Nusantarakini.com, New York –
Sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak setiap orang, dan karenanya sekaligus menjadi hak setiap bangsa di atas dunia ini. Setiap orang terlahir dalam keadaan merdeka. Merdeka dari segala ikatan apapun kecuali ikatan Ilahi. Keterikatan ilahi inilah yang lazimnya dalam bahasa agama dengan “fitrah”. Dengan demikian sesungguhnya kemerdekaan sejati itu adalah kembalinya manusia kepada fitrahnya.
Di sinilah rahasianya kenapa manusia tidak akan menemukan ketenangannya, baik pada tataran kehidupan pribadinya maupun pada kehidupan kolektifnya, di saat kemerdekaannya terampas. Bahkan rela mengorbankan alam fisik dan jasadnya demi menemukan kemerdekaan itu. Karena di saat kemerdekaan terampas di saat itu pula nilai dasar kemanusiaan setiap terampas. Dan di saat kemanusiaan itu terampas, manusia sesungguhnya hanya hidup dalam kepura-puraan.
Bertolak dari pemahaman kemerdekaan sebagai “fitrah” kemanusiaan kita, maka boleh jadi kemerdekaan yang kita rayakan dengan ragam cara itu menjadi seusatu yang kurang bermakna. Betapa tidak, sejujurnya hidup manusia saat ini semakin jauh dari nilai-nilai kefitrahan. Sehingga dengan sendirinya hidup yang jauh dari kefitrahan adalah kehidupan yang belum merdeka.
Hidup yang berlandaskan fitrah, baik pada tataran individu maupun kolektif, itulah hidup yang merdeka. Dan hidup yang merdeka inilah yang mampu menemukan ketenangannya. Hidup yang tidak diikat dan tidak diperbudak oleh ciptaan. Hidup yang tiada penghambaan kecuai kepada Yang
Maha Mencipta. Hidup yang selalu hadir dalam denyut jantungnya “dzikrullah”. Sebagaimana dititahkan dalam firmanNya: “bukankah dengan mengingat Allah hati-hati manusia menjadi tenang”.
Kemerdekaan sejati itu bermula dengan hadirnya “koneksi samawi” dalam hidup. Hadirnya kemaha tunggalan yang mencipta langit dan bumi dan seluruh yang ada di dalam dan di luarnya. Dan bagi umat Muslim langkah pertama dalam kemerdekaan ini dibangun di atas keyakinan tauhid “laa ilaah illa Allah”. Keyakinan inilah yang diterjemahkan dalam sila pertama dasar negara Indonesia, Pancasila, dengan kalimat: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di atas ikrar Ketuhanan Yang Maha Esa, kehidupan manusia Indonesia, baik pribadi maupun sebagai bangsa terbangun. Dengan semangat ikatan samawi, ikatan Tauhid, bangsa ini membangun kehidupa kolektifnya secara musyawarah dan mufakat (demokrasi yang menjunjung tinggi kebersamaan). Dengan semangat yang sama bangsa ini akan selalu mengedepankan kesatuan dalam meraih cita-cita kolektifnya. Hanya dengan semangat tauhid ini pula bangsa Indonesia mampu menampilkan nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi adab dan peradaban. Serta dengan semangat ketuhanan dan tauhid itu Indonesia akan termotivasi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh komponen masyarakat.
Bertolak dari pemahaman di atas sesungguhnya ancaman terhadap kemerdekaan, apalagi dalam konteks dunia saat ini, bukan lagi penjajah yang datang dari luar. Tapi ketika kemerdekaan itu menjadi sebuah simbol yang tidak memiliki substansi fitrah lagi. Di saat itu hidup manusia jauh dari akarnya (fitrah). Dan jika itu terjadi maka kemerdekaan yang telah diproklamirkan 72 tahun silam boleh jadi menjadi kebanggaan yang hampa.
Kata lain dari hal di atas adalah bahwa musuh terbesar bangsa Indonesia saat ini adalah segala hal yang mengancam kemanusiaannya. Dan kemanusiaan itu adaah fitrahnya. Dan fitrah itu adalah “dzalika ad-diin al-qayyim” (agama yang lurus).
Maka segala hal yang bertentangan dengan agama, sejatinya dilihat sebagai ancaman kemerdekaan. Dari komunisme, sekularisme, hingga kepada paham-paham yang secara langsung atau tidak merendahkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan bangsan dan negara.
Bukan sebaliknya. Justeru terkadang hal-hal yang berbau agama, agamis, dan mendukung fitrah kemanusiaan yang berketuhanan justeru dijadikan momok yang menakutkan. Bahkan dengan segala cara berusaha untuk dibasmi hingga ke akar-akarnya.
Saya khawatir, jangan-jangan di satu sisi kita memperingati kemerdekaan bangsa. Tapi di sisi lain kita membiarkan musuh-musuh itu merampas kembali kemerdekaan kita. Wal-iyadzu billah! [mc]
New York, 17 Agustus 2017.
*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation.