Nusantarakini.com, Jakarta –
Saya terkejut membaca tulisan Christianto Wibisono kemarin yang menyebut angka ICOR kita adalah 6.0 yang mestinya 2.0. Ini angka darurat. Sepanjang rezim Soeharto, angka ICOR tertinggi adalah 3.0 akibat korupsi, ekonomi rente dan oligopoli.
Di rezim Jokowi menaik menjadi 6.0, atau 60% kebocoran pembangunan. Artinya korupsinya dan rentenya naik dua kali lipat dibanding Orde Baru. KPK, di mana KPK. Bangun!
Pantas Presiden Jokowi dibuatkan patung lilin di Tolouse Hongkong. Patung-patung di Tolouse adalah patung para tokoh dunia yang memiliki debut luar biasa. Apa debut Jokowi?
Ternyata ada dua: (i) bikin utang Rp 4.000 triliun dalam dua tahun berkuasa, dan (ii) menciptakan angka ICOR hingga 6.0. Debut luar biasa! Alias darurat pembangunan, akibat korupsi, rente ekonomi, dan oligopoli.
Saya terkesima. Agaknya karena dunia ekonomi saya replaced dengan dunia hukum. Mendengar ICOR = 6.0 saya buka tulisan saya 13 tahun lalu. Mungkin bisa membantu memahami apa itu ICOR. Untuk Paduka Jokowi. Maksud saya, jangan baca komik Sincan melulu, picnya jadi meme di seantero Sosmed tuh.
Dengan angka ICOR 6.0, bulshit dan hoax itu multiplier effect yang digembar-gemborkan pemerintah, termasuk proyek dari OBOR China dan Meikarta James Riyadi yang Rp 743 triliun itu.
Kita hanya kebagian biaya produksi, sisanya menjadi capital flight kembali ke Cina. Kita kian miskin dibuatnya, Taypannya makin kaya. Sayang Christianto Wibisono tak mengurai lebih lanjut angka 6.0 ICOR Presiden Jokowi. Mestinya Angka ICOR ini yang harus digebuk lebih dulu ketimbang HTI, Mister Presiden!
Amanat Jokowi di televisi harus cepat. Cepat opo? Jangan ngomong pat-cepat lagi Mister Jokowi, ICOR Anda 6.0. Jangan bicara mur-makmur lagi, ICOR Anda 6.0 Mister Presiden. Di posisi ICOR 6.0, semua bulshit, bohong. Sebab, ICOR tak mampu berdusta. Anda yang dusta.
ICOR DAN FRAKSI PAN
Ini analysis saya tahun 2004 tentang ICOR. Cukup kukuh Incremental Capital Output Ratio (ICOR) versi Harrord – Domar, untuk menajamkan konsep ekonomi industri, dikemukakan Hakam Naja – untuk jargon fraksi!
Baguslah jika mampu. Selain paradigma ICOR dipakai menyusun Propenas, Rapetada, dan APBN, dipakai internasional (IMF, World Bank, UNDP), kemampuan ICOR sebagai instrumen kontrol yang tangguh atas target ekonomi pembangunan, sejak desain, proses, output hingga analisis paska realisasi. [2]
Subtansi ICOR adalah nisbah inefisiensi pembangunan. Domar sendiri tak menggunakan istilah Capital Output Ratio (COR), melainkan Capital Coefficient dalam kode huruf k.
Baru ketika Harrord dan Domar bergabung jadi satu model Harrord-Domar, istilah Capital Coefficient diubah jadi Capital Output Ratio (COR).
COR merujuk parameter efisiensi, sedangkan Incremental (penaikan), ICOR parameter inefisiensi.
Mari simak versi Propenas. ICOR memproyeksikan 4,4 inefisiensi pembangunan tahun 2000. Artinya, perencana memproyeksikan distorsi ekonomis atau loses 44 persen dari jumlah modal investasi pembangunan tahun 2000.
