Nusantarakini.com, Jakarta –
Baru-baru ini, kita dihadapkan dengan sebuah fenomena Islamophobia. Penyakit ini tidak hanya merambah negara-negara di mana Islam menjadi minoritas, seperti Inggris, Jerman, termasuk juga Amerika Serikat, tetapi juga di negara yang mayoritas beragama Islam seperti Suriah.
Di Suriah, fenomena ini ditandai dengan munculnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), sebuah organisasi yang popular dengan gerakan radikalisme dan ekstremisme-nya. Banyak kalangan menisbatkan organisasi ini dengan kelompok Islam radikal melalui doktrin-doktrin ‘surga’ terhadap para pengikutnya. Namun belakangan, banyak temuan yang mengungkap bahwa ISIS tak lebih dari sekadar alat yang sengaja diciptakan untuk kepentingan kelompok dan negara tertentu.
Lalu bagaimana dengan negara kita, Indonesia? Di negeri ini, Islamophobia menjadi problem baru atau mungkin tepatnya, kekhawatiran baru. Aksi Bela Islam yang mengukir sejarah sebagai aksi terbesar dan super damai (terutama aksi 411 dan 212) itu disinyalir sebagai penyebab munculnya kekhawatiran ini. Padahal jika kita telaah, tak ada orientasi ke arah sana. Aksi itu hanya sebuah respon terhadap lambannya proses hukum dalam menegakkan keadilan kasus penodaan agama.
Namun demikian, sebagian kalangan tetap khawatir dengan aksi tersebut. Bahkan tak sedikit pula yang langsung mengampanyekan dan menuduh kelompok-kelompok yang melakukan aksi itu dengan tuduhan-tuduhan yang sulit ditemukan argumentasinya. Misalnya seperti tuduhan anti-Pancasila, anti-Bhinneka Tunggal Ika, dan anti-NKRI.
Tuduhan ini tak hanya mewabah di level grassroot, akar rumput. Di kalangan elite politik pun, tuduhan ini juga cukup kuat menggerogoti. Sebut saja misalnya Nahkoda PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Dalam satu kesempatan, Megawati menyebut kelompok ini dengan sebutan “penganut ideologi tertutup”. Selain itu, Megawati terkesan menafikan kepercayaan akan hari Kiamat. Ini terlihat dalam pernyataannya, “Tidak hanya itu, mereka benar-benar anti kebhinekaan. Itulah yang muncul dengan berbagai persoalan SARA akhir-akhir ini. Di sisi lain, para pemimpin yang menganut ideologi tertutup pun memosisikan dirinya sebagai pembawa ‘self fulfilling prophecy’, para peramal masa depan. Mereka dengan fasih meramalkan yang akan pasti terjadi di masa yang akan datang, termasuk dalam kehidupan setelah dunia fana, yang notabene mereka sendiri belum pernah melihatnya.”
Aksi umat Islam ini memang membuahkan hasil. Basuki T. Purnama alias Ahok akhirnya divonis dua tahun penjara atas tuduhan penodaan agama. Vonis ini terjadi hanya beberapa pekan setelah Ahok juga kalah dalam kontestasi politik di Pilkada DKI.
Hanya saja, vonis dan kekalahan itu tak membuat persoalan bangsa mereda. Faksi-faksi semakin terikat kuat. Perbedaan atas dalih SARA juga makin kencang. Sehingga jarak yang memisahkan perbedaan-perbedaan itu pun semakin lebar. Meski tak sampai meletus menjadi gesekan-gesekan berbau sektarian atau agama, kekhawatiran dan juga ketakutan tampak semakin sulit ditutupi.
Kesenjangan ini semakin diperparah dengan maraknya upaya kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh Islam dan kemudian disusul munculnya kampanye #SayaPancasila yang langsung dimotori Presiden Joko Widodo. Kenapa Sang Presiden yang memulai? Hal ini memang banyak kemungkinan. Boleh jadi karena terjadi kegentingan yang memaksa, atau justru memaksakan kegentingan itu sendiri? Apalagi jika melihat garis politik bahwa Jokowi merupakan kader PDIP. Belum lagi dari sisi perkawanan: Jokowi merupakan sahabat karib Ahok.
Penyakit Islamophobia?
Tentu fenomena ini seperti menuntun kita pada pertanyaan: Apa yang terjadi sesungguhnya dengan Indonesia akhir-akhir ini: Islamophobia atau Devide et Impera? Apakah salah satunya, atau bahkan kedua-duanya?
