Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya pernah mengalamai kontroversi sangat hebat tahun 1998 ketika Pak Harto memanggil saya bersama Saadillah Mursyid (alm), untuk menangani pengunduran diri beliau. Maka saya tangani proses pengunduran diri itu dalam waktu 10 jam dan BJ Habibie mengucapkan sumpah sebagai Presiden.
Besoknya saya diserang habis oleh puluhan guru besar mulai dari Prof Emil Salim sampai Prof Soebroto, Prof A Muis, Prof Philipus Hadjon, Prof Dimyati Hartono dan lain-lain. Tapi ketika saya tantang debat di kampus tak seorang pun yang berani.
Sampai akhirnya saya bawa pisau ke Universitas Hasannudin (UNHAS) dan saya tancapkan di meja menantang Prof Muis untuk tikam-tikaman. Jangan cuma berani maki-maki saya di koran Fadjar, tapi tiga kali difasilitasi untuk debat oleh Jusuf Kalla di Al Markaz, satu kali di Universitas 45 kalau tidak salah, dan terakhir di kampus Fakultas Hukum (FH) UNHAS, tapi Prof Muis tidak berani datang. Hanya Prof Ismail Suny yang membela saya.
Mereka bilang Suharto berhenti tidak sah dan Habibie juga tidak sah jadi Presiden. Debat sangat keras. Akhirnya saya katakan yang bilang tidak sah silahkan bawa ke pengadilan. Maka 100 orang advokat yang mengatasnamakan pengacara reformasi gugat masalah keabsahan tersebut ke PN Jakarta Pusat.
Saya menghadapi mereka sendirian di pengadilan. Tiga bulan sidang, PN Jakpus memutuskan menolak gugatan para penggugat seluruhnya. Dalam pertimbangan hukum majelis hakim menyatakan bahwa proses berhentinya Pak Harto adalah sah, demikian pula pengucapan sumpah BJ Habibie sebagai Presiden baru di hadapan Pimpinan Mahkamah Agung adalah sah.
Waktu itu saya tanya Sdr Suhana Natawilana, salah seorang dari 100 advokat reformasi itu, apakah akan banding. Mereka bilang akan pikir-pikir dulu dan nyatanya tidak banding, lalu putusan inkracht.
Jadi perdebatan sah tidak sahnya berhentinya Pak Harto dan keabsahan BJ Habibie akhirnya dikuatkan dengan putusan pengadilan.
Sekarang saya sarankan KPK, kalau terus menerus mengatakan Pansus Angket KPK yang dibentuk DPR tidak sah, lawan dong ke pengadilan, bukan dengan cara menggalang opini dengan menciptakan berbagai stigma kepada mereka yang mengatakan Pansus itu sah. Itu maksud saya menyarankan agar KPK jangan bermain politik, tapi lawan dengan hukum secara gentlemen.
Dan itu akan menjadi contoh bernegara yang benar dan memberikan pendidikan politik kepada rakyat agar menjadikan hukum sebagai mekanisme penyelesaian konflik secara adil, argumentatif, adil dan bermartabat. [mc]
*Yusril Ihza Mahendra, Pakar Hukum Tata Negara.