Dibandingkan sebelum krismon (1997) lebih besar 1.4, tapi pemerintah yakin angka itu akan turun hingga 2.0 pada akhir tahun 2004.[3]
Sebaliknya, karena angka ICOR tadi menurun hingga 2.0, maka tingkat produktivitas ekonomi nasional (TFP – total factor productivity) otomatis menaik 1,6 persen per tahun.
Saya belum tahu, berapa dari angka proyeksi ICOR tadi yang mampu kita capai, dan berapa besar kemampuan mengubah struktur ekonomi untuk mencapainya.
Hingga September 2004, baik Bappenas, Menko Ekuin, maupun BPS belum mengabarkan apa-apa, termasuk Megawati yang harus kursus ICOR. [4]
Apa hubungan ICOR dengan desain industri nasional yang ingin diperjuangkan Fraksi PAN?
Penugasan dari Ketua Team Penyusunan Kode Etik Fraksi PAN Sdr Hakam Naja, juncto Sdr Jaco selaku Koordinator Pokja Ekuin (11/Sep/04), saya bertugas menghandle tematik industri – lazimnya tidak memisahkan terminologi E-Ku-In (ekonomi – keuangan – industri) itu karena wajib holistik.
Toh, bisa dicoba memisahkan ekonomi industri dengan ekonomi (makro) dan keuangan (mikro) atau sektor riil dengan sektor moneter sepanjang tak menafikan laju pertumbuhan – tabungan – capital output ratio (COR) yang mempengaruhi industri, terutama aspek multiplier effect investasi modal pada pemahaman pertumbuhan ekonomi pembangunan ala Domar.[5]
Teknik incremental yang melekat pada COR, salah satu risalah aljabar terbaik argumentasi ekonomi pembangunan berinduk pada postulasi fungsi produksi (constant return to scale) dalam teorema pertumbuhan Harrod-Domar yang memusatkan perhatian kepada aggregasi proses pertumbuhan ekuilibrium stabil antara tabungan – investasi – pendapatan.
Argumen saya dipengaruhi mazhab strukturalis Neo Keynes model Harrod-Domar — beberapa urgensi Neo Keynes berseberangan dengan Neo Klasik, terutama para Supply Side dan derivat kaum ekspektasi rasional — sehingga menurut hemat saya, Neo Keynes lah yang mestinya dijadikan pedoman utama untuk mendesain dan menyimak permasalahan industri nasional karena ia mampu menunjukkan potensi ekonomi Indonesia yang sesungguhnya sebagai negara berkembang yang tak terjangkau Neo Klasik.[6]
Kembali pada angka ICOR dalam versi Propenas tadi, ICOR dimaknakan sebagai besarnya investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan PDB tiap satu unit.[7]
Sedang TFP mendiskripsikan sumbangan produktivitas perekonomian: laju pertumbuhan, modal, tenaga kerja berkualitas dan teknologi perekonomian. Periode paska deregulasi (1988-1991), rata-rata TFP menyumbang 0,1 persen, sedangkan lima tahun sebelum Efek Domino (1992-1996), rata-rata sumbangannya negatif 0,9 persen. Dengan demikian, hampir bisa dipastikan angka TFP di bawah manajemen rezim Mega tak jauh dari 0,9 persen.[8]
Adagium petitum: ekonomi pertumbuhan dan ekonomi pembangunan adalah dua alat yang berbeda secara teknik dan filosofis: ekonomi pertumbuhan bertujuan mencapai laju pertumbuhan ekonomi, sedangkan ekonomi pembangunan untuk mencapai laju pertumbuhan pembangunan.
Jadi, bisa saja laju pertumbuhan ekonomi berhasil, tapi laju pertumbuhan pembangunan gagal, mestinya linier.
Karena itu, mazhab strukturalis lebih memandang aspek COR ekonomi pembangunan dengan sejauh mana ia mampu melaksanakan perubahan struktur ekonomi yang diakibatkan pertumbuhan melalui perencanaan multiplier effect dalam aplikasi fungsi produksi.
