Nusantarakini.com, Jakarta –
The power in people is much stronger than the people in power. Ketika rakyat menyatu, digerakkan oleh passion mencari keadilan, melawan tirani, maka tembok paling kuat dari kekuasaanpun roboh!
Tak heran negara paling super power di dunia saat itu, Uni Sovyet, bubar. Hitler, yang hampir menguasai dunia, tumbang. Tak ada kekuatan yang lebih kuat dibandingkan rakyat yang sudah menyatu dan ikhlas mengambil semua resiko.
Itu yang kemudian dikenal dengan nama people power. Dalam pilkada Jakarta, versi lain dari people power itu, sekali lagi versi yang berbeda dari people power itu bekerja.
Mengapa dalam pilkada Jakarta disebut versi lain dari people power? Itu karena dalam pilkada bertarung kandidat yang sama sah dan legal. Mereka sama sama tokoh baik dan tokoh pujaan di mata pendukung masing-masing. Ini bukan Good versus Evil. Ini Baik versus Baik di mata penyokong masing-masing.
Banyak pihak berperan mengalahkan Ahok. Namun peran paling besar adalah spirit yang menggerakan people power. Ahok dikalahkan oleh sebuah momen yang tidak direkayasa oleh satu-dua orang, tapi sinerji aneka variabel baik yang dirancang, ataupun yang datang tak terduga.
Itulah kesimpulan akhir saya selaku konsultan politik. Saya memegang data sebelas kali survei di Jakarta sejak Maret 2016 hingga April 2017. Saya bekerja dengan rencana dan strategi. Namun harus saya akui banyak yang masih tak terjelaskan yang akhirnya Ahok dikalahkan secara telak.
Sejak Maret 2016, saya mengekspresikan opini soal pilkada Jakarta. Tak terduga total yang sudah saya publikasi sebanyak Lima pulih satu tulisan. Mayoritas tulisan itu analisis survei, yang merekam opini, harapan, kemarahan, kekecewaan pemilih Jakarta. Banyak pula tulisan berupa puisi.
Sejak awal saya sudah memposting aneka tulisan itu dalam project web Inspirasi.co. Bahkan sejak awal saya sudah memilih judulnya. Sudah ditulis sebagai nama project buku itu: People Power Kalahkan Ahok. Padahal ketika tulisan pertama dibuat di April 2016, Ahok masih sangat perkasa, seolah mustahil dikalahkan.
Bagi yang rindu ingin membuka kembali dokumen pilkada Jakarta 2017 sejak awal; bagi yang mulai ingin menganalisa pilkada Jakarta lebih serius secara akademik; bagi yang ingin merasakan passion dan dinamika sebuah momen pilkada, terimalah hidangan buku ini.
Anggaplah ini catatan harian seorang konsultan politik. Ini buku penuh data riset. Banyak analisis. Tapi tak kurang hadir pula perspektif dan passion.
-000-
Ketika menjadi aktivis mahasiswa di tahun 1980-an, saya cukup intens mengunjungi Sutan Takdir Alisyahbana. Ia budayawan, sastrawan, juga seorang entrepreneur. Banyak renungan yang saya dapat darinya.
Satu kutipan yang saya ingat hingga kini, ia menggambarkan tentang sosok pemikir besar. Ujarnya, pemikir besar itu seperti ayam yang berkokok. Sebelum matahari terbit, sebelum orang banyak sadar fajar segera menyingsing, ayam tahu terlebih dahulu dan berkokok. Akibat kokok ayam itu, masyarakat tahu pagi segera datang.
Pemikir besar adalah mereka yang melampaui pengetahuan zamannya. Ia lantang dan berani berkokok, tak peduli apapun resikonya.
Saya tidak mengklaim dan bukan pemikir besar. Tapi memang untuk pilkada Jakarta, saya sudah melihat dan menuliskan apa yang orang banyak, bahkan pada peneliti belum lihat.
