Nusantarakini.com, Jakarta –
9 Mei 2017 yang lalu saudara Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sudah divonis terbukti melakukan penodaan agama oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Majelis Hakim memutuskan Ahok dihukum dengan pidana penjara selama dua tahun dan segera di lakukan penahanan.
Sebelum penutupan sidang, Ahok menyatakan banding ke tingkat Pengadilan Tinggi. Dari tim kuasa hukum Ahok mengajukan permohonan penangguhan penahanan atas Ahok di Pengadilan Tinggi yang ditandatangani oleh Djarot Saiful Hidayat sebagai penjamin dan dilanjutkan atas inisiatif pengumpulan KTP oleh seorang warga DKI pendukung Ahok yang bernama Susy sebagai tambahan penjamin.
Menurut pengamatan saya, sangat tidak masuk di akal sehat jika keputusan Majelis hakim atas penahanan Ahok, lalu seandainya diberikan penangguhan penahanan lagi. Karena kita harus ingat tujuan dari hukum adalah untuk menciptakan keadilan, mencapai keadilan dan menegakkan keadilan.
Khususnya bagi masyarakat mayoritas muslim yang sudah marasakan agama Islam telah dinodai oleh Ahok, pastinya tidak akan bisa menerima dan akan merasa sangat tidak adil jika sampai Ahok ditangguhkan penahanannya.
Sejak awal kasus perkara penodaan agama ini sudah tampak jelas sekali Ahok telah mendapatkan keistimewaan hukum. Karena sejak awal adanya gerakan jutaan massa aksi bela Islam (411) 4 November 2016 turun ke jalan, baru kemudian 16 November 2016 Ahok dijadikan tersangka hingga berstatus terdakwa pun Ahok tidak ditahan. Padahal kasus penodaan agama terdahulu berdasarkan yurisprudensi, semua tersangka atau terdakwa dilakukan penahanan oleh aparatur penegak hukum.
Kan tidak mungkin terus menerus Ahok diberikan keistimewaan? Kita harus menyadari juga, atas kasus Ahok ini bangsa dan negara sudah menghabiskan energi yang sangat besar dan banyak sekali, baik itu berupa materil maupun imateril.
Setelah Ahok divonis oleh mejelis hakim, tiga belas hari kemudian tepatnya 22 Mei 2017 Ahok memutuskan untuk melakukan pencabutan banding di tingkat Pengadilan Tinggi. Menurut informasi keputusan ini sudah merupakan hasil perundingan antara Ahok dan keluarganya serta para kerabatnya.
Satu hari pasca pencabutan banding 23 Mei 2017, ada sepucuk surat dari tulisan BTP alias Ahok yang dibacakan oleh istri Ahok, nyonya Veronika Tan sambil menangis histeris dan didampingi oleh adik kandung Ahok yang bungsu bernama Fifi Lety Indra. Isi surat yang menyangkut pencabutan banding, ucapan terima kasih dan sebagainya.
Menurut pengamatan saya, Ahok dan keluarganya sangat cerdas dan bijaksana atas pandangan terhadap pemahaman hukum dan undang-undang serta memiliki kesadaran hukum yang cukup tinggi. Dari semua ini saya amati, atas dasar Ahok mencabut banding secara hukum telah dinyatakan Ahok sudah mengakui kasalahan atas perbuatannya yang telah menodai agama dan yang melanggar hukum. Mengapa bisa demikian?
Karena satu hari pasca Ahok divonis, saya sudah memprediksikan jika Ahok cukup cerdas dan bijaksana akan kesadaran hukum; maka Ahok tidak akan ajukan banding lagi. Karena hukuman dua tahun penjara itu sudah cukup ringan dibandingkan isi hukuman yang ada di dalam KUHP pasal 156a huruf a itu maksimal bisa dihukum lima tahun penjara.
Satu lagi secara yurisprudensi, rata-rata pelaku penodaan agama dihukum empat sampai lima tahun penjara. Apalagi Ahok seorang pejabat Gubernur DKI Jakarta, seharusnya pejabat sekaligus seorang pemimpin khusus Ibu Kota bisa dihukum lebih berat daripada masyarakat pada umumnya, Mengapa?
Karena berdasarkan logika saya, posisi seorang pemimpin, bila terjadi hal demikian maka akan menimbulkan pro dan kontra yang sangat besar, sehingga akibatnya bisa berdampak sampai terjadinya perpecahan dan kegaduhan yang tidak berkesudahan. Dan juga seorang pejabat sekaligus pemimpin malakukan penodaan agama telah memberikan contoh yang sangat buruk untuk masyarakat.
Kemudian jika seandainya Ahok tetap melakukan banding, maka menurut pengamatan saya, Ahok berpotensi sangat besar akan diberikan putusan hukuman yang lebih berat, untuk dapat hukuman lebih ringan itu bisa saya katakan hampir mustahil.