Akibatnya, peran COR dalam ekonomi pembangunan bisa lebih luas: sejauh mana perubahan struktur ekonomi, bentuk dan pergeserannya yang diakibatkan multiplier effect fungsi produksi dalam laju pertumbuhan – praktis masuk ke disiplin politik pembangunan dalam perspektif teorema ekonomi pembangunan.
Dengan demikian, secara spesifik, strukturalisme ekonomi pembangunan terhadap ekonomi industri, adalah proses pergeseran struktur itu sendiri yang galibnya indikator kesuksesan pembangunan ditentukan oleh pergeseran struktur ekonomi dari sektor produksi komoditi primer (pertanian & pertambangan) ke sektor sekunder (industri & konstruksi) dan ke sektor tersier (jasa) dalam fungsi industri negara berkembang.[9]
Mengingat sejumlah varian yang berbeda antara negara industri maju dan berkembang, misalnya tenaga kerja homogen dan politik kaum buruh yang kuat, jadinya pengertian dasar perubahan struktural dalam praktik strukturalisme pembangunan negara berkembang, adalah berlangsungnya “transformasi dari dan ke suatu struktur ekonomi yang mengubah kesetimbangan dasar kegiatan susunan ekonomi masyarakat yang sangat tergantung pada multiplier investasi sistem ekonomi terbuka”. Dalam faktanya, perubahan itu bisa terencana, juga bisa berlangsung secara luar biasa.
Efek Domino menyebabkan perubahan luar biasa atas struktur ekonomi Indonesia akibat susunan portofolio masyarakat yang diubah secara ekstreem oleh kenaikan kurs dolar Amerika Serikat (USD) atas mata uang Rupiah sepanjang Juli 1997 – Juli 1998, kemudian pengaruh pertambahan modal hutang sebagai investasi modal dari IMF, World Bank, dan Paris Club 1999 – 2003 ke dalam fungsi produksi.[10]
Salah satu perubahan menyolok akibat krisis moneter Indonesia, adalah dengan sendirinya malaise itu mendorong perubahan struktur pasar yang tadinya dimonopoli 116 perusahaan konglomerat yang menguasai 64 persen PDB menjadi pasar dengan dinamika persaingan pada track yang benar, sementara sebagian besar dari 116 perusahaan oligopolis itu bangkrut.[11]
Kini, selain hasil transformasi itu ditandai oleh pergeseran kegiatan sektor produksi primer ke sektor produksi sekunder dan sektor tersier, juga telah mengubah fungsi produksi dan komposisi produk nasional.
Dari data BPS, PDRB beberapa Otonomi Daerah tahun 2004 ini menunjukkan perubahan struktur yang signifikan, yakni membesarnya jumlah tenaga kerja yang beralih dari sektor primer ke sektor sekunder dan tersier.
Indikator lainnya, adalah bertambahnya hasil produksi pertanian secara absolut, namun sumbangan produksi pertanian terhadap produk nasional secara nisbi menurun, sebaliknya produksi industri manufaktur dan sektor jasa meningkat secara nisbi sekaligus absolut.
Indikator perubahan struktural juga tampak dari pergeseran kesempatan kerja, yaitu jumlah angkatan kerja pada masing-masing sektor tadi: jumlah tenaga kerja sektor pertanian cenderung menurun terhadap total angkatan kerja.
Namun sebaliknya jumlah tenaga kerja di sektor sekunder dan tersier menaik secara absolut. Hal penting dari sektor industri, yakni pengaruh fungsi produksi industri terhadap pertumbuhan dibandingkan dengan sektor primer yang 1:3. Jadi, terserapnya tiap satu tenaga kerja, setara dengan tiga tenaga kerja di sektor primer. Indikator lainnya, ialah perkembangan pola perdagangan dan pembayaran luar negeri yang cenderung merujuk perubahan struktural tadi, mencerminkan adanya proses diversifikasi produksi di pasar internasional.
Catatan aktual data PDRB itu, bahwasanya kondisi Indonesia sekarang ini (2004), persis sama dengan sebelum terjadinya Efek Domino (Mei 1997). Maka, secara adat siklus ekonomi, periode 2005 – 2009 merupakan masa booming yang memungkinkan mengantarkan industri nasional tampil sebagai pahlawan dalam waktu dekat ini.