Di bulan Febuari- Maret 2016, setahun sebelum pilkada putaran pertama dimulai, semua survei mengenai pilkada DKI menunjukkan data yang sama. Siapapun calon yang dilawankan ke Ahok, dalam pertanyaan untuk 5- 10 calon gubernur, Ahok sendirian didukung oleh pemilih sebesar di atas 55 persen.
Survei LSI Denny JA sendiri di bulan Maret 2016, menunjukkan elektabilitas Ahok sekitar 59 persen. Semua calon lain bahkan digabung menjadi satu, totalnya tak sampai 35 persen. Sisa pemilih tak menjawab.
Aneka lembaga survei dan publik luas nyaris sepakat saat itu bahwa Ahok bukan saja akan terpilih kembali. Tapi Ahok akan menang satu putaran saja.
Tanggal 1 April 2016, saya sudah membuat tulisan yang dimuat Inspirasi.co. Tulisan itu cukup meluas dan dibaca para elit. Judulnya justru kebalikannya dengan opini saat itu: Ahok Kuat, tapi Bisa Dikalahkan.
Berbeda dengan keyakinan orang banyak, saya berkeyakinan Ahok memang kuat saat itu, tapi ia akan dikalahkan. Saya tak punya kemampuan paranormal, atau indra keenam. Tapi mengapa saya begitu yakin dengan kesimpulan yang melawan “conventional wisdom,” melawan arus besar era itu?
Jawabnya, analisis data dan jam terbang saya selaku konsultan politik. Saya dianggap founding father profesi konsultan politik Indonesia yang bersandar pada survei opini publik. Sejak pemilu presiden langsung yang pertama di 2004, dan pilkada langsung pertama di 2005 saya sudah terlibat intens menjadi konsultan politik. Saat itu profesi tersebut belum dikenal.
Di tanggal 1 April 2016 itu, saya sudah ikut memenangkan tiga kali pemilu presiden, tiga puluh pilkada gubernur dan lebih dari 70 pilkada kabupaten dan kota madya. Saya sudah mendalami ratusan survei opini publik dan belajar memahami data.
Dari data dan jam terbang itu, saya melawan arus opini di era tersebut. Saya membaca tanda, melihat sinyal yang tersembunyi dalam data. Tak dipungkiri, data menunjukkan Ahok kuat. Bahkan sangat, sangat kuat. Tapi sinyal data juga menyatakan Ahok bisa dikalahkan.
Saya seperti ayam jago juga berkokok. Tapi publik luas lebih banyak yang tak yakin, bahwa kokok ayam saya itu mengabarkan datangnya fajar.
19 April 2017, setahun kemudian, apa yang saya tulis itu terbukti. Ahok kalah. Saya terlibat aktif ikut mengalahkannya sejak 1 April 2016.
Mengapa Ahok kalah? Data, perspektif dan analisa dapat dibaca dalam aneka tulisan bersandar pada riset di buku ini.
-000-
Di media online 13 April 2017, saya membaca komentar Ruhut Sitompul. Ujarnya, “Denny JA itu musuh bebuyutannya Ahok. Tak usah ditanggapi.” Saat itu Ruhut diminta komentar hasil survei LSI Denny JA menjelang pencoblosan putaran kedua, yang mengabarkan Ahok akan kalah. Lawannya, Anies-Sandi sudah mendapatkan dukungan di atas 51 persen, jauh dibandingkan Ahok di angka 42 persen.
Saya tersenyum membacanya dan bertanya dalam hati. Apa yang membuat Ruhut, dan banyak orang lain menganggap saya musuh bebuyutannya Ahok?
Di Viva news 11 November 2016, saya juga membaca komentar Ahok sendiri. Ketika merespon hasil survei LSI, ia mengatakan “LSI Denny JA itu memang selalu melemahkan saya sejak di Bangka Belitung.”
Memang 10 tahun lalu, dalam pilkada 2007 di Bangka Belitung, saya berhadapan dengan Ahok yang menjadi calon gubernur Babel 2007. Saya membantu saingannya Eko Maulana.
