Nusantarakini.com, Jakarta –
Pesta Kembang dan Lemper Ayam
Jadi begini…
Setelah saya menulis analisis tentang Pesta Kembang di Balai Kota, dalam bentuk opini pendek sejumlah media online meminta ijin saya agar artikel itu dimuat. Saya persilahkan dengan satu alasan, cukup sudah rakyat dibohongi dengan permainan ‘Woowwww Effect‘ ini. Masih ingat kasus: a) Satu juta KTP, b) Warga Antri di Rumah Lembang, c) Sungai Jernih di Jakarta, d) Dan lain-lain.
Polanya hampir sama dengan jualan lemper lontong isi daging ayam: Lontongnya lebih tebal dan besar, tapi isinya cuma secuil kulit ayam yang dicincang. Yang penting orang satu pasar berkoar-koar, “Lemper Ayam, Lemper Ayam, Lemper Ayam…”
Apakah ini bohong? Jelas tidak, karena faktanya memang ada lemper berisi ayam (walaupun cuma kulitnya).
Saya menyebutnya dengan manipulasi realitas. Saya kembali pada gagasan Jean Baudrillard. Model seperti ini merupakan tahap pertama dari hiper-realitas. Baudrillard menyebutnya, “It is the reflection of a basic reality” (Citra adalah cermin dasar realitas). Kehadiran ‘daging ayam’ cukup direpresentasikan melalaui secuil kulit ayam dalam lemper yang tebal dan besar.
Jika pedagang terus berkoar, “Lemper ayam, Lemper ayam…” maka orang akan percaya pedagang lagi jualan Lemper berisi daging ayam. Tahap kedua ini disebut Baudrillard sebagai “It is masks and perverts a basic reality” (Citra menyembunyikan dan memberi gambar yang salah akan realitas).
Jika tidak dicegah, orang-orang yang berada di luar pasar yang mendengar pedagang berkoar “Lemper ayam, Lemper ayam…” akan ngomong pada isteri, tetangga dan siapa saja bahwa di pasar ada orang jualan “Lemper ayam…“. Pada tahap ini, orang banyak mulai percaya bahwa Lemper Ayam merupakan makanan populer yang dijual di pasar.
Ini merupakan tahap ketiga yang disebut Baudrillard sebagai “It is masks the absence of a basic reality” (citra menutupi/menghapus dasar realitas). Tahap inilah yang saya sebut manipulasi realitas.
Simpelnya, ini tidak lebih dari tipuan realitas. Jadi ini seperti sulap, cuma game tentang realitas. Memang perlu kecerdasan untuk memainkannya dan perlu kecerdasan pula untuk memahami triknya …
Untuk membuktikan asumsi tersebut saya menghubungi teman baik saya seorang jurnalis untuk menginvestigasinya.
Hasilnya: Pendukung Paslon 2 memang sudah siap menang dengan memesan ribuan karangan bunga, memesan tempat perayaan dan mendisain pesta kemenangan dengan tujuan menuai Wooowww effect. Dugaan saya, Ahok memang lagi dipersiapkan untuk hal yang lebih besar makanya dari sekarang harus tetap dijaga agar selalu terlihat besar dan mendapat dukungan luas.
Modus lainnya untuk menimbulkan Wooowwww Effect tadi bisa saja menggelar spanduk raksasa dari Balai Kota ke Bunderan HI untuk ditandatangani warga yang mecintai Ahok. Dapat pula dengan menggelar model Flashmob (dansa atau joget masif dalam jumlah sangat banyak), Bola raksasa yang digulirkan sepanjang jalan atau bentuk lain yang dapat memicu atau memacu keramaian publik.
Karena itu karangan bunga terlanjur dipesan sebagai ucapan “Selamat atas Terpilihnya Ahok sebagai Gubernur DKI” padahal Ahok kalah, sementara pesanan tidak bisa di-cancel, akhirnya dialihkan sebagai ucapan terima kasih kepada Ahok.
Mungkin saja satu atau dua dari papan bunga itu murni dari warga yang bersimpati pada Ahok, satu atau dua karangan bunga inilah yang mirip kulit ayam dalam lemper yang tebal tadi.
Seperti pada Pilkada 2012 dan Pilpres 2014, saya memilih diam usai Pemilu karena saya fikir permainan sudah usai. Kalah atau menang itu sudah ketetapan. Tapi Pilkada DKI 2017 memang agak beda. Mengapa perlu direspon dan dikritisi? Karena DKI Jakarta adalah Ibu Kota Indonesia, Ibu Kota negara yang saya cintai. Saya berhak berpendapat terhadap pemimpin Ibu Kota Negara saya. Selain itu, pola-pola kampanye impresif yang dilakukan perlu diimbangi dengan nalar kritis agar publik bersih dari intervensi sehalus apapun untuk menghirup sebebas-bebasnya udara demokrasi.
Saya berkepentingan merawat nalar kritis dan akal sehat publik demi demokrasi yang bermartabat. Cara-cara seperti ini kendati sah dan tidak dilarang, tapi tidak sehat bagi demokrasi dan masa depan solidaritas kita sebagai bangsa. Kalau kalah, ya kalah saja. Terima kemenangan lawan. Jika ada yang keberatan, ajukan sesuai mekanisme. Foke dan Prabowo serta pendukung mereka bisa dijadikan contoh betapa kekalahan itu pahit, tapi harus diterima dengan lapang demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Selanjutnya ayo kerja, kerja, kerja… (rm)
*Iswandi Syahputra, pengamat sosial dan mantan pengawas penyiaran.