Nusantarakini.com, Jakarta –
Rasialisme anti China merupakan warisan kolonial. Tapi dipelihara untuk kepentingan dua pihak: pejabat/penguasa pribumi korup yang pemalas tapi rakus; dan konglomerat China cerdik tapi serakah.
Bagaimana hubungannya?
Pejebat/penguasa pribumi bertujuan mendapatkan sumber dana yang mudah tapi besar. Caranya dengan memeras mereka pengusaha-pengusaha China. Setoran rutin dan suap insidental merupakan sumber dana yang paling menggiurkan.
Sumber dana yang menggiurkan ini hanya bisa bertahan jika kondisi krisis konflik laten anti China berdasarkan opini rasialisme tetap berlangsung. Suasana yang saling curiga dan kebencian yang terpendam antara rakyat pribumi dan orang-orang China tetap terkondisi.
Sementara itu, China konglomerat yang cerdik namun serakah memanfaatkan situasi tegang dan laten tersebut untuk memudahkan penggelembungan aset dan kapitalnya.
Caranya dengan membiarkan pejabat/penguasa pribumi keji semacam itu untuk larut dalam kemalasan dan kejahatan pemanfaatan kekuasaan untuk meraup dana dengan cara memeras dan meneror.
Menaklukkan pejabat/penguasa pribumi semacam itu hanya dengan menyulanginya dengan duit dan duit. Dikondisikan agar dia cukup duduk manis saja. Yang penting pejabat itu mengatur perizinan dan tetek bengek birokrasi yang berbelit-belit agar tidak jadi masalah bagi usahanya. Dalam banyak kasus pejabat/penguasa pribuminya langsung dipasang jadi komisaris. Cukup kerjanya “melinting kumis”, gaji besar akan dipasok. Urusan biologis si penguasa keji tersebut akan dilayani.
Jadi, jangan heran, bahwa merebaknya anti China, diam-diam segolongan konglomerat tertentu yang menimang pejabat/penguasa pribumi, akan merasa biasa saja, kalau bukan malah merasa gembira.
Sebabnya, saingan bisnis mereka akan terpojok dan dirugikan, sedangkan mereka punya kesempatan untuk mengambilalih bisnis kompetitor mereka itu. (dft)