Sebagaimana dalam pilkada DKI 2017, di daerahnya di Babel, Ahok juga sangat fenomenal. Ia diyakini akan menjadi gubernur terpilih. Tapi akhirnya ia dikalahkan Eko Maulana dengan prosentase sangat tipis.
Saya sendiri nyaris tak pernah berjumpa dan bicara empat mata dengan Ahok. Seingat saya hanya sekali saya pernah berpapasan dan saling menyapa waktu jumpa kebetulan menonton preview Film Hanung Bramantyo.
Namun di hati saya tak ada masalah personal dengannya. Ini hanya sebuah profesi saja. Kebetulan di Babel 2007 dan DKI 2017 saya membantu saingannya untuk mengalahkan Ahok. Sebagai profesional tentu saya mencari semua cara yang dibolehkan hukum nasional dan prinsip demokrasi mengalahkan Ahok. Sesimpel itu.
-000-
Mengapa saya memilih mengalahkan Ahok di pilkada DKI 2017? Bukankah selaku aktivis Indonesia Tanpa Diskriminasi kemenangan Ahok adalah kemenangan Indonesia Tanpa Diskriminasi?
Ahok itu triple minoritas. Ia minoritas agama, minoritas etnik, dan pendatang pula. Bukankah jika Ahok menang, dan di ibu kota pula, itu akan menjadi panggung besar menunjukkan tak ada masalah dengan minoritas- mayoritas?
Hal itu banyak ditanyakan pada saya. Kegiatan saya ikut mengalahkan Ahok mendatangkan bahkan putusnya silahturahmi dan perkawanan. Banyak sahabat dan kolega yang dulu bersama berjuang mempopulerkan Indonesia Tanpa Diskriminasi kini berjarak.
Beberapa WA grup yang saya ikut dibubarkan karena pro-kontra Ahok. Hubungan pertemanan di Facebook dan Twitter juga diputus. Bahkan silahturahmi dengan beberapa partner ideologis itu juga terhenti karenanya.
Saya sendiri sebenarnya sudah mengundurkan diri sebagai konsultan politik. Di LSI grup, saya sudah resmi mundur. Tak ada satu jabatan resmi pun yang saya pegang lagi di sana. Saya hanya sebagai pemilik saja.
Saat itu saya sudah meminta teman-teman LSI merelakan saya pensiun. Sambil bergurau saya katakan, sebaiknya para juara itu pensiun di puncak kejayaannya, bukan di era ketika ia sudah banyak dikalahkan.
Puncak kejayaan saya anggap ketika melakukan hatrick, tiga kali berturut-turut memenangkan pemilu presiden. Yaitu ketika LSI tercatat ikut memenangkan SBY (2004), SBY (2009), Jokowi (2014).
Berseloroh saya bercerita kepada kolega di LSI bahwa kita harus seperti Lionel Messi atau Christian Ronaldo. Jangan hanya mereka yang melakukan hatrick mencetak tiga goal dalam satu pertandingan. Kita juga harus mencetak hatrick dalam ibu segala pemilu yaitu pemilu presiden.
Semua rekor puncak sudah saya capai. Rekor untuk survei paling akurat, quick count paling cepat dan akurat, publikasi paling heboh, dan paling banyak memenangkan klien, sudah saya raih.
Bahkan untuk kampanye sosial media saya sudah mendapatkan penghargaan internasional dari majalah berita terbesar dunia TIME Magazine. Juga penghargaan dari Twitter Inc internasional.
Saya merasa tak ada lagi tantangan di profesi itu. Ibarat pendaki, tujuh gunung tertinggi sudah ditaklukkan. Saatnya memberi panggung kepada generasi selanjutnya.
Secara resmi saya pensiun selesai Pilpres 2014. Waktu yang ada saya fokus pada kegiatan sastra, membuat film, kegiatan sosial Indonesia Tanpa Diskriminasi dan bisnis. Saya juga mulai menulis kembali aneka kolom. Itu dunia yang pernah sangat intens saya geluti dan kemudian saya tinggalkan.
