Nusantarakini.com, Jakarta –
Tulisan-tulisan yang saya posting di beberapa WAG banyak yang merespon dan mengajukan pertanyaan. Hampir semua menyatakan baru mengetahui sejarah kelam mantan penjajah dan antek-anteknya di wilayah jajahan Belanda.
Ada yang menanyakan: “… mengapa politik aliran dari para peranakan (misal Cina, Arab) tidak sepenuhnya dapat lebur dalam bingkai negara bangsa …”
Juga ada yang menanyakan mengenai alasan, “ … diterbitkannya Peraturan Presiden No. 10, November tahun 1959, yaitu larangan pengusaha kecil dan eceran asing untuk perdagangan diluar Ibukota Daerah Tingkat I, II dan Karesidenan….”
Sebenarnya masalah integrasi asing lebih menjurus ke kesulitan untuk meleburkan/ mengintegrasikan keturunan Cina ke masyarakat pribumi. Antipati terhadap Cina mempunyai akar panjang dalam sejarah Nusantara dan sejarah Indonesia, setelah Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan pada 17.8.1945, dan mendirikan NEGARA BANGSA (Nation State).
Mulai akhir tahun 1945 di seluruh Indonesia terjadi pembantaian terhadap mereka yang selama masa penjajahan Belanda dan pendudukan jepang, menjadi kaki-tangan penjajah, termasuk terhadap Cina.
Generasi muda Indonesia tidak mengetahui latar belakang antipati terhadap Cina. Memang secara keseluruhan, generasi muda telah dibuat menjadi BUTA SEJARAH.
Jawaban dari masalah ini ada di sejarah yang selama puluhan tahun berhasil ditutup-tutupi dan dikarang sejarah baru untuk memutar-balikan peran PELAKU dan KORBAN.
Ada perbedaan dalam masalah pembauran atau integrasi bangsa Cina dan bangsa Arab (tidak ada “suku Cina” dan “suku Arab”) ke dalam bingkai Negara Bangsa (Nation State). Indonesia, walaupun dari latar belakang sejarah di masa penjajahan Belanda, ada kesamaan mereka dalam pengelompokan penduduk.
Kedatangan Arab dan Cina ke Nusantara dalam jumlah besar juga sangat berbeda. Bangsa-bangsa Arab, Turki, Mesir datang ke Nusantara untuk berdagang dengan kerajaan-kerajaan dan kesultanan-kesultanan di Nusantara, demikian juga awalnya para pedagang dari Cina. Belum ada migrasi besar-besaran.
Sedangkan bangsa-bangsa Eropa datang ke berbagai penjuru dunia, sudah dengan tujuan untuk menjajah (lihat Traktat Tordesillas tahun 1494) dan menjarah.
Sejak mulai berkuasa di Jayakarta (kemudian diganti menjadi Batavia, lalu menjadi Jakarta) tanggal 30 Mei 1619, belanda mulai “mengimpor” orang Cina, kebanyakan untuk dipekerjakan di perkebunan, terutama perkebunan tebu.
Dengan latar belakang agama, bangsa Arab lebih mudah membaur dengan pribumi yang sudah beragama Islam.
Dengan intermezzo tahun 1740 – 1743 di mana terjadi pembantaian oleh Belanda terhadap Cina di Jawa yang dimulai di Batavia tanggal 9 Oktober 1740 (BUKAN PEMBERONTAKAN CINA), Belanda bekerjasama dengan orang-orang Cina dalam PERDAGANGAN BUDAK dan PERDAGANGAN OPIUM (CANDU).
Antara tahun 1640 – 1863 di wilayah jajahan Belanda diberlakukan Undang-Undang Perbudakan.
Sebelum tahun 1640 juga sudah ada perbudakan, namun belum disusun UU Perbudakan.
Pada waktu itu, jumlah budak yang dimiliki seseorang adalah ukuran kekayaanya.
Penjualan/pelelangan budak-budak dilakukan oleh orang-orang Cina.
Budak laki-laki dipekerjakan sebagai kuli tanpa bayaran, dan budak perempuan dijadikan gundik oleh para majikan atau sekadar pemuas nafsu majikan laki-laki. Bahkan ada pemilik budak perempun menjadikan budaknya sebagai pelacur, dan mengantongi hasilnya.
Para pendiri Republik Indonesia yang lahir sebelum abad 20 masih mendengar penuturan kakek mereka, bagaimana kerjasama belanda dengan Cina dalam memperjual-belikan pribumi.
Di bawah ini beberapa tulisan mengenai perbudakan oleh Belanda di wilayah jajahan Belanda:
1. TOKO MERAH SLAVES ON SALES:
http://jakarta-corners.blogspot.co.id/2010/08/toko-merah-slaves-on-sales.html
2. INDONESIA: SLAVE TRADE A SCAR ON BATAVIA’S HISTORY.
By Ida Indawati Khouw
http://www.friends-partners.org/partners/stop-traffic/1999/1472.html
3. Two centuries of slavery on Indonesian soil
http://www.thejakartapost.com/news/2015/10/05/two-centuries-slavery-indonesian-soil.html
Setelah UU Perbudakan resmi dihapus, praktek perbudakan masih terus berlangsung selama belasan tahun.
