Nusantarakini.com, Jakarta –
Yang selalu dijaga oleh negara-negara berkembang, juga negara-negara maju, adalah stabilitas dalam dua wilayah ekonomi, yaitu Government Expenditure atau Belanja Negara, dan Foreign Exchange Rate, atau nilai tukar. Masing-masing melibatkan dua neraca keuangan, yaitu neraca penerimaan dan pengeluaran negara, dan neraca pembayaran devisa. Kedua neraca itu masing-masing harus diusahakan seimbang.
Di kedua wilayah itulah menjadi problema Indonesia yang tidak pernah selesai. Dan untuk ke sekian kalinya, sekarang, Indonesia menghadapi situasi kritis. Itulah yang saya maksud dengan situasi kobol-kobol. Maksudnya, kalau Anda punya kantong uang, maka kantong itu berlubang cukup besar, dan uangnya bebas keluar untuk berbelanja dan lain-lain yang tak terkendali, sehingga habis. Dan Anda kesulitan untuk melanjutkan hidup, kecuali diselamatkan oleh sesuatu operasi besar.
Kebocoran dalam neraca penerimaan dan belanja negara atau APBN disebut defisit dalam APBN, disebabkan oleh penerimaan negara (dalam rupiah) berada di bawah target belanja negara. Belanja Negara memang ditargetkan demi kesejahteraan rakyat, tanpa harus melihat penerimaannnya yang terutama berasal dari pajak.
Untuk negara-negara maju itu tidak menjadi soal, sekalipun harus berutang, baik dengan meminjam dari dalam negeri maupun dari luar negeri, yaitu dengan menerbitkan Surat Utang (Obligasi). Dengan volume perekonomian mereka yang besar, cicilan utang dan bunganya bisa mereka bayar dengan mudah. Utang Negara seperti AS meliputi ribuan triliun dollar; dan sudah terjadi puluhan tahun. Kalau bakal kesulitan bayar, dia bikin perang dengan menjual senjata. Teknologilah yang akan membayar itu semua. Itu pun masih tersisa banyak untuk kegiatan explorasi di angkasa luar….!
Indonesia masih negara kecil, dan tidak pernah, bahkan tidak akan pernah, menjadi negara maju, karena tidak pernah mampu memilih pemimpin yang berkualitas. Sudah cukup puas kalau melihat calon pemimpinnya Ulama seperti Gus Dur, atau gagah seperti SBY, atau pandai ‘ngecap’ seperti Jokowi! Ternyata Anda semua salah pilih!
Sejak jaman Pak Harto, kita perlu belanja negara (G) besar, agar kesejahteraan meningkat, si miskin bisa menyekolahkan anak-anaknya, petani bisa menggarap sawah lebih luas, listrik biar tidak “byar-pet,” industri bisa berkembang dan lain-lain. Tapi karena yang miskin sangat banyak, maka penerimaan dari pajak (T) tidak cukup, sehingga (T-G<0). Karena itu harus berutang dari luar negeri. Di sini Pak Harto membuat kesalahan, karena untuk bisa utang, kita pun harus menyerahkan kekayaan alam kita kepada Asing. Di sinilah jahatnya kolonialisme. Tapi, bolehlah, asal untuk sementara.
Pada awalnya Pak Harto cukup hati-hati dengan mengendalikan jumlah Utang Luar Negeri/ULN pihak Pemerintah. Tetapi 20 tahun kemudian, pada 1987/88 dibuat liberalisasi dalam keuangan, di mana pihak Swasta pun boleh berutang dari LN. Kolonialisme dan Neo-Liberalisme mulai merasuk lebih jauh ke dalam Perekonomian kita. Utang LN menjadi tidak terkendali. Sampai dengan akhir Pak Harto, ULN sudah mencapai USD 137,4 milyar.Pemerintah USD 65,9 milyar dan Swasta USD 72,5 milyar.
