Nusantarakini.com, Jakarta –
Jika sejarah adalah pena, maka dia akan menulis suatu tragedi besar di Indonesia hari ini, yaitu matinya ukhuwah Islamiyah.
Saya mulai bercerita dari yang mikro hingga yang lebih makro.
Anak saya bersekolah di sekolah yang dimiliki tokoh-tokoh PKS. Sekolah ini sama sekali tidak saya ketahui sebelumnya bahwa akan menerapkan setiap tahun setiap anak harus melakukan pendaptaran ulang.
Pendaptaran ulang tidak masalah. Masalah yang berat ialah bahwa tiap kali pendaptaran ulang harus menyerahkan uang yang tiap tahun naik dengan angka yang memberatkan.
Tentu suatu kebijakan yang aneh bagi saya. Bukankah harusnya cukup membayar uang buku dan seragam saja yang boleh naik seiring inflasi? Kok semua tagihan ini itu juga ikut naik? Bukan main.
Akibat tragisnya ialah banyak anak-anak pindah ke sekolah yang lebih terjangkau oleh orang tuanya masing-masing. Termasuklah yang menurut saya begitu tragis, anak seorang aktivis PKS tulen.
Walaupun dia diketahui seorang aktivis PKS, sama sekali tidak ada keistimimewaan dan kemudahan dikenakan dalam hal tagihan kepada anaknya. Sungguh memilukan sampai akibatnya anaknya pindah dari sekolah binaan para petinggi PKS tersebut.
Tentu saya mengelus dada: kenapa ukhuwah islamiyah tidak berfungsi sama sekali. Luar biasa.
Sesama PKS saja ukhuwah islamiyahnya begitu, apalagi yang bukan? Begitu hati saya bergumam.
Itu kasus mikro. Kasus makro seperti yang ditunjukkan oleh petinggi NU yang mendorong pemerintah membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia.
Dalam hati, segitu habiskah rasa ukhuwah islamiyah kalangan NU sehingga tega melihat saudara se-Islamnya menderita akibat pembubaran itu?
Sesampai hati itukah kalangan petinggi NU yang katanya menghayati ajaran Nabi hingga dapat bergembira melihat jutaan massa Hizbut Tahrir menanggung diskriminasi politik dan sosial di depan mata mereka sendiri?
Hari-hari ini, ajaran Nabi banyak dikesampingkan, yang dilaksanakan ialah ajaran masing-masing kelompoknya di atas nama Islam.
Sekiranya istiqamah di atas ajaran Nabi, saya rasa para petinggi NU itu tidak akan tega melihat saudara sesama Muslim yang kebetulan aktif di Hizbut Tahrir itu dibubarkan dengan zalim tanpa ada hak ruang pengadilan untuk membela diri sebelum dibubarkan. Malah para petinggi NU ini bersuka cita dengan derita yang dialami Hizbut Tahrir akibat pembubaran tersebut.
Ini sungguh luar biasa, sekaligus Tragedi Matinya Ukhuwah Islamiyah di dalam mereka yang mendaku Muslim.
~ John Mortir, pengikut Muhammad, bukan NU, bukan Hizbut Tahrir.