Nusantarakini.com, Jakarta –
Dalam beberapa minggu pasca penemuan Satgas Pangan di gudang beras PT. IBU yang dibentuk oleh pemeritah, mendapat perhatian oleh banyak kalangan, tidak terkecuali oleh kalangan masyarakat bawah dengan beragam tanggapan.
Perberasan kita sudah saatnya diurai dengan menghadirkan pelbagai stakeholder untuk menempatkan perberasan nasional sebagai mesin pertumbuhan ekonomi nasional dengan nilai kapitalasasi 180 T, dengan kapasitas produksi nasional gabah 74 juta ton setara dengan 38 juta ton. Belum lagi nilai tambah pada sub sektor terkait.
Perberasan nasional yang selama ini didominasi oleh negara dalam hal ini Bulog, mengalami pergeseran struktur pasar yang beberapa dasawarsa memegang kendali “price maker” diambil alih oleh swasta yang sudah mencatatkan perusahaannya di lantai bursa dengan Kode AISA. Price maker beras yang selama ini di-drive oleh Bulog yakni dengan beras kualitas medium yang harga pokok pembeliannya diatur dan dievaluasi tiap tahunnya mengikuti inflasi inti.
Agregasi Bulog yang menyentuh pada level 5% hingga 10% stok nasional, dalam mengamankan cadangan nasional untuk memenuhi beras subsidi kepada rumah tangga miskin, yang dulunya di sebut RASKIN berganti dengan RASTRA.
Bulog yang didukung oleh pemerintah dalam melaksanakan operasionalnya dan penyerapannya dijamin oleh subsidi pemerintah kepada masyarakat miskin yang jumlahnya menyentuh 19 T per tahun, yang nomanklaturnya diatur oleh Kementerian Sosial.
Bulog yang juga ditugaskan pada operasi pasar pada saat level harga beras mulai merangkak naik di saat yang bersamaan stok mengalami penurunan, hingga menunggu masa panen tiba.
Ketersediaan beras Bulog dalam menjamin cadangan nasional setara 6 bulan, memiliki posisi startegis dalam menetralisir dan mengantisipasi gejolak harga dan gagal panen. BUMN dalam menjalankan fungsi sebagai operator dalam pengadaan hingga mobilisasi serta distribusi ke pihak rumah tangga miskin perlu diapresiasi sebagai hadirnya negara dalam menjamin dan melindungi kelas menengah bawah.
Pada Persoalan hilir, Bulog masih mampu mengendalikan fungsi fungsi strategisnya. Namum pada wilayah hulu, Bulog telah mendapat koreksi yang signifikan. Sebut saja pada awal kehadiran swasta nasional, Bulog menetapkan 4 HPP untuk mengimbangi penyerapan beras nasional dalam rangka mengamankan stok nasional.
Upaya pemeritah tidak hanya sampai di situ, bahkan melibatkan TNI untuk mengatur alur penjualan hasil panen petani, kepada afiliasi mitra Bulog. TNI selaku alat negara seharusnya bisa bersama petani untuk membangun dan menghadirkan kemandirian pangan. Peran bulog saatnya berbenah sebagai entitas bisnis dengan modal yang sangat memadai. Bulog memilki sumber daya secara nasional bila dikelola dengan bijak mampu memberi nilai tambah pada perekonomian nasional.
Landasan nasionalisme dalam mengelolah BUMN harus memiliki semangat patriotisme dalam melihat tantangan, sebab pergesaran paradigma ekonomi tidak lagi hanya melihat pada aspek kepemilikan tanpa menghadirkan manfaat bagi entitas bisnis dan lingkungannya.
Bulog yang memiliki jaringan logistik terbesar di Indonesia, harus mampu mentransformasi kelembagaannya dengan memilih model bisnis yang mampu mendukung terciptanya nilai tambah pada tiap-tiap bentang nilai tambah.
Absennya perbankan pada wilayah budidaya, harusnya menjadi tantangan Bulog untuk memasuki bisnis perbankan dengan menggandeng entitas-entitas bisnis yang telah mapan. Dengan melakukan seniergi, potensi pasar pada sektor hulu pertanian yang pasarnya masih memiliki potensi besar. Sebut saja jumlah pupuk subsidi yang mencapai 13 juta ton pupuk urea yang diproduksi oleh holding pupuk Indonesia.
Belanja pupuk oleh petani merupakan peluang bagi Bulog sebagai entitas bisnis untuk mengelola potensi hulu. Sebab perilaku petani dalam penyediaan pupuk dilakukan dengan pembelian kredit. Adapun tugas Bulog yang selama ini untuk mengamankan stok nasional dengan jumlah agregasi 10% Dari produksi nasional, Bulog harus mampu memanfaatkan fungsi sebagai regulator maupun operator yang ditunjuk pemeritah dalam mengamankan Bahan cadangan pangan.
Bulog mampu menempuh dengan menggandeng kemitraan dengan korporasi yang berpangalaman dalam budidaya. Pemerintah memberi insentif yang mampu mendorong pola budidaya dengan mekanisasi dengan tingkat efesiensi tinggi. Sehingga Bulog memiliki pasokan yang terjamin kualitas dan jumlahnya.
Bulog perlu memiliki semangat baru dalam mengelolah pangan. Bulog sebagai operator mampu mengimbangi bila ada tindakan tindakan yang ingin melemahkan peran negara. Di sisi lain Bulog memiliki daya saing untuk mengendalikan harga dan mengatur rantai pasok pangan dengan menggandeng koperasi-koperasi yang terkonsentrasi di wilayah titik distribusi.