EKONOMI INDUSTRI
Subtansi ekonomi industri adalah seluk beluk pasar dan harga. Secara literer, peletak ilmu ekonomi industri adalah Adam Smith sendiri.[12]
Pada tahun 1870, rintisan Adam Smith antara lain dilanjutkan oleh Alfred Marshall, Leon Wairas, Irving Fisher yang memusatkan perhatian kepada teori pasar dan teori harga mengikuti jalan pikiran mazhab Neo Klasik I.
Baru tahun 1920 hingga 1930-an, teori harga dan teori pasar tadi disempurnakan oleh Sraffa, Chamberlain, Joan Robinson – ketiganya peletak dasar-dasar ilmu ekonomi industri yang populer dengan teori persaingan monopolistik dan pasar tidak sempurna.
Sraffa, Chamberlain, dan Robinson lah kemudian yang dimaksud orang sebagai pengemuka mazhab Neo Klasik II. Karena latar belakangnya seperti itu, maka teori harga dan teori pasar mikro yang mereka kembangkan, dianggap lanjutan teorema Neo Klasik I.
Ada banyak ahli yang kemudian melanjutkan studi mereka, seperti Edward Mason tentang perubahan harga, Robert Solow tentang teorema persaingan sempurna, fleksibilitas, mobilitas faktor produksi dan substitusi, sama dengan pemikiran wage income dari Hicks (Neo Keynes). [13]
Merujuk para ahli itu, kiranya pokok permasalahan ekonomi industri Orba terletak pada kenyataan berlakunya persaingan monopolistik di pasar tidak sempurna, inmobilitas dan infleksibilitas faktor produksi dalam fungsi produksi secara agregatif, terbatasnya substitusi a
sumber dana produksi (modal dan tenaga kerja), pertimbangan investor dari Cendana, dan keputusan investasi yang pola dan arahnya tergantung “mesin ekonomi Soeharto”. Yaitu 116 konglomerat tadi.
Jadi, trilogi pembangunan nasional: pertumbuhan – stabilitas – pemerataan dari pikiran Rostow itu, adalah sumber legitimasi pembentukan struktur oligopoli pasar yang dilengkapi dengan berbagai instrumen kartel, sejak barrier to entry, fasilitas pajak dan proteksi, hingga gentlement agreement untuk mendikte harga.[14]
Penelitian atas struktur pasar industri di Indonesia mulai pesat dilakukan sejak 1984 atas dorongan pemerintah. Tak berarti sebelumnya sudah ada persaingan pasar.
Sebab, sejak bonanza oil berlalu seiring berdirinya kartel OPEC (1971-1973), pemerintah telah mencoba mengubah struktur ekonomi – yang bergantung dari besaran pendapatan minyak bumi (60 persen dari APBN) – ke teknologi bio kimia pertanian (green revolution) untuk menopang industri nasional non-migas menggunakan pola proteksi. Praktis ekonomi industri hanya terbagi dua kategori: industri migas dan industri non migas.
Industri manufaktur menjadi perhatian serius setelah mengalami kebangkrutan akibat krisis fiskal yang menerbitkan resesi dunia tahun 1982, di mana Rupiah didevaluasi 30 persen, masing-masing tahun 1983 dan tahun 1985.
Selanjutnya pemerintah mengusir dana industri (yang bangkrut tadi) yang parkir di bank sentral dan bank pemerintah ke pedesaan guna mengelola agrobisnis dengan cara pengenaan pajak deposito, disertai ancaman penelusuran asal-usul kekayaan.
Larinya modal dari kota ke desa, di satu sisi menyukseskan perubahan struktur ekonomi nasional berbasis sektor primer dan industri agrobisnis yang kuat.
Sisi lainnya, industri manufaktur di perkotaan tetap collaps. Setelah puncak resesi berlalu, pemerintah menerbitkan peraturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk memanggil kembali modal dari desa ke kota sekaligus melindungi lingkungan hidup pedesaan dari kaum modal dan petani berdasi.
