Nusantarakini.com, Jakarta –
Di luar UUD 1945 dan Pancasila, memang orang segera akan tahu, bahwa di Indonesia telah berlangsung sustim kekuasaan Plutokrasi, bukan Demokrasi. Banyak nama disampaikan orang untuk menunjukkan sistim kekuasaan negara yang berlaku di Indonesia, antara lain, Kleptokrasi, yaitu negeri tempat berkuasanya maling-maling.
Adapun Plutokrasi, dalam artian yang sesungguhnya bersifat netral, untuk menunjukkan adanya segelintir orang Kaya Raya yang menjadi Penguasa Negeri. Tetapi di Indonesia, artinya tidak netral lagi, karena yg berkuasa adalah kelompok ‘Cina Pendatang,’ bukan ‘Pribumi,’ bukan ‘Orang Asli Indonesia,’ demikian UUD 1945 menyebutnya.
Memang jumlah orang Cina di Indonesia bertumbuh terus sejak kedatangan mereka pada 1200-an, hampir bersamaan dengan datangnya orang-orang Belanda dan Bule-bule lain dari Eropa, yang lalu menjajah Negeri ini. Cina-cina pendatang ini berambisi menjadi suku ke-Dua, setelah Suku Jawa, suku terbesar di antara 1300-an suku yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.
Pada umumnya perekonomian, perdagangan, keuangan dan industri berada di bawah kekuasaan Cina-cina pendatang ini. Mereka dijadikan mitra oleh para Belanda sebagai mediator dalam proses penjajahan, dan diberi kedudukan di atas Pribumi. Selain mempunyai jiwa kepengusahaan yang tinggi dari sisi karakter bangsanya, orang-orang Cina ini juga secara sistimatik memang berusaha menguasai Negeri ini, seperti si Belanda, sekalipun Bule-bule ini sudah terusir. Yaitu dalam banyak sisi kehidupan, sosial, ekonomi, budaya, politik dan lain-lain.
Tentu tidak semua orang Cina mempuntai jiwa penjajah seperti itu, seperti Bule-bule yang dulu ketika datang pertama kalinya, juga awalnya hanya mau berdagang. Ada juga yang mencari tempat tinggal baru, bermigrasi karena terdesak oleh perang, ketidaknyamanan dan lain-lain. Tetapi sekelompok kecil yang berjiwa Penjajah memang benar-benar ada, sebutlah mereka Mafia Cina.
Untuk membedakannya dari Cina-cina Penjajah, yang karena jiwa penjajahnya itu menjadi Taipan dan Konglomerat. Kelompok kecil minoritas Mafia Cina inilah kekuatan Kaya Raya yang secara de facto menjadi Plutokrat. Karena itu ada yg menyebutnya Plutokrasi Cina, untuk membedakannya dari Plutokrasi saja, yang berarti Plutokrat Pribumi. Pada hakekatnya Plutokrasi saja itu pun tidak ada di dunia. Di negara-negara maju yang ada adalah demokrasi dengan berbagai coraknya.
Memang kemudian Plutokrasi Cina di Indonesia menjadi keanehan sendiri di mata dunia. Konon hanya sekitar 50 orang Mafia Cina ini menguasai kekayaan lebih dari 50% penduduk, termasuk dari bumi, air dan kekayaan alam di dalamnya. Kekayaan mereka mencapai di atas USD 1 milyar sampai USD 10 milyar. Hampir setiap tahun ada publikasi dunia tentang 50 sampai 100 orang terkaya Indonesia. Badan Pusat Statistik/BPS dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas tentu lebih tahu angka-angka pastinya, sekiranya mereka peduli dan jujur. Di antara mereka adalah 9 Naga Taipan Plutokrat yang mengatur Republik ini.
Tentulah situasi ini tidak bisa dibenarkan, sehingga perubahan dari sistim Plutokrasi Cina ke Demokrasi harus terjadi. Sama seperti ketika Orang-orang Indonesia Asli memutuskan untuk mengusir Penjajah Belanda dan Jepang. Tidak ada yang aneh atau istimewa, sangat alami.
Sejak Sumpah Pemuda 1908, bahkan sebelumnya, para pemuda tokoh Bapak Bangsa sudah mulai bergerak untuk mengusir penjajah. Demikian pula kemudian Soekarno-Hatta. Penjajahan di muka Bumi ini harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Mungkin mengingat berbagai penderitaan yang dialami Soekarno-Hatta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, seorang kawan, Zeng Wei Jian, mengingatkanku untuk tidak mengangkat soal Ras Cina, agar para Algojo Mafia-mafia Cina tidak mencari perhitungan. Wei Jian tentu lupa, karena dia sendiri yang pertamakali mengangkat istilah “Chinese Plutocracy.”
Katakanlah pada akhirnya Rezim Penguasa sekarang, yang didukung oleh para ‘Mafia Cina Plutokrat’ ini berhasil ditumbangkan, sama seperti Soekarno-Hatta yang bisa menumbangkan Penjajah Belanda dan Jepang. Apa dan bagaimana kemudian yang perlu dilakukan, khususnya terhadap para Orang Indonesia Asli mantan terjajah ini merupakan pertanyaan yang harus dijawab pada tahap berikutnya. Tentu banyak pertanyaan lain yang tidak kalah penting dan mendesak, yang juga harus dijawab. Tapi, baiklah pertanyaan ini dulu yang perlu.
