Nusantarakini.com, Jakarta –
Koordinator Kaukus Tembakau Nasional (KTN) Salamuddin Daeng mengingatkan, hampir lepas dari perhatian publik di tengah isu Pansus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ternyata DPR akhirnya secara resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) tentang RUU tembakau pada 27 April 2017.
Menurut Daeng, Pansus ini merupakan respon atas polemik yang selama ini berkembang di tanah air mulai dari skandal munculnya pasal tembakau dalam UU kesehatan, masuknya rezim internasional Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dalam berbagai peraturan perundang undangan di Indonesia, hingga terlambatnya pengesahaan RUU tembakau oleh DPR setelah mengalami pembahasan selama lima tahun (2014-2019)
Daeng menuturkan, bahwa Maruarar Sirait anggota DPR PDIP yang salah seorang inisiatif Pansus mengatakan bahwa pansus ini adalah pintu untuk “buka-bukaan” terhadap polemik yang selama ini terjadi.
“Semua akan dibuka lewat Pansus, apa sesungguhnya yang terjadi dalam isu tembakau sehingga selalu menjadi isue nasional sepanjang massa. Pansus ini merupakan langkah strategis untuk mengakhiri polemik dan sekaligus memberi kepastian kepada masyarajat dan dunia usaha melalui UU,” ungkap Salamuddin Daeng kepada Nusantarakini.com, Jakarta, Selasa (27/6/2017).
“Memang isu tembakau merupakan tidak hanya menjadi polemik di level politik nasional namun juga internasional. Mengingat bisnis tembakau adalah bisnis yang sangat besar. Skala industri tembakau secara global setara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negara pada urutan ke-20 di dunia,” tambah Daeng.
Daeng juga membeberkan bahwa tembakau menjadi incaran perusahaan tembakau dan rokok multinasional untuk menguasai penuh industri ini. Pertarungan ini juga melibatkan perusahaan Farmasi kelas dunia dalam merebut pasar nicotin. Sementara dominasi perusahaan multinasional tidak diragukan lagi dalam bisnis ini.
“Mereka mendorong berbagai regulasi internasional dalam mengontrol tembakau, baik melalui United Nation FCTC, IMF, World Bank dalam rangka mengontrol bisnis tembakau. Upaya perusahaan multinasional yang dibantu oleh negara industri maju industri maju ini dibungkus dengan isue kesehatan,” ucapnya.
Bagi Indonesia, kata Daeng, dominasi perusahan multinasional ini adalah ancaman yang serius. Mengingat tembakau industri kretek merupakan salah satu penopang utama ekonomi nasinal.
“Lebih dari 10 juta orang terlibat langsung dalam industri ini. Sumbangan cukai dari industri ini telah mengalahkan akumulasi sumbangan bagi hasil sektor migas, royalti pertambangan dan sumbangan sektor perkebunan sawit. Industri ini relatif terintegrasi dari hulu sampai ke hilir,” papar Daeng.
Namun, lanjut Daeng, belakangan ini dominasi asing semakin terasa. Impor resmi tembakau hampir separuh dari kebutuhan nasional. Perusahaan-perusahaan asing lebih cenderung menggunakan tembakau impor dengan berbagai alasan.
“Sementara regulasi nasional di bidang kesehatan dan berbagai peraturan daerah secara efektif menghalangi petani menanam tembakau dan pembangkrutkan ribuan perusahaan kecil dan penengah yang bergerak di sektor tembakau,” keluhnya.
Daeng juga mengeluhkan, bahwa inisiatif DPR untuk membentuk UU tembakau dalam rangka melindungi petani terganjal oleh berbagai kepentingan yang datang dari para importir tembakau, perusahaan multinasional, industri farmasi.
“Pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi terlihat ambigu dan cenderung apriori dikarenakan berbagai tekanan dengan menolak ikut membahas RUU tembakau,” ujarnya.
“Atas dasar itu kami membentuk KAUKUS TEMBAKAU NASIONAL yang terdiri dari para akademisi, organisasi petani, para aktivis dan organisasi masyarakat dalam rangka mengawal jalannya Pansus RUU tembakau dan memberikan informasi yang menyeluruh kepada pengambil kebijakan,” tutur Daeng membeberkan alasannya.
“Kaukus Tembakau Nasional akan berjuang membantu petani dan industri dalam mendapatkan haknya dalam politik nasional dan mendapatkan perlindungan yang memadai dari negara,” tegas Daeng memungkasi keterangannya. [mc]