Kecuali pengenaan PBB, tahun 1986 pemerintah mencanangkan debirokratisasi deregulasi, dan liberalisasi perbankan untuk mempercepat arus uang melalui serangkaian paket perbankan guna mendorong industri dan membuka pasar modal. Sekali lagi struktur ekonomi nasional berubah dan masuk ke dalam kategori pendatang baru NICs (Newly Industry Countries).
Dalam kurun 1987 hingga 1997, struktur oligopoli pasar terbentuk dengan intensif ketika pemainnya berada di bawah kendali keluarga Cendana, ditandai mode merger dan akuisisi antara perusahaan swasta multi national corporation dengan perusahaan swasta penguasa. Data CR-3 (Concentration Ratio 3 Digits) menunjukkan dari 313 jenis industri manufaktur dalam KLUI (Kelompok Lapangan Usaha Industri) BPS, sebanyak 47 persen merupakan pasar oligopoli yang mengubah kinerja perusahaan menjadi rent seeking.
Ketika reformasi dimulai, untuk menyelamatkan kekuasaannya yang terancan oleh masuknya krisis moneter bulan Juli 1997, Presiden Soeharto dipaksa mengikuti persyaratan IMF demi memperoleh pinjaman. Substansi LoI itu sendiri adalah untuk melenyapkan ekonomi monopoli.
Sebagaimana dikemukakan Kruggman, secara teknik, ada dua faktor yang memperparah Efek Domino di Indonesia, yaitu: (i) Utang luar negeri Mesin Ekonomi Soeharto, dan (ii) Mark-up Policy perusahaan konglomerat. Namun secara metodologis, adalah kesalahan penerjemahan filosofi Trilogi Pembangunan Nasional dari Rostow.
“Ibarat besi, ekonomi Indonesia sebagian besar terdiri dari baja dengan sedikit besi lunak. Maka, ketika terjadi tekanan yang berlebihan (Krismon), besi itu bukannya melengkung, melainkan serta merta patah. Besi baja itu adalah analogi perusahaan besar nasional, sedangkan besi lunak itu adalah perusahaan menengah kecil,” kata guru besar ekonomi MIT itu.
ICOR PERSPEKTIF LEGISLASI
Wujud legislasi ICOR di parlemen, menjadikan konsep administrasi negara dengan alat ukur tata kelola pembangunan yang memasukkan ICOR. ICOR menjadi konsep operasional kontrol pembangunan.
Di Orba, ICOR mampu memerankan pressure group terhadap kekuasaan Soeharto yang disuarakan pakar terkemuka guna mengontrol kinerja yang tak dilakukan parlemen.
Tampaknya cukup sulit. Bagi yang tidak mendalami filsafat ilmu ekonomi, segera muncul masalah sebelum sampai pada ide dasarnya.
ICOR sendiri barangkali tak lebih dari dalil-dalil matematika analisis hubungan yang untuk banyak orang tak nyata.
Bagaimana membuat nyata ICOR atau IRR (Internal Rate of Return), misalnya? Tapi tanpa IRR, kita tahu takkan ada proyek pembangunan fisik yang mampu kita bikin dengan terukur.
IRR-nya sendiri sederhana. Tapi kompleksitasnya sangat luas,
membuat sedikit yang paham, sejak: masalah Aktiva, Neraca, NPV (Net Present Value), RoI (Return on Investment), RoA (Return on Asset), BEP (Break Event Point) yang bermuara Financial Plan plus indeks country risk dalam Business Plan yang sederhanya.
Tapi dengan parameter-parameter demikian itu, diketahui berapa jauh dan di mana saja penyimpangan terjadi, mengapa terjadi, dan apa jalan keluarnya.
Saya kira, ICOR harus masuk di sejumlah UU pembangunan fisik ekonomi dan moneter, UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Keuangan, UU tentang sejumlah Badan Pengawasan Nasional, Otorita dan Otda, UU Tentang Dewan Ekonomi Nasional dan UU yang melibatkan departemen teknis secara spesifik.
