Nusantarakini.com, Jakarta –
Pengamat sosial politik dan hukum Kan Hiung yang telah melaporkan Veronica Koman Liau (VKL), terduga tindak pidana penghinaan terhadap penguasa, telah dimintai keterangan oleh pihak Direktorat Reskrimum Polda Metro Jaya selama hampir empat jam semenjak pukul 10.42 WIB hingga 14.40 WIB untuk memberikan semacam Berita Acara Interview (BAI).
“Saya, seperti adanya dimintai keterangan, dalam kondisi sehat, baik itu jasmani rohani dan lalu mengenai pelaporan saya, terkait pada 13 mei 2017, atas nama terlapor saudari Veronica Koman, dugaan tindak pidana penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum ,” ungkap Kan Hiung usai keluar dari ruang Ditreskrimum Polda Metro Jakarta, Selasa kemarin (6/6/2017).
“Dalam pelaporan di situ dituding pelanggaran pasal 207 KUHP. Kemudian, saya memberikan keterangan, mengapa saya memberikan pelaporan, dan menjelaskan kalau belum kenal dengan saudari Veronica Koman (VK),” tuturnya.
Pelaporan pria yang kerap dipanggil Mr. Kan, terkait atas peristiwa dimana orasi Veronica di depan rumah tahanan Cipinang pada 9 mei 2017 pada malam hari itu.
“Saya pun ditanyakan dapat dari mana rekaman video itu. Dan saya jawab kiriman dari teman-teman group WhatsApp. Sudah lupa kiriman dari siapa saja namanya, karena banyak teman yang mengirim itu,” paparnya.
Atas dasar itu Mr. Kan melaporkan karena VK menyampaikan orasi di depan umum yang mana menyampaikan ‘tidak ada istilah penistaan agama, yang ada adalah peradilan yang sangat nista dengan hakim yang nista’.
“Untuk kalimat,’Tidak ada istilah penistaan agama,’ saya anggap itu Veronica sudah menyebarkan kebohongan,” ujarnya.
Padahal, sambung Mr. Kan, VK itu menurut informasi, profesinya seorang pengacara yang pernah kerja di LBH, semestinya beliau jauh lebih jelas, paham dan menyadari tentang hukum dan UU.
“Di Negara Republik Indonesia. terutama yang terkait pada bagian KUHP pasal 156 (a) huruf a yang mengatur tentang penodaan atau penistaan agama. Akibat dari penyebaran kebohongan itu, tentu bisa jadi sesat dan liar, baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” terang Mr. Kan.
Kemudian, Mr. Kan menyampaikan, kalau dalam orasi VK itu, “yang ada adalah peradilan yang sangat nista dengan hakim yang nista”. Di sinilah yang mana menurut pemahaman Mr. Kan bahwa VK telah terindikasi melakukan penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum, yaitu Hakim di seluruh Indonesia.
“Atas penghinaan itu, bisa merusak keluhuran budi dan harkat martabat hakim di seluruh Indonesia,” tutur Mr. Kan.
Menurut Mr. Kan, itu juga bisa menjadi sesat dan liar baik di dalam negeri mau pun di luar negeri. Maka dari itu, kata dia, mesti ada sebuah pembelajaran, dimana kritik terhadap seseorang atau penguasa dan pejabat negara.
“Kalau bahasa kritik sangat berbeda dengan menyebarkan kebohongan apalagi sampai menghina-hina itu tidak pernah diperbolehkan,” kata Mr. Kan seraya menjelaskan.
Dan satu lagi sebagai tambahan, imbuh Mr. Kan, secara terpisah dirinya telah melakukan pencabutan atas satu laporan lainnya dari dia, dimana VK yang terindikasi penghinaan terhadap presiden, itu sudah saya ajukan pencabutan dan akan diadakan BAP singkat atas itu.
“Soalnya, setelah dipelajari kembali beserta penyidik dimana konstruksi hukum pada pasal 137 KUHP tidak cukup lagi. Bagian KUHP pasal 137 itu, ternyata sudah dicabut oleh Mahkammah Konstitusi (MK), sudah dirubah dan mengarah pada bapak Presiden sendiri yang berhak melaporkan sendiri atau dengan surat kuasa atas indikasi penghinaan itu. Jadi sudah bukan hak kita lagi,” bebernya.
Perlu diketahui, pada tanggal 29 Mei dan 6 Juni 2017 berdasarkan laporan polisi bernomor LP/2319/V/2017/PMJ/Dit.reskrimum tertanggal 13 Mei 2017 yang tengah menindaklanjuti penyelidikan lebih lanjut berupaya konfirmasi ke pihak pelapor, terkait dugaan tindak pidana kejahatan penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan hukum.
Berdasarkan pasal 207 KUHP, yang berbunyi, “barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau dengan tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia akan diancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. [mc]