Kecuali Ahok divonis atau diputuskan hukuman penjara selama empat atau lima tahun oleh Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Untuk itu jika hal itu terjadi, berdasarkan pengamatan saya, Ahok akan ajukan banding itu sangat tepat dan cukup bijaksana, karena putusannya berat, sehingga Ahok pastinya harus berusaha untuk mendapatkan pengurangan atau keringanan hukuman penjara. Jadi masuk akal jika dari berat pasti ingin mendapatkan yang lebih ringan. Akan tetapi jika dari yang ringan ingin mengambil resiko yang lebih berat itu kan sangat konyol.
Atas kasus Ahok ini, pengamatan saya menemukan beberapa hal: pertama, delik hukum atas penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok ini sudah sangat jelas atau terang benderang.
Kedua, kemungkinan besar Ahok cukup merasa terpojok oleh isi surat Al Maidah 51 ini, sehingga Ahok menyerang dengan mengeluarkan kata-kata “dibohongi pakai surat Al Maidah 51 dan lain-lain”.
Juga hal itu sudah Ahok alami sejak beliau menjadi calon gubernur Bangka Belitung. Atas penyerangan tersebut saya ibaratkan kasus pembunuhan, itu sudah seperti istilah kasus pembunuhan berencana, jadi hukumanya seharusnya lebih berat, karena kejahatan berencana.
Adapun informasi dari pengamat dan pakar hukum bahwa ada kemungkinan Ahok akan lakukan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) di tingkat Kasasi, dan juga minta remisi hingga grasi dari Presiden Joko Widodo alias Jokowi, saya rasa semua ini akan sia-sia belaka. Mengapa?
Perlu kita sadari bahwa kasus Ahok ini sudah seperti sebuah bola yang sangat liar dan sangat panas, sehingga sampai ke tangan siapapun bola itu tidak akan ada yang sanggup menahan liar dan panasnya.
Juga secara politik apakah Jokowi tidak harus memikirkan nasib tingkat elektabilitas politiknya di tahun 2019 untuk pilpres mendatang ini? Jika seandainya Jokowi memberikan remisi atau grasi untuk Ahok, maka saya pastikan kemungkinan sangat besar secara politik elektabilitasnya Jokowi akan anjlok habis ke dasar jurang.
Yang paling dan sangat tidak bisa di terima oleh akal sehat sama sekali, ada berita beberapa politisi elit pendukung Ahok ingin menggugat agar dihapuskan KUHP pasal 156a huruf a tentang penodaan agama ini ke tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji kembali secara materi.
Memang betul berdasarkan saluran hukum masyarakat berhak menggugat pasal yang ada di dalam hukum dan undang-undang jika merasa tidak sesuai, tapi apa iya setelah menghapus pasal hukum larangan penodaan agama ini, lalu selanjutnya di negara Republik Indonesia ini semua orang bebas melakukan penghinaan dan penodaan agama, lucu gak? Ini kan bisa saya tanyakan apakah penggugat sudah mulai tidak waras lagi atas kesadaran pemahaman hukum? Betul gak sudah tidak waras? Dan apakah negara sudah mau dijadikan komunis? Tidak kan?
Satu hal penting sekali harus saya jelaskan di sini dan juga ingin saya tanyakan. Bagian KUHP dari pasal 310 sampai dengan pasal 321 itu mengatur tentang perlindungan kehormatan seseorang atau umum dikenal sebagai pasal pencemaran nama baik. Pasal-pasal itu pun menurut saya tidak akan bisa dihapuskan.
Karena tidak lucu juga kan, jika semua orang bebas di mana-mana menghina atau mencemarkan nama baik seseorang saat dia emosi. Siapa yang mau nama baik dan kehormatannya dihina-hina atau dicemarkan? pastinya tidak ada yang mau kan?
Nah di sini sangat penting dan perlu kita pahami dampak pencemaran nama baik itu hanya berdampak terhadap seseorang dan paling-paling juga keluarganya dan sahabatnya yang sakit hati. Hal itu pun harus diatur dan dilindungi oleh undang-undang, karena hal itu merupakan perbuatan kejahatan.
Apalagi mau ada yang ingin ajukan untuk penghapusan KUHP pasal 156 dan pasal 156a huruf a ITU. Janganlah berpolitik seperti sedang bermimpi terlalu berlebihan, sampai tampak seperti tidak waras lagi gitu? Perlu kita ketahui dampak dari penodaan agama atau penghinaan agama itu pasti akan berdampak terhadap perasaan orang banyak “the feelings of many”; apalagi penodaan terhadap agama Islam. Itu dampaknya di Indonesia saja bisa mencapai ratusan juta orang belum lagi umat muslim di luar negeri.
Kesimpulannya, dari penjelasan saya di atas menyimpulkan, kedua pasal tindak pidana yakni KUHP pasal pencemaran nama baik dan pasal penodaan agama itu keduanya tidak bisa dihapuskan di NKRI, karena keduanya adalah tindakkan atau perbuatan kejahatan. Kecuali kita memang sudah tidak mau waras lagi atau negara sudah mau dijadikan negara komunis.
*Kan Hiung alias Mr. Kan, Pengamat Hukum dan Politik. [mc]