhormat di sisi Allah (malaikat) teruji. Semua diperintahkan untuk sujud sebagai penghormatan kepada Adam AS.
Salah satu ciptaan Allah yang berada di level malaikat saat itu adalah Iblis. Saat itu boleh jadi Iblis lebih mulia dan terhormat karena kenyataan bahwa dia adalah jin, tapi secara religius berada di level malaikat. Dan karenanya ujian terberat dalam penghormatan kepada Adam ini adalah terjadi kepada diri Iblis. Dan karenanya dengan tegas Iblis menolak untuk bersujud kepada Adam. Dan alasan yang dipakai adalah: “saya lebih baik dari dia. Engkau ciptakan saya dari api dan Engkau ciptakan dia dari tanah” (Al-Quran).
Penolakan menghormati dan menghargai orang lain karena alasan fisik/materi inilah yang disebut dalam bahasa modern sebagai rasisme. Oleh karenanya merujuk kepada sejarah Adam dan Iblis ini wajar jika penyakit rasisme ini dikategorikan sebagai penyakit bersejarah. Penyakit yang terjadi sejak awal penciptaan manusia.
Sejarah rasisme ini berlanjut dalam perjalanan sejarah manusia. Fir’aun di Mesir memperbudak Bani Israil karena mereka datang dari etnik lain (Syam). Sementara Mesir saat itu mengkategorikan diri mereka sebagai bagian dari bangsa Romawi.
Hingga masa awal Islam hadir kembali ke tanah Arab. Rasisme adalah salah satu penyakit sosial bangsa Arab saat itu. Perbudakan menjadi tradisi umum atas mereka yang secara ras miskin dan terbelakang. Khususnya mereka yang secara ras berkulit hitam. Mungkin yang paling terkenal adalah kasus keluarga Ammar bin Yasir dan Bilal bin Rabah.
Islam memerangi rasisme
Pertanyaan yang kerap kali ditanyakan oleh orang lain adalah apakah Islam memerangi rasisme atau sebaliknya mendukung rasisme?
Yang menyedihkan memang terkadang kecurigaan jika Islam mendukung rasisme adalah karena memang masih terjadi praktek-praktek rasisme di belahan dunia Islam. Di negara-negara Timur Tengah hingga kepada keislaman seseorang masih kerap kali dinilai berdasarkan ras dan bentuk wajah. Jika anda berwajah Asia, apalagi tanpa janggut, maka dengan itu seolah iman anda kurang dari mereka yang berwajah Arab, apalagi dengan janggut panjang.
Penilaian keislaman bahkan keimanan seperti ini bagi saya, sengaja atau tidak, adalah rasisme dalam beragama dan atas nama agama. Padahal Rasul sendiri mengatakan: “Sungguh Allah tidak melihat kepada bentuk fisik anda. Tapi kepada hati dan amal anda”.
Lalu langkah-langkah apa saja yang Islam lakukan dalam rangka membasni, minima mengurangi pandangan dan karakter rasisme ini?
Berikut saya sampaikan secara singkat dan sederhana:
Satu, melalui konsep tauhid: “laa ilaaha illa Allah”. Konsep ini bukan sekedar konsep vertikal tanpa konsekwensi horizontal. Ketika seorang Muslim mengikrarkan bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka pada saat yang sama harus yakin bahwa “superioritas” atau “supremasi” itu hanya milik Dia Yang Maha Tunggal. Dan karenanya selain Dia, semua sama secara mandasar. Keimanan kepada Tuhan yang Satu tapi membeda-bedakan manusia adalah keimanan yang gagal secara horizontal (hablun minannas).
Dua, melalui konsep satu keluarga kemanusiaan kita. Bahwa siapapun kita saat ini, dalam hal apa saja, termasuk suku, ras, warna kulit, bahkan strata sosial, kita jangan lupa bahwa kita semua berada dalam satu keluarga kemanusiaan (one human family). Kita diciptakan dari satu orang (nafsin wahidah) dan dari pasangan yang satu (dzakar wa untsa). Dan karenanya membeda-bedakan manusia atas dasar suku dan ras atau warna kulit adalah penghinaan pada keluarga, bahkan diri sendiri.
Tiga, perbedaan apapun dalam hidup itu, termasuk ras, warna kulit, dan juga bahasa, dan lain-lain adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. “Dan di antara tanda-tanda kebesaranNya bahwa Dia menciptakan langit dan bumi, dan perbedaan warna kulit dan bahasa kamu. Sungguh yang demikian itu adalah tanda-tanda bagi orang-orang yang berilmu” (Al-Quran). Lain kata, mereka yang gagal menemukan kebesaran Allah dalam keragaman ras dan bahasa itu adalah orang-orang yang tidak berilmu alias bodoh.
Empat, bahwa Islam memandang kemuliaan setiap orang tanpa kecuali. Bahwa setiap manusia terlahir dalam keadaan dimuliakan (mukarram). Dan kemuliaan ini adalah kemuliaan samawi, pemberian langsung tanpa ikatan apapun oleh yang Mencipta. Oleh karenanya merendahkan seseorang karena ras atau warna kulit, sama saja merendahkan Tuhan itu sendiri. Sungguh sebuah kesombongan manusia yang rasis.
Lima, Islam menilai manusia hanya melalui satu kriteri. Kriteria yang tidak dibatasi oleh batasan-batasan dunia dan materi. Tapi ditentukan oleh satu yang semua manusia, apapun latar belakangnya mampu memilikinya. Itu ketakwaan. Sebuah pertimbangan yang ditentukan oleh hati (iman) dan karya (prilaku). Dan dalam hal ini, siapapun dia (orang itu) memiliki kesempatan yang sama.
Akhirnya, sunggguh berbangga umat ini menjadi pengikut baginda Rasulullah SAW. Bahwa sejak awal kedatangan risalah (message) yang dibawanya, semua dengan tegas menentang sikap rasisme Arab saat itu. Sebaliknya beliau bangun dan suburkan kesetaraan yang sejati antar manusia. Beliau memandang Bilal setara dengan Abu Bakar, Salman setara dengan Umar. Selebihnya penilaian itu ada pada Allah. Tapi sebagai manusia beliau menempatkan sahabat-sahabatnya pada posisi yang setara. Mungkin dalam bahasa sabdanya: “bagaikan gigi-gigi sisir yang rata.”
Inilah yang menjadikan beliau di saat melaksanakan ibadah haji yang dikenal dengan haji wada menyampaikan “deklarasi hak-hak asasi” dan “kesetaraan manusia secara universa”. Saat itu beliau menyampaikan khutbah wada’ yang berisikan antara lain: “Sesungguhnya bapak kamu satu, Adam. Dan Adam diciptakan dari tanah. Tidak ada kelebihan orang Arab atas non Arab, dan tidak ada pula kelebihan non Arab atas orang Arab, kecuali dengan ketakwaan”.
Pernyataan ini disampaikan oleh beliau di padang Arafah, di abad ketujuh, yang berabad-abad kemudian orang-orang di dunia Barat merumuskannya dalam deklarasi hak asasi manusia. Deklarasi Vienna inilah yang dikenal dengan nama: Declaration of Human Rights.
Umat ini hanya perlu sadar, perlu lebih mendalami dan kembali menghayati ajaran agamanya. Sebab semakin tahu dan sadar akan agama ini semakin pula akan membanggakan, sekaligus menjadi tanggung jawab untuk membawanya menjadi lentera di tengah kegelapan dunia modern saat ini. Semoga!
Khutbah Jumat di Jamaica Muslim Center hari ini (18 Agustus 2017)
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation. [mc]