Dengan semangat patriotisme Bulog harus mampu menjadi pemain di wilayah regional Asia. Tidak hanya dipusingkan dengan urusan pengadaaan stok 10% produksi nasional.
Kementerian Pertanian selaku regulator dengan fungsi fiskalnya, sebagai negara berkewajiban memberdayakan petani untuk memastikan faktor-faktor produksi berjalan dengan fungsinya. Petani sebagai pemilik tanah, benih dan pupuk yang telah menjadi biaya input, menjadi kewajiban pemeritah untuk memberikan jaminan kepada keberlangsungan produksi. Yang bila mana hal ini diserahkan sepenuhnya kepada petani, dapat menimbulkan resiko gangguan pasokan, dikarenakan transmisi fiskal ke sektor pertanian rakyat, belum memiliki perangkat perangkat teknis yang memadai.
Keberlangsungan produksi gabah pada tingkat petani sangat bergantung dengan pembiayaan informal yang selama ini melayani petani dengan posisi yang relatif tidak ekual. Suka bunga yang harus ditanggung oleh petani semasa musim panen mencapai 40% setara bunga efektif.
Hitung saja misalnya pupuk Urea dengan modal pinjaman RP 1800/ kg, petani harus memabayar hingga 3000/kg selama masa musim tanam. Besarnya peningkatan anggaran pada sektor pertanian yang tidak berdampak fiskal yang beberapa waktu lalu dikoreksi oleh Menko Perekonomian, menjadi alarm bagi Kementerian Pertanian untuk melakukan koreksi dan penyesuain agar besaran belanja fiskal mampu berdampak pada peningkatan kontribusi pertanian terhadap pendapatan nasional.
Pengadaan harvester dan traktor merupakan komponen belanja barang, hanya memberi ruang importasi manufaktur pertanian. Seharusnya dengan besaran fiskal mampu memberi penguatan penguatan pada manufaktur pertanian dalam negeri. Pola subsidi yang selama ini ada pada objek barang, memiliki banyak aspek kelemahan. besarnya kebutuhan petani tidak mampu hanya disediakan melalui bantuan alat. Pola subsidi demikian merusak iklim usaha di sektor pertanian, pasalnya unit-unit usaha yang berlangsung tergeser oleh subsidi bantuan pemerintah sehingga mematikan usaha-usaha yang sedang tumbuh.
Pemerintah dalam hal ini harus merubah pola subsidi dari objek barang kepada pelaku langsung. Misalnya alat harvester seharga 500 juta, diberikan subsidi dengan besaran tertentu, misalnya 40% hingga 60% dengan syarat diakses oleh petani yang terorganisir dalam bentuk koperasi.
Persoalan pada sektor pertanian kita, berada pada level struktur yang timpang, kompleks, sehingga harus diselesaikan dengan pendekatan struktur, bukan dengan eksekusi yang hanya berada pada level teknis. Dengan terbentuknya polarisasi belanja fiskal yang mampu menghadirkan daya sebar merata dan luas mampu memicu munculnya “bibit-bibit unggul” pada ruang ruang moneter, dengan kata lain adanya usaha-usaha baru tumbuh dan berkembang.
Subsidi input benih dan pupuk yang dijadikan alat oleh pemerintah untuk menghitung angka ramalan panen pada musim rendang dan gaduh perlu diurai. Mengingat bahwa pupuk dan benih adalah bagian Dari komponen produksi yang harus disediakan pada musim tanam dengan pembelian kredit. Di saat bersamaan petani tidak memiliki pilahan selain menerima jasa rentenir dalam memenuhi kebutuhan inputnya.
Oleh sebab itu KPPU harus memahami struktur pembentukan harga HPP Gabah yang diproduksi oleh petani, sebelum terlalu jauh untuk menempatkan bahwa perberasan kita berada pada struktur pasar oligopoli. Peran KPPU untuk tetap menjaga harmonisasi pelaku ekonomi diperlukan pelbagai sudut pandang, agar menghadirkan iklim kompetisi yang fair antara satu dengan lainnya. Sehingga terbetuk harga keekonomian beras pada keseimbangan sempurna.
Dengan melihat tingkat resiko pada sektor pertanian yang memiliki kategori resiko tinggi dan imbal hasil tinggi, harus menjadi tantangan dan peluang bagi perbankan untuk melakukan inovasi kredit pertanian. Pasalnya perbankan umum yang tidak pernah menyentuh pada wilayah budidaya, menjadikan pertanian berbiaya tinggi.
Dan karakter pasar penyerapan kredit yang berbeda dengan sektor-sektor penggerak lainnya, misalnya skema pembayaran bunga dan modal tidak sesuai dengan jadwal hasil panen. Hal ini perlu mendapat perhatian dari OJK selaku supervisi perbankan untuk menciptakan serapan-serapan pasar kredit di sektor pertanian.
Saatnya OJK hadir untuk menggerakkan transmisi pada sektor pertanian sehingga mampu menjadi kekuatan ekonomi nasional. Dan BI selaku pengendali inflasi juga harus memberi “road mapping” pengendalian inflasi yang diakibatkan oleh sturktur pasar kredit pada sektor pertanian, yang selama ini tidak mendapat proiritas penyaluran kredit dari perbankan. Volatility food, jenis inflasi bahan makanan merupakan inflasi langganan tahunan yang merugikan bagi perekonomian nasioanal. [mc]
*Mahfud Malik, Petani Gurem, Anggota Rumah Kemajuan Indonesia (RKI).