Nusantarakini.com, Jakarta-
Adalah sebuah kegelisahan bagi bangsa ini jika utang terus menggunung tanpa jelas hutang tersebut nanti akan dibayar pakai apa dan bersumber dari mana pos pemasukan negara untuk membayar utang tersebut. Adalah juga sebuah keniscayaan bagi semua negara untuk berutang demi kepentingan negaranya. Dan adalah juga sebuah realita setiap bangsa tidak akan lepas dari utang, karena utang adalah salah satu instrumen untuk mempercepat pembangunan, atau sebuah upaya untuk mengentaskan kemiskinan.
Negara tentu boleh berutang, yang tidak boleh itu adalah negara berutang ugal-ugalan tanpa jelas sumber pos pembayarannya dan juga tidak boleh berutang untuk gagah-gagahan seperti membangun infrastruktur tanpa perencanaan matang dan akurat urgensinya bagi kehidupan masyarakat, hingga melupakan membangun sumber daya manusianya sendiri. Melupakan dan mengabaikan pembangunan manusia dan kehidupan manusianya, itu yang tidak boleh.
Fakta bahwa Indonesia telah berhutang sejak negara ini baru terbentuk dari zaman Hindia Belanda hingga menjadi sebuah negara merdeka yang pertama sekali dipimpin oleh Presiden Soekarno. Utang perlu untuk menjaga kelangsungan kehidupan manusia dan membangun bangsa secara perlahan, berpijak kepada kebijakan yang menghitung daya mampu bangsa. Dari era Soekarno hingga era SBY, hutang diambil oleh negara masih layak kita kategorikan dalam kata wajar, urgen dan peruntukannya jelas. Dan hasilnyapun terlihat, Indonesia saat inilah yang kita nikmati dari hasil semua itu. Hasil kemampuan negara dan hasil dari berutang.
Namun demikian, ada kondisi yang saat ini sungguh menggelitik dan membuat kening berkerut. Adalah seorang Presiden Republik Indonesia, yang saat ini sedang berkuasa yaitu Presiden Joko Widodo, yang seolah menyalahkan utang masa lalu menjadi bebannya. Dan seolah semua utang yang ada sekarang adalah akibat utang masa lalu yang tidak seharusnya dibebankan tanggung jawabnya kepada Jokowi. Setidaknya itulah kesimpulan pemikiran yang saya dapatkan dari pernyataan Jokowi di hadapan pengurus Persatuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) tanggal 31 Juli 2017 lalu. Pernyataan yang tidak elok dari seorang Presiden karena terkesan menyalahkan para pemimpin pendahulunya yang sesungguhnya jauh lebih sukses dari kepemimpinan Jokowi saat ini.
Marilah kita sedikit bicara fakta tentang utang negara kita. Kita tidak akan melihat fakta utang jauh ke belakang. Tapi kita akan mencoba melihat fakta utang kita sejak kepemimpinan Megawati, SBY hingga Jokowi 3 tahun memerintah. Megawati mewariskan utang negara kepada SBY senilai USD 139,7 miliar atau sekitar Rp. 1.298 T dengan ratio hutang 56,5%. Kemudian dalam pemerintahan SBY standing utang kita adalah sebagai berikut :
Tahun 2005 utang negara USD 133,4 miliar atau sekitar Rp. 1.311,7 T dengan ratio utang 47,%.
Tahun 2006 utang negara USD 144,5 miliar atau sekitar Rp. 1.302,2 T dengan ratio utang 39%.
Tahun 2007 utang negara USD 147,5 miliar atau sekitar Rp. 1.389,4 T dengan ratio utang 35,%
Tahun 2008 utang negara USD 149,5 miliar atau sekitar Rp. 1.636,7 T dengan ratio utang 33%.
Tahun 2009 utang negara USD 169,2 miliar atau sekitar Rp. 1.590,7 T dengan ratio utang 28%.
Tahun 2010 utang negara USD 187 miliar atau sekitar Rp. 1.681,7 T dengan ratio utang 24%.
Tahun 2011 utang negara USD 199,5 miliar atau sekitar Rp. 1.809 T dengan ratio utang 23%.
Tahun 2012 utang negara USD 204,5 miliar atau sekitar Rp. 1.977,7 T dengan ratio utang 23%.
Tahun 2013 utang negara USD 204,9 miliar atau sekitar Rp. 2.375,5 T dengan ratio utang 24%.