Pertanyaan ini menarik, mengingat realitas politik di negeri ini sering kali lahir karena design alias setting politik tertentu. Bukan sesuatu yang alamiah. Bukan pula terjadi secara holistik. Adakah fenomena itu an-sich? Perlu juga dikaji dan ditelaah terlebih dahulu. Apalagi dunia saat ini tengah mengampanyekan perlawanan terhadap Islamophobia, bukan justru meng-create Islamophobia. Salah satunya yang diungkapkan oleh Perdana Menteri Inggris Theresa May, menanggapi insiden penyerangan dengan menabrakkan kendaraan ke kerumunan pejalan kaki jamaah shalat tarawih di luar Masjid Finsbury Park di London Utara, 19 Juni lalu. Dewan Muslim Inggris menyebut insiden ini sebagai penyerangan lantaran Islamophobia dan meminta keamanan ekstra di sekitar masjid.
Pernyataan ‘perang’ terhadap Islamophobia juga dikampanyekan Presiden Austria ke-12, Alexander Van der Bellen, April lalu. Ia menyarankan bahwa suatu hari nanti semua wanita harus mengenakan jilbab untuk melawan Islamophobia. Hal ini diserukan demi solidaritas bila Islamophobia terus berlanjut. Bellen berujar, “Jika terus berlanjut dengan Islamophobia semakin meluas maka saatnya akan tiba ketika kita harus meminta semua wanita menggunakan kerudung saat berpergian untuk solidaritas terhadap mereka yang memakainya atas alasan agama.”
Dalam konteks Indonesia, pernyataan perang dari dua pemimpin negara di dunia terhadap Islamophobia ini patut menjadi bahan renungan yang bagi pemerintahan Jokowi saat ini. Apalagi pasca-membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia, Presiden mengeluarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2017, yang dinilai cenderung menyasar ormas Islam. Sebagian kalangan menilai Perpu tersebut secara substantif mengandung beberapa poin yang dikhawatirkan menghidupkan era rezim diktator yang represif dan otoriter. Di antaranya, dihilangkannya proses pengadilan dalam mekanisme pembubaran Ormas (Pasal 61) yang membuka pintu kesewenang-wenangan karena pemerintah akan bertindak secara sepihak dalam menilai, menuduh, dan menindak Ormas, tanpa ada ruang bagi Ormas itu untuk membela diri. Selain itu jug aadanya ketentuan-ketentuan yang bersifat karet seperti larangan melakukan tindakan permusuhan terhadap SARA (Pasal 59-3), dan penyebaran paham lain yang dianggap bakal mengganggu Pancasila dan UUD 1945 (pasal 59-4) berpotensi dimaknai secara sepihak untuk menindas kelompok yang secara garis politik berbeda.
Dengan praktik-praktik yang mengebiri umat Islam itu, mulai dari penangkapan tokoh Islam, pembubaran umat Islam, termasuki pemblokiran situs-situs Islam, maka sulit untuk tidak mengatakan bahwa pemerintah saat ini tengah mengidap penyakit Islamophobia. Penyakit ini salah satunya ditandai dengan kekhawatiran pemerintah yang berlebihan bahwa Islam akan bisa menguasai negeri ini dan akan “menyingkirkan” Pancasila.
Devide et impera?
Hanya saja secara pribadi, saya juga cenderung melihat bahwa fenomena yang terjadi di negeri ini tidak semata Islamophobia, tetapi juga munculnya aroma devide et impera alias politik pecah belah. Sebab jika menelisik pergaulan keagamaan selama ini, Indonesia cukup tenang, meskipun terkadang ada perselisihan antar agama tetapi kemudian mampu diredam oleh jiwa toleran dan sikap pluralis anak-anak bangsanya.
Sulit kita membantah bahwa hubungan keberagamaan kita begitu indah: hubungan beda agama begitu mesra; mereka yang berbeda agama juga bisa bercanda ria. Bukankah Aksi Bela Islam beberapa waktu lalu pun juga diikuti sebagian masyarakat non-muslim? Oleh karenanya, kekhawatiran dan ketakutan terhadap agama tertentu di negeri ini sulit ditemukan dasar argumentasinya.
