Nusantarakini.com, Jakarta –
Terdakwa korupsi e-KTP mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman memberikan keterangan sebagai saksi.
Irman mengatakan, Setya Novanto adalah kunci untuk melancarkan proyek pengadaan KTP Elektronik. Saya artikan dari kata “kunci” itu berarti benda utama yang bisa membuka sesuatu yang tertutup menjadi terbuka sehingga bisa saya artikan lebih jauh lagi ibarat kunci itulah benda utama yang membuka pintu terjadinya korupsi e-KTP.
Kemudian Irman menceritakan dari awal sampai akhir tempat-tempat pertemuan dengan Novanto dan sejumlah rekannya beserta semua cerita peristiwa yang berkaitan dalam rangkaian kasus korupsi e-KTP; yakni : Terdakwa Sugiharto alias Giarto, dan Tersangka Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Pada sidang pembacaan dakwaan di Jakarta, Pengadilan Tipikor 9 Maret 2017 yang lalu pada kasus ini, Terdakwa Irman didakwa memperkaya diri sebesar Rp 2.371.250.000, 877.700 dollar AS, dan 6.000 dollar Singapura.
Sementara itu, Sugiharto mendapatkan uang sejumlah 3.473.830 dollar AS.
Selain memperkaya diri sendiri, para terdakwa juga memperkaya orang lain. Berikut daftarnya berdasarkan dakwaan yang disusun jaksa KPK:
1). Gamawan Fauzi (saat itu Menteri Dalam Negeri) sejumlah 4,5 juta dollar AS dan Rp 50 juta.
2). Diah Anggraini (saat itu Sekretaris Jenderal Kemendagri) sejumlah 2,7 juta dollar AS dan Rp 22,5 juta.
3). Drajat Wisnu Setyawan (Ketua Panitia Pengadaan e-KTP) sejumlah 615.000 dollar AS dan Rp 25 juta.
4). Enam anggota panitia lelang, masing-masing sejumlah 50.000 dollar AS.
5). Husni Fahmi sejumlah 150.000 dollar AS dan Rp 30 juta.
6). Anas Urbaningrum sejumlah 5,5 juta dollar AS.
7). Melcias Marchus Mekeng (saat itu Ketua Banggar DPR) sejumlah 1,4 juta dollar AS.
8). Olly Dondokambey sejumlah 1,2 juta dollar AS.
9). Tamsil Linrung sejumlah 700.000 dollar AS.
10). Mirwan Amir sejumlah 1,2 juta dollar AS.
11). Arif Wibowo sejumlah 108.000 dollar AS.
12). Chaeruman Harahap sejumlah 584.000 dollar AS dan Rp 26 miliar.
13). Ganjar Pranowo sejumlah 520.000 dollar AS.
14). Agun Gunandjar Sudarsa selaku anggota Komisi II dan Badan Anggaran DPR RI sejumlah 1,047 juta dollar AS.
15). Mustokoweni sejumlah 408.000 dollar AS.
16). Ignatius Mulyono sejumlah 258.000 dollar AS.
17). Taufiq Effendi sejumlah 103.000 dollar AS.
18). Teguh Juwarno sejumlah 167.000 dollar AS.
19). Miryam S Haryani sejumlah no 23.000 dollar AS.
20). Rindoko, Nu’man Abdul Hakim, Abdul Malik Haramain, Djamal Aziz, dan Jazuli Juwaini selaku Kapoksi pada Komisi II DPR RI masing-masing 37.000 dollar AS.
21). Markus Nari sejumlah Rp 4 miliar dan 13.000 dollar AS.
22). Yasonna Laoly sejumlah 84.000 dollar AS.
23). Khatibul Umam Wiranu sejumlah 400.000 dollar AS.
24). M Jafar Hafsah sejumlah 100.000 dollar AS.
25). Ade Komarudin sejumlah 100.000 dollar AS.
26). Abraham Mose, Agus Iswanto, Andra Yastriansyah Agussalam, dan Darman Mappangara selaku direksi PT LEN Industri masing-masing mendapatkan sejumlah Rp 1 miliar.
27). Wahyuddin Bagenda selaku Direktur Utama PT LEN Industri sejumlah Rp 2 miliar.
28). Marzuki Alie sejumlah Rp 20 miliar.
29). Johannes Marliem sejumlah 14.880.000 dollar AS dan Rp 25.242.546.892.
30). Sebanyak 37 anggota Komisi II yang seluruhnya berjumlah 556.000 dollar AS. Masing-masing mendapat uang berkisar antara 13.000 hingga 18.000 dollar AS.
31). Beberapa anggota tim Fatmawati, yakni Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Eko Purwoko, Andi Noor, Wahyu Setyo, Benny Akhir, Dudi, dan Kurniawan masing-masing sejumlah Rp 60 juta.
32). Manajemen bersama konsorsium PNRI sejumlah Rp 137.989.835.260.
33). Perum PNRI sejumlah Rp. 107.710.849.102.
34). PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp. 145.851.156.022.
35). PT Mega Lestari Unggul yang merupakan holding company PT Sandipala Artha Putra sejumlah Rp. 148.863.947.122.
