Nusantarakini.com, Jakarta –
Bangsa yang kehilangan negaranya, adalah kita. Kata Yayan 2M (Ramlan) dalam syair lagu protes sosialnya yang dia tembangkan pada berbagai kesempatan seperti mimbar bebas, atau unjuk rasa di berbagai tempat.
Yayan 2M menyandang gelar di belakang namanya itu pun punya kisah tersendiri. 2M itu artinya “mohon maaf” alias gratisan. Kalaupun ada sekedar ongkos transport itu pun pas-pasan saja. Karena pengakuannya selama mentas, termasuk dalam hajat sahabat dan kerabatnya sendiri, belum pernah bisa membawa sisa uangnya ke rumah.
Sudah sejak itu pun Cing Yayan, begitu sapaanku padanya, demikian juga sebaliknya, tidak jarang dia cuma memperoleh sebotol air mineral saja. Atau segelas es teh manis kesukaannya.
Dalam mengekspresikan rasa kebangsaannya itu, Cing Yayan selalu mendendangkannya dengan semangat menyala, seakan membakar gairah perlawanan yang loyo pendengarnya, akibat tidak paham bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa.
Kecuali itu tentu saja wawasan kesenimanan Cing Yayan cukup memahami bila kedaulatan rakyat itu berada di atas kedaulatan negara. Sehingga syair lagunya pun mencabik-cabik keangkuhan pemerintah selaku penyelenggara negara yang culas mengabaikan kepentingan rakyat.
Nyanyian Yayan tentang “Bangsa yang Kehilangan Negara” lantaran dalam kamus besar logikanya bahwa negara itu dibuat untuk mengurus rakyat.
Oleh sebab itu dalam syair lagunya yang lain, Cing Yayan juga bertanya, “apa sesungguhnya kepentingan kita pada negara. Apalagi kemudian diwajibkan kepada setiap anak bangsa Indonesia membela negara. Artinya, negara itu sendiri dibuat untuk mewadahi kepentingan, keperluan, keamanan kesejahteraan dan kenyamanan segenap warga bangsa Indonesia agar hidup layak, manusiawi dan bermartabat serta bebas dari cawe-cawe bangsa asing.”
Begitulah ekspresi kemerdekaan Cing Yayan yang belum terwujud di negeri ini. Kedaulatan yang dia miliki selaku anak bangsa bergelantung di atas angin. Hingga kepastian dalam setiap tatanannya tidak jelas. Semua tergantung pada selera rezim penguasa.
Simak misalnya dalam syairnya yang menghujat “asing dan asong,” jelas bagaimana semua sudah tergadai. Bukan hanya harta benda atau sumber alam Ibu Pertiwi, tapi juga martabat dan harga diri.
Oleh karena itu, acap kali saat mendendangkan tembang-tembang protesnya, dia dengan penuh suka cita serta semangat yang berkobar meneriakkan yel yel perlawanan. Sebab dia pun paham bahwa bukan saja demokrasi yang telah dibajak oleh elite penguasa seperti maklumat InDemo yang dikomando Hariman Siregar, tetapi kedaulatan rakyat telah “dijual eceran” kepada siapa saja yang mempunyai uang.
Yel yel perlawanan itu, memang telah diteriakkan Wiji Thukul, penyair rakyat, salah seorang yang menjadi tumbal reformasi 1998.
Itu semua mengingatkan sesungguhnya rakyat telah banyak berkorban dan menjadi korban dari ketamakan kekuasaan yang berprikemanusiaan. Meski semakin banyak orang yang mengklaim Pancasilais. [mc]
*Jacob Ereste, Pemerhati Budaya, tinggal di Banten.