Memang sudah banyak yang dibangun Pak Harto, tetapi pondasi ekonomi Indonesia yang kuat lupa dibangun. Antara lain, SDM/ Sumberdaya Manusia dan Teknologi. SDM kita tetap digaji murah, sehingga produktivitasnya pun rendah. Unjukrasa buruh dilarang, bahkan ada yg dipenjara dan dibunuh. Pengusaha-pengusaha Cina dibiarkan mengambil keuntungan besar dan menjadi Konglomerat. Kita tidak dididik untuk menguasai Teknologi pengolahan SDA/Sumberdaya Alam, sehingga hasil tambang-tambang kita dijual dengan harga murah. Lalu olahannya dibeli pada harga yang amat mahal. Hutan kita dihabisi, dijuali dengan harga murah, tanpa diolah.
Hasil penerimaan dari pajak memang naik, tapi tetap tidak cukup. Di sini terjadi kesalahan lagi dengan memberlakukan PPN/Pajak Pertambahan Nilai. Padahal nilai tambahlah yang mau kita ciptakan, lha kok, malah dipajaki! Akibatnya orang menghindar dari menciptakan nilai tambah. Akibatnya, GDP kita lebih kecil dari yang seharusnya. Akibatnya, kecil pula pajak yang seharusnya bisa dihimpun. Akibatnya, kita terus berutang ke LN lagi! Konsep PPN itu hasil kreasi sebuah universitas di AS, yang di sana pun PPN tidak diberlakukan. Kita tertipu lagi!
Kembali ke soal penerimaan negara, ternyata tiap tahun sejak Jokowi naik bale, tiga tahun berturut-turut kita kehilangan 30% dari pajak, yang besarnya kira-kira Rp 400-500 triliun. Jadi total kira-kira Rp 1,400-1,600 triliun hilang. Inilah besaran (G-T) yang hilang dari target (G) sebesar Rp 1,500-2,000 triliun belanja negara tiap tahun selama 2015 s/d 2017.
Bahkan bisa lebih besar lagi kalau tahun ini berakhir. Dan inilah penyebab dari turunnya daya beli masyarakat yang menjadi perdebatan akhir-akhir ini. Belanja Negara (G-T) yang hilang itu menyebabkan turunnya pendapatan masyarakat.
Pertanyaannya, ke mana Rp 1,500-2,000 triluun itu menghilang?! Kenapa persis sekali sesudah Jokowi naik bale Kepresidenan?! Dugaan orang yang berpikir wajar, ya karena ulah para Mafia Cina itu…! Mentang-mentang mereka sudah berjasa mendudukkan Jokowi, lalu ogah membayar pajak! Itulah penyebab defisit APBN!
Mestinya Mafia-mafia Cina inilah yang harus dikejar Sri Mulyani! Tidak perlu Petani Tebu dikejar-kejar dengan pajak. Tidak perlu para Pensiunan ditanya-tanya kekayaannya. Tidak perlu para Mahasiswa dikejar-kejar, bahkan anak-anak SMA disuruh bikin NPWP! Kejarlah itu Pendana Meikarta yg bisa menyimpan 300 triliun; dan para Pengembang 17 Pulau Reklamasi ratusan triliun yang lain.
Mereka itulah yang tiba-tiba tidak mau bayar pajak, karena punya proyek sendiri! Mereka harus ditangkap dan diperiksa pembukuannya! Jangan Dana Haji yang selama ini tidak diganggu… eh, dirampok juga! Kabarnya Dana Pensiun di PT. Taspen, PT. Asabri dan PT. Jamsostek juga nyaris ludes…!
Ternyata benar! Menurut Majalah Forbes, ada 8 (delapan) Konglomerat, termasuk orang nomor satu dan dua paling kaya, tidak punya NPWP…! Pada 2014, kekayaan dua bersaudara Robert Budi alias Oey Hwicong, dan Michael Bambang alias Oey Hwisiang Hartono itu diperkirakan sekitar USD 15 milyar. Sekarang mungkin sudah USD 20-25 milyar.
