Nusantarakini.com, Jakarta –
Seorang Ahokers atau Jokowers mungkin bahagia hingga kejang-kejang jika berhasil membully para pendukung Habib Rizieq. Sebaliknya para pendukung Habib Rizieq juga tertawa hingga kejang-kejang jika berhasil menelanjangi kekeliruan para Ahokers ataupun Jokowers. Tapi tahukah Anda jika suasana konfrontatif dan polarisasi semacam itu ada pihak secara politik mengambil keuntungan dan menggunakannya untuk suatu rekayasa politik tahap berikutnya?
Tentu Anda kenal dengan komunis dan komunisme. Namun sudahkan Anda benar-benar mengenal langkah-langkahnya? Jika belum, artikel berikut akan menyajikannya kepada Anda.
Komunisme itu suatu paham radikal dan kejam dalam usaha merebut kekuasaan. Teror, adu domba dan perskusi hingga penculikan dan pembunuhan suatu hal yang lumrah bagi kamus komunis.
Selain sebagai metode politik, komunisme juga merupakan cita-cita politik sekaligus cara berpikir.
Indonesia tidak asing dengan komunisme. Komunis hadir hampir seabad di negeri ini.
Bila dalam kondisi tidak menguntungkan dan masih lemah, komunis berialiansi dengan golongan politik mana saja secara pragmatis sembari meneguhkan eksistensinya dan menyudupkan pengaruhnya. Tapi bila sudah kuat, dia akan membabat habis golongan selain komunis. Bahkan dia ringan saja membabat sesama komunis yang tidak seirama dengan kehendak pimpinannya atau Politbironya.
Tabiat Komunis dalam mengambilalih kekuasaan negara dan masyarakat teramat mudah dideteksi. Intoleran dalam politik sekaligus fasis, itulah hakikatnya. Namun dengan angkuhnya mengalamatkan tabiat itu kepada musuh-musuhnya.
Menurut pola-pola gerakan komunis selama ini, bukan tidak mungkin, Indonesia tengah dijebak ke dalam staregi komunis.
Di antara indikasinya yang nyata ialah semakin kerasnya konfrontasi dan polarisasi masyarakat.
Setiap hari kita disibukkan dengan konfrontasi antar sesama dengan aneka isu yang silih berganti. Hasilnya adalah mengerasnya polarisasi di dalam masyarakat.
Polarisasi yang paling kentara sekarang ialah antar haters vs lovers tokoh-tokoh nasional.
Uniknya, mereka bisa memproduksi suatu istilah yang merefleksikan konfrontasi dan polarisasi itu, seperti kaum bumi datar vs kaum bumi bulat yang dituduhkan, Ahokers, Jokowers, dan seterusnya. Hal itu digunakan sebagai modus identifikasi sosial dan regrouping yang pada akhirnya ditujukan untuk konfrontasi dan polarisasi.
Bagi komunis, situasi masyarakat yang harmonis dan sejuk merupakan mimpi buruk di saat mana mereka belum merebut kekuasaan secara penuh. Karena itu mereka secara kreatif memproduksi pertengkaran dan isu.
Mereka amat suka dengan suasana konfrontatif. Masih ingat kisah konfrontasi Indonesia terhadap Malaysia dan bagaimana PKI mengambil keuntungan dari hal itu?
Sebab dengan suasana konfrontatif, memuluskan kondisi bagi strategi komunis untuk membasiskan para pendukung visi politiknya.
Bilamana konfrontasi berkembang menjadi polarisasi, berarti itu suatu kemajuan yang menguntungkan bagi komunis untuk mengelola basis dukungannya. Semakin kental dan keras polarisasi di dalam masyarakat, semakin dekat bagi komunis untuk mencapai tujuan politiknya dalam mengambilalih kekuasaan.
Mungkin di antara umat Islam melewatkan analisis ini dalam melihat keadaan hari ini. Dikira suasasa sedang menguntungkan umat Islam, padahal sebenarnya juga menguntungkan para komunis yang bergerak bagaikan kuman di berbagai lini.
Memang keuntungan umat Islam sejauh ini yaitu meningkatnya kepercayaan diri mereka sejak rontoknya mimpi Ahok meraih kekuasaan di Ibu Kota. Tetapi yang dilawan sebenarnya bukan hanya Ahok, tetapi beragam kekuatan yang bersembunyi di balik Ahok tersebut.
Sebagai analisa, tetapi memerlukan validasi, amat mungkin para komunis bersinergi dengan kapitalis naga dewasa ini untuk tujuan tahap awal, melumpuhkan daya politik umat Islam. Tetapi mereka salah menduga, dimana usaha melumpuhkan semacam itu, tidak mudah.
Bila mana skenario mereka berhasil, dipastikan antar komunis dan kapitalis naga, akan bersitegang dan akhirnya berkonflik juga. Hal itu, karena habitat di antara dua golongan memang bertolak belakang. Tapi mereka mengelola potensi konflik di antara mereka dengan menjadikan umat Islam sebagai musuh bersama.
Lalu pertanyaannya, bagaimana harusnya umat Islam menghadapi makar kedua siluman politik ideologis ini?
Pertama, tetap eling, jeli, waspada dan cerdik menilai keadaan.
Kedua, merawat terus persatuan antar umat Islam.
Ketiga, merawat semangat jihad.
Keempat, membina terus basis baru umat Islam yang sudah terkristalisasi, yaitu masyarakat yang turut dalam gelombang 212. Gelombang 212 ini merupakan mimpi buruk bagi kedua siluman tersebut, sehingga dengan tekun dan intens mereka berusaha merusak moral dari aksi 212 tersebut. Termasuk dari hal ini, kriminalisasi Habib Rizieq dan Amien Rais.
~ John Mortir