Di saat hubungan keberagamaan ini relatif stabil, kita justru dipertemukan dengan politik pecah belah atau juga kerap disebut politik adu domba. Politik ini salah satunya bisa dilihat dari perbedaan perlakuan sikap pemerintah terhadap beberapa ormas Islam. Di saat HTI dikebiri dan dibubarkan, pemerintah malah terkesan memberikan perlakuan berbeda terhadap organisasi sekelas NU dan underbow-nya seperti Banser dan GP Ansor.
Ini juga yang didengungkan Cak Nun baru-baru ini. Dengan nada tampak kecewa, Sang Budayawan itu berujar, “Karena pada saat ini, HTI, FPI, dan lain-lain dibubarkan, NU mendapat 1,5 triliun untuk pengembangan ekonomi. Yang satu ngrakoti duit (makan duit), yang satu diidek-idek (diinjak-injak). Dan itulah pecah belah. Divide et impera yang luar biasa di rezim sekarang ini.” Bantuan ini merujuk pada langkah Kementerian Keuangan yang pada Februari 2017 menggandeng PBNU dalam penyaluran modal usaha kecil dengan total Rp 1,5 triliun.
Bantuan ini tidak hanya menciptakan kecemburuan bagi kelompok-kelompok Islam lainnya. Tetapi lebih dari itu semakin memperkuat kesan bahwa pemerintah sedang bermain-main dengan bara di internal umat Islam, yaitu dengan cara menginjak yang satu dan mengelus-elus yang lainnya.
Bila kita membuka lembaran sejarah, pola ini identik dengan politik adu domba atau politik pecah belah (devide et impera) yang dilakukan Belanda sejak awal memasuki Nusantara. Politik adu domba pada abad 17 sangat digemari VOC untuk menguasai suatu daerah. Dengan cara inilah Belanda yang bahkan jumlahnya jauh lebih sedikit dari pribumi bisa menguasai wilayah nusantara.
Politik adu domba ini dilakukan dengan menggunakan kombinasi strategi politik, ekonomi, dan militer yang bertujuan untuk mendapatkan serta menjaga wilayah kekuasaan dengan cara memecah belah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil agar lebih mudah ditaklukkan. Dengan politik ini, kelompok-kelompok kecil tak akan bisa bersatu untuk membentuk kekuatan yang lebih besar.
Dalam konteks hari ini, kita melihat bahwa politik adu dumba ala pemerintah ini boleh dibilang cukup sukses, terutama jika melihat banyaknya bentrokan antar HTI dan GP Ansor ataupun Banser, yang kemudian berujung pada pembubaran HTI. Ini belum lagi banyaknya pembubaran pengajian yang dilakukan kelompok sayap NU ini. Dengan demikian, umat Islam dibelah ke dalam faksi-faksi yang semakin melebar.
Imbasnya, persatuan dan kesatuan umat Islam di bumi Pertiwi ini semakin sulit terbangun. Islam sengaja dibentur-benturkan agar kemudian diciptakan skenario perang sesama Islam. Jika ini yang terjadi, Islam di negeri ini tentu bukan semakin kuat, tetapi justru semakin lemah, dan bahkan bisa jadi hancur. Fenomena ini sejatinya sudah pernah dikhawatirkan oleh seorang Ulama Mesir, Muhammad Abduh. Ia pernah mengatakan, “Al-islamu mahjubun bil muslimin”, yang artinya: Kehebatan Islam justru tertutup oleh prilaku umat Islam.
Jika kita tak hati-hati, kita hanya seperti buih di lautan yang terombang-ambing. Jumlah besar tapi ia mengikuti arus ombak. Dalam konteks kehidupan kita, umat Islam boleh jadi mayoritas, tetapi sangat boleh ia dengan mudahnya dikendalikan dan disetir oleh kelompok-kelompok kepentingan yang jumlahnya minoritas. Ia tak punya daya. Ia juga tak punya kuasa untuk bergerak. Islam hanya mayoritas secara jumlah, tetapi ia minoritas secara power dan kekuasaan.
Inilah persoalan terberat Islam di negeri ini. Ia tidak hanya dihantam dari luar, tetapi hantaman juga tak kalah keras datang dari internal Islam sendiri. Boleh jadi hantaman dari luar tidak secara kasat mata terlihat, karena ia bermanuver dengan membentuk kekuatan untuk kemudian menciptakan hantaman dari dalam. [mc]
Wallahu a’lamu bi al-shawab…
*Moh. Ilysa, Pemerhati Sosial dan Politik.