Nusantarakini.com, Jakarta –
Koordinator Majelis Akhir Zaman (MAZ) Ziyad Falahi menyampaikan kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Selasa malam (1/8/2017), bahwa diskusi “Selasanan” yang diselenggarakan MAZ minggu ini mengangkat tema “Panji Hitam Ronggowarsito.”
Diskusi dimulai dengan pemaparan Ki Bambang Wiwoho, bahwa ramalan Ronggowarsito tentang tujuh satrio sejatinya sulit ditemukan naskah otentiknya. Termasuk istilah “Satrio Piningit” dan “Satrio Pinandito,” sinisihan wahyu sejatinya lebih pada tafsiran kontemporer yang berbeda dengan gaya bahasa Jawa masa Ronggowarsito.
Bahkan pada Serat Musarar dan Kitab Pararaton, ramalan tersebut juga tidak ditemukan. Konteks hari ini, Petruk juga bisa disebut Satrio, karena Petruk bermaksud mengingatkan para Pandawa (Satrio) dengan lelucon dan sindiran.
Namun pandangan tersebut disanggah oleh Ki Nardi yang melihat adanya perbedaaan mendasar antara ramalan dan “jongko.” Sehingga tidak mungkin Satrio Piningit adalah orang di dalam lingkaran kekuasaan.
Ki Burhan Rosyidi juga menambahkan bahwa yang bisa menyelesaikan masalah bukanlah bagian dalam masalah tersebut. Jika teliti, ciri tujuh satrio termaktub di dalam Serat dan Tembang Jawa yang terputus-putus. Namun tafsir bahwa Presiden Jokowi adalah Satrio Ketujuh (pinandito) tampaknya belum, karena sekarang Indonesia masih memasuki fase ke lima, walaupun sudah berganti presiden hingga ke tujuh.
Haris Rusli membenarkan bahwa secara antropologis, tradisi Jawa lebih membumi dengan lisan daripada melalui tulisan.
Ust Sayuti Asyatri menekankan bahwa kajian ma’rifat dan historis memang penting dalam tataran ontologis, tapi yang terpenting adalah mengaktualisasikan untuk menyelamatkan umat manusia.
Percuma sufi bisa “ngilang” dan terbang, jika ketidakadilan merajalela. Walau lokasi geografis berbeda, tapi manusia semua sama derajatnya dan hidup di bumi yang sama. Ditambah energi cinta, maka Peradaban Barat bukan untuk ditolak, justru dileburkan sebagai share value. [mr]