Tentulah asumsinya NKRI tidak hancur berantakan, sepeninggal Rezim Joko-Jeka. Memang bisa terjadi kekacauan yang tidak kecil dalam bidang keuangan negara. Selain kas Negara yang kosong, juga terjadinya capital flight dari para Mafia Cina yang mau menyelamatkan diri dan kekayaannya. Tetapi kita pernah menghadapi hal yang mirip pada Krisis 97/98, bahkan berlanjut sampai tahun 2000. Tetapi kita bisa mengatasinya. Kali ini pun akan begitu, tanpa harus terperosok dalam lubang kesulitan berkepanjangan yang sama.
Prioritasnya adalah untuk rakyat kecil yang sangat miskin. Berapa jumlah mereka?! Sejak SBY selalu didengungkan jumlah mereka 40 jutaan. Dugaan saya bisa 100 jutaan. Merekalah yang harus ditolong lebih dulu. Bukan karena kasihan, tetapi mereka yang justru berpotensi menyelamatkan perekonomian nasional. Karena mereka selama ini tangguh, bahkan tidak terusik oleh berbagai krisis berskala nasional dan imbas internasional.
Ketika orang kaya menjadi berkurang kejayaannya, mereka yang miskin tetap hidup dalam kemiskinannya. Mereka menjadi semacam cushion, bantalan, shock absorber. Memperkuat ekonomi mereka, berarti memperkuat daya tahan terhadap gejolak dan goncangan krisis ekonomi.
Derap langkah kebangkitan dari keterpurukan ekonomi semakin serentak merata di antara berbagai lapisan masyarakat. Yang semula tertelungkup, sekarang menggeliat. Yang semula gontai, sekarang bisa berjalan cepat. Yang semula cuma bisa berjalan, sekarang bisa berlari. Yang semula hanya ikut berlari, sekarang bisa berlari cepat, mengikuti yang lain! Pertumbuhan ekonomi bersemi lewat pemerataan. Dan ini harus berlanjut terus-menerus!
Saya menyaksikan depresi ekonomi pada masa Jimmy Carter pasca penyanderaan Kedubes AS di Teheran. Seakan-akan mau membayar kembali hutangnya, Jimmy yang pensiunan Presiden ikut dalam Program Membangun Rumah-rumah Murah bagi orang-orang miskin. Dia naik membawa martil dan paku untuk memasang atap rumah, hanya dengan kaos oblong.
Membangun rumah tinggal atau sekedar rumah singgah adalah tahap paling awal untuk membantu si miskin. Sebab dengan rumah itu, anak-anak berada dalam lingkungan keselamatan dan perlindungan. Mereka bisa bersekolah, sementara orangtuanya berusaha mencari pekerjaan. Dengan rumah pun nilai tambah pekerjaan bisa dibuat. Seperti ruko, rumah toko, atau industri rumah tangga. Waktu kami bertujuh masih Kecil-kecil bersama Ibu, Bung Hatta membuatkan perumahan rakyat 100 m2 yang bisa diangsur selama 30 tahun. Kami menjadi bisa hidup dan menjadi sarjana-sarjana.
Berapa banyak rumah murah bisa dibangun setiap tahun dan berapa kebutuhan dananya, tentu harus dihitung. Sampai setiap kepala keluarga penduduk Indonesia memiliki rumah atau mendapat tempat tinggal. Karena itu harus ada Lembaga-lembaga Perumahan Negara dan Swasta. Berdasarkan undang-undang mereka ikut mengatur Pasar Rumah dan Hunian di seluruh Negeri.
Tentu tanah pun harus disediakan untuk perumahan. Karena itu, UU Land Reform harus ada, di mana orang dilarang menguasai tanah dengan semena-mena. Yang sudah telanjur harus mengembalikannya kepada Negara, termasuk para Mafia Tanah.
Kelompok Mafia-mafia Tanah yang menguasai tanah seperti Podomoro Land, Citra Land, Sinar Mas Land, Lippo Land, dan lain-lain harus menyerahkan kembali tanah yang mereka kuasai, sesuai dengan batasan yang ditetapkan oleh undang-undang, untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan masyarakat banyak dan Negara.
Juga dibutuhkan dana yang besar untuk membangun perekonomian rakyat. Mereka yang menyimpan dananya di luar negeri harus dipaksa membawanya masuk kembali. Kalau tidak mau, maka dihukum. Hukuman terberat adalah dicabut kewarganegaraannya, dan dimasukkan dalam daftar hitam untuk ditangkal masuk Negara.
Undang-Undang perpajakan diperbaiki. Selain fungsi pendapatan negara dan pertumbuhan, fungsi pajak untuk pemerataan harus mulai dijalankan. Pajak progresif diberlakukan. Yang relatif kaya dikenai pajak pendapatan yang relatif besar.
Demikian pula Pajak Bumi dan Bangunan bagi Pribumi dan Penduduk Miskin dihapuskan. Direktorat Jenderal Pajak diganti dengan Badan Perbendaharaan Negara yang independen dari Kementerian Keuangan dan Kementerian lain. Di dalamnya ada Direktorat Piutang Negara, atau Receivables, yang tugasnya mengejar para pengutang uang Negara sampai ke ujung langit. Termasuk mereka adalah para pengembang rumah, yang melarikan diri dari tanggungjawabnya membangun rumah-rumah murah berskala kecil. Mereka dianggap berhutang kepada Negara. Juga menarik kembali segala pengeluaran yang menunjukkan cost ineffectiveness. [mc]
*Sri Bintang Pamungkas, Akademisi Universitas Indonesia, Mantan Politisi penggagas “Mega Bintang”.