Semua kegiatan LSI diambil alih yang muda. Saya hanya terlibat enam bulan sekali ketika diadakan Raker dan RUPS.
Menjelang pilkada Jakarta, karena sudah didelegasikan wewenang, masing-masing pimpinan bergerak secara bebas bertemu atau melobi calon klien.
Ketika jumpa dengan pimpinan baru LSI, mereka bercerita. Sudah ada dua kali pertemuan pihak LSI dengan Ahok. Ujar mereka, agaknya Ahok masih sulit untuk klik dengan LSI. Mengapa? Tanya saya. Mungkin kasus pilkada Babel 2007, pak. Jawab mereka.
Secara tak sengaja saya juga jumpa dengan seorang konglomerat di pesta pernikahan. Ia bertanya ke saya: “you ada kasus apa dengan Ahok?” Saya rileks saja menjawab, saya tak ada kasus apapun dengan Ahok.
Konglomerat itu bercerita, saya sudah bilang ke Ahok, anda sebaiknya dibantu Denny JA di pilkada DKI 2017. Anda jangan marah dengan Denny soal pilkada Babel itu. Anda justru harus terima kasih ke Denny. Gara gara kalah di Babel, kan anda sekarang jadi gubernur DKI.
Jika dulu anda jadi gubernur Babel, anda sekarang tidak menjadi gubernur DKI, ujar konglomerat itu becerita percakapannya dengan Ahok. Saya dan konglomerat itu tertawa dengan logika out of the box.
Di bulan akhir Febuari 2016, kembali saya berjumpa dengan teman-teman yang mengelola LSI. Pak Denny, ujar mereka, mustahil LSI absen di pilkada DKi. Ini magnet semua pilkada. Kita selaku konsultan politik terbesar akan aneh jika absen di panggung politik pilkada terbesar.
Sudah dicoba semua saluran ke Ahok, tapi tak jalan. Kita agaknya terpaksa melawan Ahok lagi. Tapi Ahok sangat perkasa. Akan buruk untuk reputasi LSI jika kita kalah di Jakarta. Ini disorot semua pemain politik.
Mereka pun membuat usul. Pak Denny harus turun gunung agar Ahok bisa dikalahkan. Ya, pak Denny, yang lain meneguhkan. Pak Denny harus ikhlas demi reputasi LSI untuk terlibat aktif lagi.
Ha? Jawab saya. Saya sudah menikmati masa pensiun saya sebagai konsultan, dan mulai menapak penjadi peminat puisi, aktivis dan penulis lagi. Ibarat buku, saya sudah meluncur ke Bab 2. Kok diminta balik ke Bab 1 lagi?
Saya teringat film cowboy legendaris di tahun 1952: High Noon. Saat itu Will Kane sang cowboy sudah menyiapkan diri pensiun, dan hidup damai beserta keluarga. Namun situasi memintanya untuk menjadi cowboy aktif kembali.
Saya bertanya dalam hati. Haruskah saya menjadi seperti Will Kane? Saya belum definitif merespon permintaan teman teman di LSI. Namun saya sudah mulai aktif membuat tulisan untuk membentuk opini.
Tanggal 1 April 2016, tulisan saya pertama soal pilkada Jakarta dipublikasi. Motif tulisan itu untuk membuka mata banyak pihak bahwa Ahok memang kuat, tapi bisa dikalahkan.
Tapi saya masih setengah hati untuk aktif lagi. Sambil juga saya merenungkan apa lagi yang mau saya capai dengan niat mengalahkan Ahok? Siapa pula kandidat yang harus saya bantu?
Saya agak risih turun gunung mengalahkan Ahok jika alasannya hanya untuk reputasi LSI. Semata itu sebagai alasan, ia kurang memanggil. Ia kurang bisa membuat saya memberikan hati seluruh.
Harus untuk tujuan yang lebih besar, yang lebih terasa kepentingan publiknya. Itu saya syaratkan pada diri saya untuk akhirnya turun gunung melawan Ahok. Jika tak ada alasan sosial yang lebih besar, saya memilih tetap pensiun saja.
