Nusantarakini.com, Jakarta –
Wowww…….. Seru nian. Judul di surat undangan pimpinan MPR, “Simposium Nasional: Sistem Perekonomian Nasional Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial UUD 1945”. Tiap kata pada judul adalah konsep. Sebab, forum ini menyebut diri simposium. Bukan seminar atau diskusi panel. Artinya, forum ilmiah. Karena memakai frasa kata “sistem”, pasti bukan soal metode karena sistem adalah inangnya metode.
Kata kedua “perekonomian”. Karena diawali oleh sistem, pasti sistem ekonomi mainstream. Bisa dibahas dalam satu hari? Jauh panggang dari api. Lebih ruwet lagi, dikontekskan dengan mewujudkan kesejahteraan sosial. Ini pasti merujuk Sila Kelima UUD 1945. Mau-tak-mau kudu masuk ke welfare state kapitalisme yang muncul setelah Karl Marx mengancam mengekspor komunisme ke Eropa. Pasal 33 UUD 45 itu sendiri diadobsi dari ekonomi sosialisme atau Ekonomi Perencanaan Terpusat yang dianut Uni Soviet.
Pada time table-nya, yang punya gawe ialah Lembaga Pengkajian MPR yang diketuai Rully Chairul Azwar. Tapi sutradaranya adalah Prof Didik J Rachbini. Tahulah saya takkan jauh dari madzhab Ekonomi Pembangunan.
Yang menarik buat saya, justru tokoh tua ekonomi. Terutama Prof Emil Salim, Prof Sri Edi Swasono, dan Prof Dawam Rahardjo sebagai pembahas. Ketiga tokoh itu, paradoks.
Sayang tak ada Prof Mubiyarto yang sudah lama mangkat. Dulu, adalah rival berat konsepsi Emil Salim dalam proses mencari bentuk “Ekonomi Pancasila” dan atau civil economic (ekonomi kerakyatan), dimana Prof Adiningsih takut mempresentasikan visi Galbraith dalam kampanye pilpres untuk Jokowi, 2014. Eh, Adiningsih juga terundang. Selaku Ketua Penasihat Ekonomi Jokowi, bakal jadi bulan-bulanan, karena Adiningsih harus memapar Rezim Ekonomi Jokowi tak jelas itu.
MELAWAN LUPA
Dari buku yang ditulis Dawam, “Ekonomi Politik Pembangunan” (LSAF, 2012), Emil Salim vs Mubiyarto melakukan debat publik untuk meletakkan kerangka Ekonomi Pancasila. Emil menggunakan pendekatan teorema Ekonomi Neo Klasik yang tipe awal merupakan ciptaan Adam Smith. Sedangkan Mubiyarto menggunakan teorema “Kelompok Yogya” yang berangkat dari Boeke dari madzhab Neo Keyns. Sayang, debat ini dihentikan oleh Rezim Orde Baru, diambilalih ekonom Mafia Berkeley atas nama penafsir tunggal Pancasila.
Edi Swasono adalah turunan Kelompok Yogya. Ia juga pembahas di simposium ini. Sedang Didik Rachbini dan Dawam, madzhab Ekonomi Pembangunan: historis liberal developmentalism! Tapi Emil Salim dapat dibaca sebagai turunan ekonom Mafia Berkeley yang berjaya selama Orde Baru.
UU EKONOMI NASIONAL
Saya belum paham ke mana matra sismposium sistem ini. Yang pasti, sistem yang ada hanya kapitalisme. Jika tak suka sistem state capitalism Tiongkok yang kini berjaya itu, pilih yang mirip, ialah varian Keynesian: negara menjadi prime over ekonomi. Systems lainnya Ekonom Islam yang berasal dari Ekonomi Klasik. Tapi tak link and macth dengan sistems global.
Hatta Taliwang menginisiasi UU Ekonomi Nasional, agaknya dapat menampung masalah Pasal 33 UUD 45. Saya kira jitu. Pasal 33 itu secara impresif terbagi dua: (i) Ekonomi Nasional, (ii) Keuangan Nasional. Ayat 1, 2, 3, kategori Ekonomi Nasional. Sedang Ayat 4 yang ada istilah “efisiensi”nya adalah kategori Keuangan Nasional. Biarlah tetap diurus UU Keuangan Negara dan Audit Negara. Tapi Ayat 1, 2, 3 harus diurus UU Ekonomi Negara yang belum ada.
UU Ekonomi Nasional, bertugas state welfare, mewujudkan kesejahteraan rakyat. Tak ada dalil efisiensi yang berasal dari liberalisme di situ. Tidak berdagang.
Jika kepincangan ekonomi terus menajam, takkan ada kesejahteraan rakyat itu. Jadi konsep Trilogi Pembangunan Orde Baru masih tetap akurat: pemerataan! Itu satu.
Kedua, data Oxam yang saya kutip dari buku karya Prabowo Subianto, “Paradoks Indonesia” (2017). Empat Taypan menguasai asset setara dengan 100 juta masyarakat. Data Salamudin Daeng, 80% lebih sektor keuangan dikuasai Cina Hoaqiau, berikut 80% ekonomi nasional. UU itu harus memperbaiki sikon ini.
Ketiga, UU Ekonomi Nasional memuat ketahanan bangsa. Unsur-unsur anasir tindak pidana subversif ekonomi diadobsi. Kita tahu dari Bank Indonesia, 50% lebih dana WNI ada di luar negeri. Keempat, UU ini memuat anasir ISA (Internal Security Act).
*By Djoko Edhi S Abdurrahman, Ketum Indonesian Tax Watch dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU. [mc]