36). PT LEN Industri sejumlah Rp. 20.925.163.862.
37). PT Sucofindo sejumlah Rp. 8.231.289.362.
38). PT Quadra Solution sejumlah Rp. 127.320.213.798,36.
Juga ada fakta bukti dari keterangan kesaksian pada sidang di pengadilan Tipikor 3 Maret 2017 yang lalu, Muhammad Nazaruddin memastikan seluruh anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014, menerima uang hasil korupsi proyek e-KTP.
Pada periode tersebut, anggota Komisi II DPR RI sebanyak 50 orang, termasuk pimpinannya, jelas sekali termasuk Basuki Tjahaja Purnama Alias Ahok pun masuk dalam daftar itu.
Hal itu disampaikan Nazaruddin saat bersaksi dalam sidang perkara korupsi e-KTP, Kalau tidak, RDP (rapat dengar pendapat) tidak mau kondusif.
Semua fakta bukti keterangan saksi dari terdakwa Irman itu sudah sangat jelas sekali atau sudah terang benderang, nama-nama yang terlibat dalam korupsi e-KTP dan nominal hasil uang korupsinya pun semua sudah sangat jelas.
Menurut pengamatan saya, berdasarkan pasal 2 atau 3 undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, seharusnya Setya Novanto sudah dapat dijerat dugaan tindak pidana korupsi, beserta semua nama yang terlibat dan atau yang disebutkan telah menerima uang hasil dari korupsi e-KTP tersebut.
Karena Novanto menyuruh orang lain melakukan tindakan korupsi, dan sudah terjadi korupsi, dalam arti Novanto telah memperkaya orang lain, kemudian nama-nama yang disebutkan dalam dakwan itu sudah menerima uang hasil korupsi.
Proyek e-KTP dengan Anggaran Negara Rp. 5,95 triliun, kerugian Negara Rp. 2,3 triliun itu, sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat saya. Mungkin tidak tersangkanya baru 3 orang saja? Tentunya secara akal sehat yang masih waras akan menjawab sangat tidak mungkin.
Dan dengan segala hormat saya minta maaf, sedikit kritikan dari saya. Saya sudah mulai bosan mendengar kalimat dari pemberantasan korupsi yang menyampaikan, “bahwa dalam waktu dekat ini kemungkinan akan ada tersangka baru”.
Yang pada akhirnya sering kali nihil juga, seperti kasus Korupsi Rekramasi pada kalimat yang saya kutip, “Grand Corruption.” Nyatanya: “Not Grand but only Small” or “The reality is not large but the result is only small or inappropriate.”
Dalam hal cara pemberantasan korupsi, khususnya kasus korupsi e-KTP itu, saya menduga kuat dan curiga berat, bahwa cara pemberantasannya sudah berpotensi dan atau kemungkinan besar sudah masuk ke arah yang seperti dalam sebuah “terowongan gelap” yang sudah dimatikan lampunya.
Tidak lain seperti mirip cara pemberantasan kasus korupsi yakni : BLBI, Century, kasus korupsi Pemprov DKI membeli tanah milik sendiri (“jeruk makan jeruk”) di wilayah Cengkareng Barat-Cengkareng-Jakarta Barat, 5700 PNS fiktif, Reklamasi, RS. Sumber Waras, suara kabar rekening gendut dan beberapa kasus dugaan korupsi yang cukup menonjol juga.
Jika sampai terjadi cara pemberantasan korupsi yang sudah masuk kedalam area kegelapan, maka dari luar akan terlihat seperti mulai tidak kelihatan lagi arah dan tujuan yang jelas atau sudah tidak sesuai dengan tujuan yang sebagaimana mestinya.
Untuk itu kemungkinan sudah ada aktor-aktor politik busuk yang mematikan lampunya, agar posisi area pemberantasan menjadi gelap gulita dan arah jalannya pun sudah tidak jelas.
Jika hal itu benar, sampai terjadi terus menerus, maka negara dan bangsa pasti hancur lebur, sebab korupsi atau KKN lah yang menyebabkan segala sistem tata negara menjadi rusak semuanya atau hancur semuanya.
Solusi dari saya, untuk mengantisipasi negara dari kehancuran, ke depannya negara sangat membutuhkan berkumpulnya para tokoh negarawan idealis yang hanya berniat jujur, tegas, berani, mental positif, tulus, ikhlas dan cukup cerdas untuk menjadikan dan atau menduduki posisi pimpinan-pimpinan yang penting-penting di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Yang jelas negara sangat membutuhkan para tokoh yang tidak bertujuan menambah kekayaan harta untuk dirinya, golongannya dan kelompoknya.
Negara pastinya hanya membutuhkan para tokoh negarawan idealis yang hanya benar-benar memiliki kesadaran sepenuhnya untuk membangun bangsa dan negara.
Semua solusi dari saya itu, yang tidak lain adalah hanya demi kemajuan dan kemakmuran bangsa dan negara. [mc]
*Kan Hiung alias Mr. Kan, Pengamat Politik dan Hukum, tinggal di Jakarta.