Nusantarakini.com, Jakarta –
Kita pakai istilah bencong di sini bukan dengan maksud menyudutkan dan meremehkan kelompok sosial tertentu. Cuma karena istilah bencong sudah menjadi lumrah dan mafhum, demi memudahkan pemahaman terhadap pesan tulisan ini, maka yang dimaksudkan dengan bencong ialah pribadi lembek, disoriented, pengecut dan remeh.
Ya…kemerdekaan yang kita raih, sebenarnya sudah berusia lanjut. Bayangkan sudah 72 tahun. Namun apa yang disaksikan dengan kemerdekaan setua itu.
Yang kaya makin kaya. Yang miskin makin miskin. Ironi dimana-mana.
Setiap instansi negara berpesta dengan kemerdekaan itu. Katanya untuk merayakan. Tapi sejatinya, merayakan diri mereka sendiri.
Anak-anak yatim dan terlantar di Republik ini, hanya mampu menatap murung kebiasaan perayaan itu. Sebab, mereka tak pernah merasakan indahnya merdeka dari kelaparan, kedinginan dan ketakutan sebagaimana bapak-bapak hebat di berbagai instansi itu.
Di sini, ironi kemerdekaan itu mencuat getir. Di sini, aroma semerbak kemerdekaan itu hanya beredar dari istana ke istana, dari kantor-kantor megah dan lapangan-lapangan hijau dingin. Lagi-lagi anak-anak yatim dan terlantar dari Republik ini menatap sendu dan parau.
Itulah ironi kemerdekaan. Ada yang berambisi ingin menunaikan janji kemerdekaan, tapi lama kelamaan makin sayup-sayup saja janji-janji itu.
Yah mau apa lagi. Siapa yang kuat, dialah yang berkuasa. Demikian rumusnya.
Kita kehilangan generasi-generasi trengginas seperti Soekarno Hatta. Yang ramai ialah generasi bencong yang loyo dan kemayu. Tidak bisa protes. Hanya membebek.
Generasi yang titik perhatiannya kepada kesenangan dirinya sendiri. Generasi unyu-unyu yang baunya tidak sedap. Tapi dimanja hingga rengsek di bawah titah penguasa.
Itulah ironi 72 tahun Indonesia merdeka. Yang katanya menghasilkan generasi milenial yang centil genit yang nggak penting bagi mereka yang terhampar di jalanan yang kejam.
~ John Mortir