Nusantarakini.com, Jakarta –
Masih ingat kasus Saeni, ibu penjual Warteg di Serang yang menjadi viral setahun yang lalu? Kasus Bu Saeni menjadi viral setelah ‘digoreng’ oleh kelompok-kelompok anti Islam. Dan kasus ini diframing sebagai tindakan radikalisme dan intoleransi dari kelompok mayoritas.
Kasus Bu Saeni bermula saat warungnya dirazia Satpol Pamong Praja (PP) Kota Serang lantaran kedapatan buka di siang hari di bulan Ramadhan. Drama razia ini menjadi heboh karena prosesnya direkam dan disiarkan oleh stasiun televisi. Kemudian diviralkan oleh media mainstream milik korporasi raksasa yang menguasai Indonesia.
Drama simpati kemudian diproduksi dan dipublikasikan besar-besaran. Dengan pesan intoleransi, anti Kebhinekaan, hapus Perda Syariah dan hormati yang tidak puasa. Ratusan juta pun dihadiahkan kepada Bu Saeni dari kelompok kaya, yang mungkin juga sama orangnya dengan pengirim karangan bunga untuk Ahok. Bahkan agar daya dobrak propaganda ini semakin besar, Jokowi pun dengan terang-terangan ikut mendukung dengan memberikan hadiah sebesar Rp.10 juta.
Propaganda anti Islam ini tidak peduli dengan fakta bahwa apa yang dilakukan oleh Bu Saeni memang melanggar Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat dan Surat Edaran Wali Kota Serang Nomor 451.13/556-Kesra/2016 tentang imbauan bersama menyambut bulan suci Ramadan yang isinya terdapat jam operasional rumah makan yang diperbolehkan beroperasi sejak pukul 16.00 WIB. Dan tutup warung nasi ini juga sudah menjadi tradisi dan kearifan lokal yang sudah berjalan lama di wilayah bekas kesultanan Banten.
Propaganda dengan pola yang sama kembali muncul di bulan Ramadhan sekarang ini. Kali ini yang digunakan sebagai alat propaganda adalah Afi Nihaya Faradisa, anak SMA yang menulis di akun Facebook miliknya yang membahas soal keberagaman.
Tulisan Afi Nihaya Faradisa yang isinya menyerang Islam, intoleransi, radikalisme dan anti Kebhinekaan kemudian menjadi viral. MetroTV, Kompas TV dan buzzernya di media sosial langsung memblow-up tanpa ampun. Kampus UGM yang katanya banyak bercokol kaum intelektual juga ikut-ikutan mengundang Afi Nihaya untuk menimba ilmu toleransi dan kebhinekaan.
Gong propaganda ini tentunya tidak akan afdol bila tidak dilakukan oleh Jokowi. Afi Nihaya Faradisa pun diundang dan bertemu Jokowi pada upacara peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri, Jakarta, 1 Juni 2017.
Bila saat kasus Bu Saeni mereka mengabaikan fakta pelanggaran terhadap Perda dan Surat Edaran Walikota, kini mereka juga mengabaikan bahwa apa yang ditulis Afi Nihaya Faradisa adalah sebuah tindakan plagiarisme. Dan yang lebih kejam lagi adalah demi propaganda politik, mereka menggunakan anak-anak sebagai alat. Kedepan mau pake alat apa dan siapa lagi? (*mk)