Jadi, selama ini, mereka bayar pajak atau tidak bayar pajak tidak ketahuan! Forbes sendiri secara rutin menerbitkan 50-100 orang Terkaya Indonesia. Mungkin tidak cuma delapan orang yang tanpa NPWP, tapi lebih banyak lagi!
Bagaimana ini Sri…?! Ini skandal besar. Christine Lagarde, Presiden IMF, saja diperiksa pengadilan sampai 3 kali atas skandal pencairan dana sewaktu dia menjabat Menteri Keuangan Prancis. Mestinya si Sri ini bertanggungjawab dan mundur! Kalau di Jepang dia sudah harus harakiri…! Si Sri ini memang tukang kasih lolos para konglomerat, umumnya Cina, yang melarikan diri dari membayar pajak. Kalau Gayus Tambunan masih kelas teri; sedang si Sri ini Big Fish! Belum lagi soal Skandal Bank Century 2008 sebesar Rp 6,7 triliun.
Jadi, rusaknya ekomomi kita ini karena ulah dari para Taipan Mafia Cina yang mencuri uang pajak. Itu dari sisi defisit Belanja Negara. Bagaimana menyelesaikan persoalan itu, dalam tulisan sebelum ini sudah saya jelaskan. Antara lain, berutang lewat ULN atau UDN. Mungkin ULN sudah terlalu banyak, sedang UDN masih ada beberapa opsi. Dari kenyataan Kasus Meikarta dan Reklamasi, para Taipan Penjahat Pajak ini masih bisa “diperas” beberapa ratus atau ribu triluun rupiah. Jadi tidak perlu UDN.
Umumnya, sebuah Kebijakan Gabungan Fiskal-Moneter bisa dilakukan. Di satu pihak mengurangi pajak (T), yaitu agar masyarakat masih bisa bergeming dan beraktivitas, sehingga defisit (G-T) meningkat, dan meningkat pula sisa (S-I) tabungan (S) untuk investasi (I). Kalau Expansi Fiskal ini (G-T=S-I) bisa mengakibatkan meningkatnya Jumlah Uang Beredar, maka GDP bisa naik. Yaitu, tergantung bagaimana melaksanakan UDN untuk menarik dana dari masyarakat, dari dunia perbankan, atau dari Bank Sentral.
Hal itu pernah dilakukan di AS di zaman Ronald Reagan, dikenal dengan Reaganomics dan berhasil. Di situ terjadi hubungan timbal balik yang erat antara Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral. Tetapi, defisit yang terjadi di AS itu akibat depresi ekonomi yang memang melanda AS di bawah Jimmy Carter, dan bukan disebabkan oleh ulah pembayar pajak seperti di Indonesia di bawah Jokowi ini. Di AS Ditjen Pajak atau IRS/Internal Revenue Service adalah badan yang independen dari Kementerian Keuangan. Sehingga, teknik tersebut di atas tidak bisa dijalankan di Indonesia.
Untuk Indonesia, satu-satunya jalan yang mungkin adalah mencegah para Mafia Cina itu membikin dan membangun proyeknya sendiri. Semata-mata mencegah “uang Negara” ratusan atau ribuan triliun rupiah itu hilang dari tangan Pemerintah, dan diputar-putar mereka sendiri; seperti negara dalam negara.
Bahkan “pencuri uang Negara” itu sejak awal harus sudah dicurigai. Ini sudah hampir tiga tahun masih didiamkan saja! Seharusnya mereka ditangkap, diadili dan dipenjara. Pada masa lalu mereka bisa dituduh melakukan tindak pidana subversi. Kiranya tuduhan MAKAR, karena melanggar Pasal 106 KUHP, bisa disangkakan kepada mereka pula; di samping pasal-pasal lain.
Tentulah uang mereka harus disita untuk Negara dan dibelanjakan seperti umumnya. Bagaimana, kalau Jokowi terlibat?! Tentu ada caranya sendiri untuk mengatasinya. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Akademisi Universitas Indonesia.