Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya Indonesia, saya Pancasila. Yah, meskipun saya mengupah buruh di bawah UMK. Saya sisakan sedikit saja bagi mereka yang bekerja di perusahaan saya. Ya, ini adalah perusahaan milik saya, meski puluhan tahun mereka ikut banting tulang bekerja. Bisa jadi sudah derajat mereka menjadi pekerja terus selama-lamanya. Lihat saja, sekedar mimpi saja mereka tidak ada.
Ah jangan lihat-lihat Amerika. 13 juta buruh sudah memiliki perusahaan tempat mereka bekerja. 4500 perusahaan membagi saham bagi pekerja. Bahkan 3000 perusahaan sudah sepenuhnya menjadi milik para pekerjanya. Padahal Amerika kan tidak punya Pancasila.
Jangan juga coba-coba lihat Singapura. 500.000 pekerja di sana memiliki koperasi ritel yang menguasai 53% volume perdagangan negaranya. Sekali lagi itu kan Singapura, yang tidak ada Pancasila-nya. Alangkah beruntungnya kita punya Pancasila.
Oh tidak perlu melihat Spanyol juga. Salah satu kotanya Modragon menjadi pusat koperasi pekerja terbesar di dunia. 100.000 pekerja berkoperasi dengan memiliki pabrik sepeda, bank, asuransi, ritel, bahkan kampus mereka juga punya. Sayang mereka tidak punya Pancasila.
Sudah lupakan saja negara-negara Skandinavia. Konglomerat bertekuk-lutut di hadapan koperasi tani mereka. Pun, koperasi petani di Jepang yang menguasai hulu, tengah, sampai hilir pertanian mereka. Dua konfederasi koperasi tani mereka sudah menembus 10 koperasi terbesar di dunia.
Tidak penting juga tahu bank terbesar kedua di Prancis adalah koperasi, milik warganya. Itu belum apa-apa. 80% pangsa pasar keuangan dan perbankan di Jerman adalah milik koperasi warga dan serikat-serikat ekonomi mereka. Ah, yang penting mereka tidak punya Pancasila.
Saya sempat risau juga. 300.000 petani Sanggau bergotong-royong melalui koperasi mengendalikan kredit di wilayah mereka. Ratusan pemuda, perempuan, dan orang tua bergotong-royong mengelola ekowisata gunung api Purba di desanya. Puluhan ribu pekerja se-Jabodeka membangun usaha ritel bersama di tempat kerja. Banyak prakarsa serupa dalam skala terbatas di berbagai tempat di Indonesia lainnya.
Tapi saya merasa lega. Di upacara dan talkshow media, itu tidak disebut-sebut sebagai Pancasila. Saya juga tidak melihat bangsa ini sedang bergerak serempak ke arah sana. Saya tidak melihat Pancasila dibawa ke tempat kerja. Sekira itu terjadi tentu saja berbahaya. Ide tentang kebersamaan, persatuan, dan gotong-royong selalu menakutkan bagi saya.
Yah, saya tetap Indonesia, saya tetap Pancasila. Meskipun saya menumpuk kekayaan di mana-mana. Lihat saja, deklarasi kekayaan saya ada diantara yang lebih dari 4000 trilyun banyaknya. Bahkan saya ikut 1% keluarga terkaya yang menguasai 50,3% kekayaan di Indonesia. Urusan tumpuk-menumpuk ini saya hanya kalah jago dari Thailand dan Rusia. Itu kata Bank Dunia.
Ya meskipun juga puluhan juta saudara saya, termasuk dari kalangan pekerja, hidup miskin dengan pengeluaran perorang kurang dari 400 ribu sebulannya. Lihat pula jutaan pekerja, selalu saja mengeluh soal rendahnya upah, jaminan sosial, tunjangan hari tua, rumah, hingga pemberangusan serikat pekerja mereka. Amat jauhlah dengan keadaan saya.
Saya tetap Pancasila, sebab saya bukan komunis dan radikalis atas nama agama. Mungkin saya dianggap merampas hak pekerja, tetapi saya toh tidak menistakan Pancasila. Sebab itu hanya bagi mereka yang berkata buruk tentang Pancasila. Salah siapa tidak membawa nilai-nilai Pancasila di tempat kerja? Tak ada juga yang meminta saya membagi saham untuk pekerja yang puluhan tahun setia.
Ah, apa jadinya kalau Pancasila sampai di tempat kerja saya? [mc]
*Awan Santosa, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) UGM