Nusantarakini.com, Jakarta –
Beredar berita bahwa kepala kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Tito Karnavian berkeliling di Timur Tengah. Di antara sasaran kunjungannya adalah Kepolisian Arab Saudi. Setelah bertemu dengan kepala kepolisian Arab Saudi, Tito melanjutkan jangkauan kunjungannya ke Iran. Di Iran dia bertemu dengan kepala kepolisian Iran. Uniknya, momen kunjungannya ke Timur Tengah tersebut diiringi oleh meledaknya bom di terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Yang menarik dari arti kunjungan Kapolri ini ialah mengunjungi dua negara sekaligus yang berseteru dan bersaing geopolitik di Timur Tengah, yaitu Iran dan Arab Saudi. Apakah Pemerintah Indonesia sedang mengirimkan pesan bahwa pemerintah Jokowi tidak berada di pihak salah satu pun? Tampaknya iya.
Kepentingan pemerintah Jokowi jelas ingin membendung rembesan konflik di Timur Tengah ke dalam negeri Indonesia. Caranya dengan mengefektifkan jalinan kerjasama kepolisian antar negara dari kedua negara yang paling berpengaruh di Timur Tengah itu.
Namun di sisi lain, kunjungan tersebut juga mengindikasikan bahwa Indonesia mengakui pengaruh dari dua kekuatan tersebut.
Kekuatan Arab Saudi sebetulnya tidak berdiri sendiri. Dia terkoneksi dan tergabung dengan kekuatan Amerika Serikat. Jika boleh diberi istilah, inilah blok Aram (Arab – Amerika). Apalagi baru-baru ini, Trump telah menandatangani kerjasama ekonomi spektakuler dengan Arab Saudi bernilai 100 miliar dollar.
Blok ini tentu bersaing dengan One Belt One Road (Obor) yang dimotori oleh RRC. Di blok ini berdiri Iran dan Rusia.
Dalam konteks kepentingan ekonomi politik dunia Islam yang luas dan menjanjikan, kedua blok ini sangat keras persaingannya. Konflik yang melanda umat Islam tidak bisa dipisahkan dari hadirnya kedua blok ini.
Masalahnya, Indonesia yang tidak bisa menyangkal diri sebagai dunia Islam, mau bagaimana? Mau menempatkan diri macam apa di hadapan dua blok (Aram vs Obor) yang agresif bersaing saat ini?
Indonesia mungkin berpikir pragmatis saja dengan mengambil keuntungan berhubungan baik dengan kedua blok tersebut. Namun harus juga waspada, bisa-bisa bukannya keuntungan yang diperoleh Indonesia dengan bermain di antara dua sisi blok tersebut, malahan keruntuhan dan kerugian.
Bayangkan jika tiba-tiba kedua blok tersebut menjadikan Indonesia sebagai medan konflik dan uji coba kekuatan mereka. Tampaknya yang terakhir ini yang akan diperoleh jika pemerintah tidak eling dan sigap menghadapi kedua blok yang sama-sama brutal tersebut? Kalau demikian yang terjadi, sebaiknya sejak sekarang harus diantisipasi agar pemerintah Indonesia tidak lalai dan terjebak dengan pragmatisme politik luar negeri yang mereka anut. (ryt)