Tahun 2014 utang negara USD 209,7 miliar atau sekitar Rp. 2.608,8 T dengan ratio utang 24%
Dengan fakta di atas, ada penambahan utang sebesar USD 70 miliar selama 10 tahun atau rata-rata USD 7 miliar setiap tahunnya. Dengan penambahan utang tersebut, Indonesia mampu membangun infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, jalan tol, alat utama sistem persenjataan TNI, gaji TNI, Polri dan PNS naik, membangun sumber daya manusia, membangun kemanusiaan dan memberikan subsidi kepada rakyat baik dalam bentuk BLT, subsidi BBM, subsidi listrik, sekolah gratis, kesehatan dan beasiswa.
Indonesia bahkan tercatat melunasi utang kepada IMF yang dibuat oleh Presiden Soeharto kala Indonesia krisis ekonomi 1997; dan bahkan hebatnya Indonesia menjadi Investor di IMF sebesar USD 2 miliar. Fakta kehidupan ini tentu dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia di tengah kekurangan dan kelebihan serta prestasi pemerintahan SBY selama 10 tahun. Dan tentu, SBY juga setiap tahun dalam APBN pasti menganggarkan membayar bunga dan cicilan pokok pinjaman utang negara. Semua beban terukur dan terlaksana tanpa menjadi beban tambahan bagi rakyat.
Kemudia pasca presiden SBY menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan kepada Presiden Jokowi, Indonesia pun tetap membutuhkan utang. Namun sayangnya, pemerintahan Jokowi berhutang ugal-ugalan hingga dalam 2,5 tahun kepemimpinannya, Jokowi telah menyamai besaran utang era 10 tahun pemerintahan SBY. Fantastis, luar biasa, padahal subsisdi dicabut, listrik, BBM, gas naik, Bantuan Operasional Sekolah kabarnya berkurang, iuran BPJS naik, rakyat dipajaki sesuka hati oleh pemerintah, infrastruktur belum ada yang selesai karena infrastruktur yang diresmikan oleh Jokowi dalam 2,5 tahun pemerintahannya adalah infrastruktur peninggalan pemeritahan SBY yang memang jadwal penyelesaiannya sedemikian rupa hingga menyeberang ke pemeritahan selanjutnya.
Jadi itu bukan karena mangkrak seperti yang sering diopinikan oleh kelompok tertentu yang tidak suka dengan SBY dan ingin menyenangkan atau minimal membentuk opini bahwa seolah-olah Jokowi sudah sukses dengan infrastruktur. Logika singkatnya, tidak mungkin infrastruktur besar yang bernilai trilliunan diselesaikan dalam satu tahun. Minimal 2 atau 3 tahun dan jika nilai proyeknya puluhan trilliun dapat dipastikan akan butuh waktu lebih lama mulai dari perencanaan hingga selesai 100% minimal 5 tahun keatas. Jadi bukan karena mangkrak, tapi memang jadwal waktunya sudah sedemikian rupa. Sehingga jika ada klaim infrastruktur besar selesai dalm 6 bulan itu hanya ilusi saja dan sebuah kebohongan.
Fakta utang kita saat ini, di era kepemimpinan Jokowi hingga tahun 2016 menjadi sebesar USD 258,04 miliar atau setara dengan Rp.3.466,9 T dengan ratio utang 27,4%; naik sekitar 3% dari peminggalan era SBY. Dan pada tahun berjalan 2017 bulan Mei utang kita berada di angka Rp.3.672,33 T dengan ratio utang sekitar 28%. Artinya dalam 2,5 pemerintahan Jokowi sudah berutang lebih dari Rp.1.000 T atau sekitar USD 24 miliar pertahun, menyamai rekor utang era SBY 10 Tahun.
Pertanyaannya, dengan utang tersebut, apa yang didapat rakyat? Sepertinya rakyat hanya dapat berita ilutif semata tentang infrastruktur. Lantas mengapa Jokowi terkesan menyalahkan masa lalu? Bukankah estafet kepemimpinan itu mewarisi segala kebaikan dan kekurangan?
Tidaklah elok menyalahkan masa lalu karena ketidakcakapan masa sekarang. Janganlah karena buruk rupa lantas cermin yang dibelah. [mc]
*Ferdinand Hutahaean, Rumah Amanah Rakyat.