Nusantarakini.com, Jakarta –
Banyak yang merasa bahwa kebenaran yang disangkanya mutlak, padahal sebenarnya muallaq. Dan ada pula yang menganggap bahwa tidak ada yang namanya kebenaran mutlak, yang ada hanyalah kebenaran muallaq atau relatif.
Yang terakhir ini, banyak menjangkiti pemikiran religi dan sosial orang-orang sekarang. Dia bilang, keyakinan kebenaran yang ada pada dirinya hanya relatif serelatif kebenaran dari keyakinan pada orang lain yang berbeda keyakinan dengannya. Sebenarnya, postulat inilah dasar paradigmatik bagi apa yang disebut paham pluralisme.
Sebetulnya hal ini dapat diurai dan diatasi manakala diketahui dua kategori kebenaran. Kategori pertama, kebenaran yang berdiri sendiri, atau bisa kita sebut kebenaran mutlak.
Mutlak dalam bahasa Arab masih seakar kata dengan thalak, yang artinya dilepaskan atau dibuat berdiri sendiri.
Contoh kebenaran kategori mutlak ini yaitu kebenaran suatu operasi matematika. 1 ditambah satu hasilnya adalah 2. Hal ini berlaku secara mandiri dan universal dimana pun, kapan pun, oleh siapa pun. Sekiranya orang Cina menambahkan satu ditambah satu, pada zaman Mao di Shenzen, tetap hasilnya dua. Begitu juga, sekiranya Joko menambahkan satu ditambah satu di Bantul di zaman Jokowi, tetap hasilnya dua.
Kategori kedua, kebenaran muallaq, yaitu tergantung dari posisi mana seseorang melihat kebenaran itu. Muallaq dalam bahasa Arab artinya tergantung.
Kebenaran kategori muallaq ini, bergantung sekali dengan orang (siapa), waktu dan keadaan atau ruang dan waktu.
Misalnya, seseorang melihat objek gambar dari sudut tertentu, tertangkap di matanya sebagai gambar pepohonan. Sementara orang yang lain, melihat objek tersebut sebagai manusia yang memakai pakaian doreng tentara untuk kamuflase.
Jadi, jika ada yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran mutlak, yang ada di atas dunia ini hanyalah kebenaran muallaq, mustilah hal tersebut keliru. Buktinya, kebenaran operasi matematika di atas berlaku mutlak.
Sekarang, pemikiran tentang kebenaran muallaq ini diterapkan banyak orang dalam soal menyikapi dan memahami agama sekaligus perbedaan satu agama dengan agama lainnya.
Sebelum hal itu dibahas, pertanyaan spesial diajukan di sini: bagaimana dengan adanya Tuhan? Apakah ia benar adanya tapi bersifat muallaq seperti yang dipahami kaum pluralis-relativis, atau benar adanya bersifat mutlak?
Adanya (wujud) Tuhan sudah pasti benar mutlak. Melalui logika sebab-akibat (kausalitas), musti ada Tuhan. Melalui pendekatan penelusuran hati nurani, Tuhan juga musti ada. Melalui pendekatan fenomenologi, Tuhan juga musti ada.
Masalahnya, apakah definisi Tuhan itu? Suatu yang pada-Nya manusia bergantung (muallaq) yang tidak dapat dikuasai oleh manusia, tapi manusialah yang justru dikuasai oleh-Nya, saat titik maksimal kemampuan dan kekuasaan manusia telah dikerahkan untuk menguasai nasib dan kehidupannya di dunia ini, namun berjumpa dengan keterbatasan dirinya dan sekaligus bertemu dengan suatu yang Maha Besar di luar batas-batas kuasa dirinya, maka manusia mengidentifikasinya sebagai Yang Maha, dan itulah Tuhan dalam pengertian umum umat manusia.
Tapi sebenarnya Tuhan memperkenalkan dirinya secara gamblang melalui wahyu-wahyu yang diturunkan kepada sejumlah manusia terpilih yang kemudian disebut para Rasul dan Nabi. Di situ,Tuhan lebih terang dan tidak lagi remang-remang seperti yang diraba oleh akal secara murni dan sendirian.
Wahyu tentu berfungsi memudahkan akal dan hati untuk lebih dalam mengenal dan memahami Tuhan. Wallahua’lam bishshowab.
~ Syahrul Efendi Dasopang