Nusantarakini.com, Bogor –
Sejak kampanye Pancasila yang diluncurkan pemerintah pada 1 Juni yang lalu, tiba-tiba rakyat seperti demam Pancasila. Dimana-mana banyak digelar diskusi Pancasila. Bahkan di istana digelar pula diskusi Pancasila melibatkan anak-anak mahasiswa.
Ada yang menghubungkan tema Pancasila dengan Islam, ekonomi, hingga budaya. Tentu saja yang senantiasa favorit yaitu Pancasila dan kebhinnekaan.
Demam Pancasila, kok yang kena demamnya, rakyat. Begitu kata Kyai Kampung. Rakyat tidak pernah punya kelakuan tidak baik sama Pancasila.
Yang harusnya batuk pilek dan cekot-cekot Pancasila itu, ya penguasa. Merekalah yang kelakuannya tidak baik sama Pancasila.
Disuruh sama Pancasila supaya adil dan beradab, mereka kerjakan sebaliknya kepada rakyat. Diminta berkerakyatan dengan hikmah kebijaksanaan dalam mengeluarkan kebijakan, yang dikerjakan berdasarkan sesuka dan seenaknya saja.
Sampai rakyat turun protes berjuta-juta, namun masih saja tidak mengoreksi diri. Malahan menantang-nantang rakyat adu kuat.
Rakyat sih oke oke saja. Jadi, ini memang tidak benar. Pancasila perlu dipopulerkan, yes. Tapi sasarannya para elit dan penguasa. Merekalah yang harus memantaskan dirinya, apa sudah cocok kebijakan dan kelakuannya dengan Pancasila.
Rakyat dari sononya sudah Pancasila. Islam apa lagi. Tidak perlu dikait-kaitkan dengan Pancasila. Pancasila itu cuma nol koma sekian persennya dari samudera nilai-nilai Islam. Jadi jika orang berislam dengan rapi dan nyunnah, jangankan Pancasila, sila-sila yang baik di seluruh dunia pun, sudah dengan sendirinya dicakup.
Kembali ke soal. Yang demam Pancasila itu harusnya ruang-ruang istana, ruang-ruang markas partai, ruang-ruang korporasi, polsek-polsek, gedung bundar Jaksa Agung, Trunojoyo, Cilangkap, SCBD Sudirman, Komdak, Glodok, Pondok Indah, Menteng, Pantai Indah Kapuk, Pejaten, dan basis-basis kaum elit ekonomi dan politik Indonesia. Jangan rakyat yang disibukin Pancasila. Sebab Pancasila sudah dari sananya hidup di hati kaum gembel dan papa. Nggak tahu kaum kaya? (frd)