Semakin lama saya mendalami prilaku dan pernyataan publik Ahok, semakin saya teguh dan bulat hati.
Selaku aktivis yang sejak lama ikut menghayati prinsip demokrasi dan hak asasi, saya banyak kaget dengan pernyataan publik Ahok. Ia misalnya mengatakan mereka yang demo itu sebaiknya disiram Canon berisi bensin hingga terbakar.
Atau ia bersedia membunuh 2000 orang demi melindungi 10 juta penduduk. Atau ketika para ibu menangis akibat rumahnya digusur, enteng saja ia berkomentar para ibu itu seperti main sinetron.
Ahokpun tidak risih berkata di depan TV: taik! taik! Atau seorang ibu ia maki di depan orang banyak: ibu maling!
Terlebih lagi, Ahok mudah saja menggusur tak ikut prosedur hukum. Akibatnya ia beberapa kali dikalahkan di pengadilan.
Walau kinerjanya sebagai gubernur baik di banyak bidang, Ahok tidak mencontohkan pemimpim dengan pernyataan publik yang terjaga. Ia seorang manajer kota yang kuat. Tapi Ahok sangat tumpul kecerdasan emosionalnya, membuat pernyataan emosional tak perlu.
Itu bukan menggambarkan pemimpin yang tegas, tapi kasar, tak sensitif atau tak peduli dengan emosi massa. Bahkan cenderung arogan di mata orang banyak. Ini bukan tipe pemimpin yang saya ideakan buat ibu kota.
Baiklah saya turun gunung. Saya putuskan sepenuh hati dengan semua resikonya bergerak mengalahkan Ahok kembali. Saya pernah mengalahkanya di Babel 2007. Kini saya ingin kalahkan lagi
Tekad saya lebih kuat lagi setelah Ahok membuat blunder soal Al Maidah. Mungkin baginya, dan pendukungnya, itu bukan soal besar. Namun untuk Jakarta yang demokrasinya masih labil, hadirnya pemimpin yang tak peduli dengan emosi massa, bisa membuat bangunan demokrasi semakin labil.
Saya pun menemukan alasan sosial mengapa Ahok berharga untuk dikalahkan.
-000-
Buku ini berisi 51 (lima puluh satu) tulisan saya soal pilkada Jakarta. Umumnya itu analisis hasil survei. Ada juga analisa berita. Juga ada puisi yang menggambarkan suasana batin pilkada saat itu.
Anggap saja buku ini catatan harian konsultan politik. Tulisan paling awal tanggal 1 April 2016. Tulisan paling akhir di ujung bulan April 2017 ketika sudah pasti terpilih gubernur baru.
Dengan membaca buku ini secara kronologis, tergambar dinamika opini, harapan, kemarahan, kecemasan pemilih Jakarta yang direkam melalui sebelas kali survei. Ditambah dua exit poll dan dua quick count melengkapi data.
Terekam pula batin penulis di momen itu melalui aneka puisi khusus soal pilkada.
Ini buku pertama kumpulan tulisan seorang konsultan politik yang intens memotret, menganalisa, dan ikut mempengaruhi hasil akhir pilkada. Panggungnya ibu kota Jakarta. Heboh peristiwa dalam pilkada itu tepat dikatakan. Ini ibu semua pilkada, yang paling dramatik, yang paling menyita perhatian, yang paling mengkwatirkan, yang paling menguggah emosi, yang pernah terjadi di Indonesia.
Di akhir buku, saya membuat tiga serial meme. Itu sikap akhir saya soal pilkada Jakarta. Meme 3: Ahok-Djarot tidak kalah, tapi sedang diuji dan diberi hikmah. Meme 2: Anies-Sandi tidak menang, tapi ditinggikan tanggung jawabnya. Meme 1: Mari Satukan Jakarta Kembali. (rm)
*Denny JA, Konsultan Politik LSI