Jadi, luas masalah dasar terbagi dua: (i) ICOR sebagai konsep dan sistem, dan (ii) ICOR sebagai sistem operasional sebagai alat kontrol parlemen.
Saat ini, Fraksi PAN memakai apa? Saya belum dengar. Dikontrol ICOR nya Mukidi itu Bro!
Footnotes:
[1] Pada September 2004 adalah Direktur Penelitian JMC Research dan Sekretaris Umum Intelrist Research; Ketua Komisi Ekuin DPW PAN DKI Jakarta, Anggota Komisi III DPR-RI; Pokja Kode Etik Fraksi DPP PAN, Bidang Ekuin – Konsentrasi Ekonomi Industri.
[2] Roy F. Harrod (1900-1978) adalah eksponen Neo Keynes, perintis teori ICOR pertumbuhan ekonomi. Evsey D. Domar (1936-..) perintis teori multiplier investasi dalam pertumbuhan ekonomi juga derivat Keynes. Dalam perjalanan ilmu ekonomi, Harrod dan Domar membentuk teknik dan perspektif analisis Model Harrod – Domar yang banyak digunakan dan diperdebatkan oleh para peletak dasar-dasar teori ilmu ekonomi pembangunan, termasuk ilmu ekonomi industri.
[3] Angka ICOR awal 1997 versi Prof. Sumitro Djojohadikusumo sebesar 3.0, terutama akibat distorsi ekonomi berupa: inefisiensi struktur oligopoli pasar, rent seeking, dan korupsi (mark-up policy).
[4] Propenas 2000-2004: UU No 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional 2000-2004, Sinar Grafika, 2001:108.
[5] Azas mutiplier nivestasi Domar: karena laju pertumbuhan permintaan efektif berhadapan langsung dengan pertumbuhan kapasitas produksi, maka: pertumbuhan permintaan = pertambahan investasi (I) dikali multiplier (I/s), lalu pertumbuhan kapasitas produksi = investasi (I) dibagi capital output ratio (k).
[6] Lebih jauh periksa Soeroso Djazuli, “New Classic in Indonesian Economic Growth”, FE Unair, 1987. Lalu, Sumitro Djojohadikusumo, Prof., “Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan”, LP3ES, 1997.
[7] Versi Propenas, formulasi ICOR1= (I1-1)/(PDB1-PDBi-1).
[8] Formulasi TFP versi Propenas: ΛY/Y = ά(ΛK/K)+β(ΛL/L)+TFP, di mana ά dan β berturut-turut menyatakan elastisitas pertumbuhan modal dan tenaga kerja (L) terhadappertumbuhan PDB dengan asumsi fungsi produksi bersifat constant return to scale (ά+β=1).
[9] Nicholas Kaldor, Prof., “Collective Economic”, 1980, II:8, Essay on Economic Stability and Growth.
[10] AS mengalami krisis moneter serupa, yakni Great Depression tahun 1929, dimulai dengan Black Tuesday (jatuhnya harga saham New York Stock Exchange). Tujuan utama dibentuknya IMF dan World Bank oleh John Maynard Keynes dan Harry Dexter, adalah untuk menanggulangi Great Depression implementasi Brettonwood.
[11] Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman, “Konglomerat dan CR-3 Industri Manufaktur”, Skh Bisnis Indonesia, 1997, JMC Research, 1996.
[12] Nurimansyah Hasibuan, Prof., “Persaingan, Monopoli, Oligopoli,” LP3ES, 1993.
[13] Neo Klasik dewasa ini adalah semua pemikir ekonomi yang menentang ajaran Neo Keynes, antara lain moneteris Milton Friedman yang pemikirannya justru bersumber dari karya ilmiah Irving Fisher.
[14] Hall Hill, Prof., “Struktur Oligopoli Pasar Manufaktur di Indonesia”, LP3ES, 1995.
*Djoko Edhi S Abdurrahman, Ketua Umum Indonesia Tax Watch dan Wakil Sekretaris Pemimpin Pusat Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama, PBNU. [mc]