Tahun 1920 pemerintah kolonial mengeluarkan Regeringsreglement (Peraturan Pemerintah) No. 109 (Tahun 1926 menjadi Indische Staatsregeling Nr. 163), di mana penduduk Nederlands Indie dibagi menjadi 3 kelompok:
1. Europeanen (Bangsa-bangsa Eropa dan dan Jepang, yang di-“Eropa”kan),
2. Vreemde Oosterlingen (Timurr asing, yaitu Cina dan Arab).
3. Inlanders (Pribumi).
Sejak kedatangan Belanda di Jayakarta, Belanda sudah memulai dengan perdagangan opium.
(lihat buku Ewald Vanvugt: Wettig opium 350 jaar Nederlandse opiumhandel.
http://www.indeknipscheer.com/ewald-vanvugt-wettig-opium-350-jaar-nederlandse-opiumhandel-2/ )
Selain mengeruk kekayaan dari kerjasama perdagangan budak dengan belanda, Cina juga mendapat keuntungan besar dari perdagangan opium dan mendirikan rumah-rumah madat.
Mengenai kekayaan dari perdagangan dan distribusi candu, lihat buku JAMES R. RUSH: “Opium to Java: Revenue Farming and Chinese Enterprise in Colonial Indonesia, 1860-1910.”
http://www.goodreads.com/book/show/2010098.Opium_to_Java
Selain kesamaan dalam status sebagai penduduk Nederlands Indie kelas dua, tidak ada kesamaan bangsa Cina dan bangsa Arab.
Sampai menyerahnya belanda kepada Jepang di Kalijati pada 9 Maret 1942, di depan gedung-gedung mewah, tempat pemandian umum, dll., dipasang plakat dengan tulisan:
VERBODEN VOOR HONDEN EN INLANDER, artinya
“DILARANG MASUK UNTUK ANJING DAN PRIBUMI.”
Pribumi generasi ’45 masih mengalami penghinaan ini, yaitu disetarakan dengan anjing!!!
Perilaku banyak Cina yang masih merasa lebih tinggi dari pribumi, terlihat dari sikap mereka sehari-hari.
Mereka tidak mau menyapa orang Indomesia dengan sapaan Bapak, Anda atau Saudara. Mereka selalu mengatakan YOU (bahasa Inggris = KAMU) kepada pribumi.
Di antara mereka masih menggunakan kata-kata JIJ (kamu) dan IK (saya).
Jadi nenek-moyang BANGSA INDONESIA, diperjual-belikan SEBAGAI BUDAK DI NEGERI SENDIRI.
Kemudian naik tingkat, dijadikan JONGOS DI NEGERI SENDIRI.
Berdasarkan sejarah perbudakan dan sejarah menjadikan pribumi menjadi JONGOS DI NEGERI SENDIRI, maka UNTUK MEMBUAT PRIBUMI MENJADI TUAN DI NEGERI SENDIRI, para pendiri Republik Indonesia memanifestasikan dalam Pasal 6 Ayat 1 Undang Undang Dasar yang disahkan pada 18.8.1945, yaitu: Presiden ialah ORANG INDONESIA ASLI.
Di UUD tahun 2002 kata ORANG INDONESIA ASLI dihapus, dan diganti menjadi: PRESIDEN IALAH WARGA NEGARA INDONESIA.
Dengan demikian siapapun dapat menjadi Presiden Indonesia, termasuk keturunan mereka yang ratusan tahun ikut memperjual-belikan Pribumi dan membuat menjadi jongos di negeri sendiri.
Memang sejak masa penjajahan belanda muncul gagasan mendirikan Republik Indonesia, ada segelintir Cina yang mendukung gagasan ini, namun mayoritasnya tetap pro belanda.
Demikian juga sekarang, ada yang benar-benar membaur dengan pribumi.
Namun belakangan ini muncul Tulisan-tulisan sejarah mengenai “heroisme” Cina melawan belanda.
Ironis!!!
Saya lampirkan tulisan mengenai perdagangan opium (candu) di wilayah jajahan belanda.
Catatan: Penjelasan di atas hanya sebatas masa penjajahan di Nusantara.
Penjelasan mengenai ketidakpercayaan pribumi terhadap Cina belum mencakup masa perang mempertahankan kemerdekaan, antara tahun 1945 – 1950, di mana belanda membentuk pasukan Cina, Po (Pao) An Tui, yang dipersenjatai dan dilatih tentara belanda.
Mula-mula di Sumatera Utara kemudian di Jawa. Po An Tui juga dipakai oleh belanda dalam penyerangan terhadap Republik Indonesia di masa agresi I dan agresi II.
Mengenai alasan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 10, November tahun 1959, yaitu larangan pengusaha kecil dan eceran asing untuk perdagangan diluar Ibukota Daerah Tingkat I, II dan Karesidenan, adalah untuk melindungi pedagang kecil dan eceran pribumi.
Seperti telah disebut di atas, bahwa selama ratusan tahun penjajahan Belanda, orang-orang Cina dari berbagai usaha perdagangan, termasuk perdagangan budak dan perdagangan candu, telah memiliki modal kuat dan jaringan, sehingga pribumi tidak mungkin bersaing dengan pengusaha Cina.
Pada tanggal 19 Maret 1956 pada Kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, Asaat Datuk Mudo, Mantan Pejabat Presiden Republik Indonesia berorasi bahwa orang-orang Cina telah bersikap monopolistis dalam perdagangannya dengan tidak membuka jalan bagi penduduk pribumi untuk ikut berdagang. [erche]
*Batara R. Hutagalung, Sejarawan, Alumni Hamburg Universiteit, Deutch, Jerman.