Nusantarakini.com, Jakarta –
Kita sering sekali mendengar ucapan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok anti korupsi; dan hanya koruptor yang ingin memenjarakan dirinya. Jika kita mengirimkan berita tentang dugaan korupsi yang melibatkan Ahok ke beberapa teman, sukanya kita dapat respon atau balasan bahwa itu penyebaran kebencian, itu berita hoax. Bahkan ditambah pertanyaan lagi, “Kamu bilang Ahok ada terlibat dugaan korupsi, kok Ahok gak ditangkap?”
Awalnya kita sulit juga memberi jawabannya. Tapi belakangan kita bisa menjawabnya, “Gimana mau tangkap Ahok? Banyak laporan yang jelas-jelas melibatkan Ahok saja tidak pernah diproses hukumnya. Sangat aneh kan?”
Saya salah seorang yang sangat tidak percaya Ahok anti korupsi. Mengapa? Berikut alasan sekaligus bukti utamanya: Pada APBD 2015 Pemprov DKI, Dinas Perumahan membeli lahan seluas 4,7 hektare seharga Rp.668 miliar di wilayah Cengkareng Barat Jakarta Barat. Pembelian ini disetujui karena dengan alasan ada disposisi Gubernur Ahok (keren, “Disposisi”).
Hasil audit BPK menemukan lahan yang dibeli itu milik Pemda DKI sendiri (milik negara) yakni milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan. Indikasi kerugian Negara mencapai Rp. 648 miliar. Saya sering sebut ini kasus “jeruk makan jeruk”, dimana kasus ini sangat heboh karena hampir semua media dan stasiun televisi meliputnya.
Ditangani oleh Bareskrim, sudah ditangkap dan ditahan sejumlah 17 tersangka (sudah penyidikan), dan sudah dilakukan pemeriksaan dari Gubernur Ahok sampai Wagub Djarot serta puluhan orang saksi. Anehnya kasus ini diberhentikan penyidikannya atas alasan sudah gelar perkara dan diberhentikan oleh Bareskrim dan berakhir tanpa ada satu pun tersangkanya, seakan kasus ini tidak bermasalah. Saya tegas mengatakan ini artinya ada kejadian korupsi, tapi tidak ada tersangkanya dan tidak ada yang dihukum. Dan saya katakan semua hasil korupsi lahan Cengkareng sangat empuk dan sangat nikmat.
Atas kasus ini Ahok pun diam seribu bahasa sampai sekarang. Apakah ini yang dinamakan Ahok anti korupsi? Tentu Ahok sudah berbohong!
Ada pun hampir kejadian satu kasus yang sama “jeruk makan jeruk” sejak 2013, Ahok ngotot ingin membeli lahan eks Kedubes Inggris seluas 5000 meter persegi, seharga Rp. 500 miliar untuk dijadikan taman terbuka hijau depan bundaran HI, sudah dianggarkan pada APBD 2016, artinya siap bayar.
Setelah dicek dan ricek ke BPN akhirnya beruntung bisa dibatalkan oleh Plt Gubernur Sumarsono, karena lahan eks kedubes Inggris itu sesungguhnya milik negara sendiri (milik pemerintah pusat). Kalau tidak, sudah jelas akan kejadian lagi kasus “jeruk makan jeruk”.
Saya sangat curiga dan menduga hal ini ada campur tangan kerjanya mafia tanah yang penuh akal-akalan.
Berikut sejumlah besar kasus korupsi yang merajalela. Dugaan korupsi, dan kejanggalan-kejanggalan yang tidak masuk akal selama kepemimpinan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di DKI Jakarta sebagai berikut:
Pertama, dugaan kuat kasus korupsi fasum fasos yang dikenal dengan Taman BMW yang merupakan hak Pemda DKI oleh Agung Podomoro Group, telah dilaporkan ke KPK oleh mantan Wagub DKI Mayjen Prijanto karena adanya dokumen “bodong” yang diperkirakan merugikan negara sejak tahun 2007 lebih kurang 700 miliar. Pada saat itu bertepatan Ahok sedang menjabat menjadi staf khusus Gubernur DKI Sutiyoso. Jika dihitung dengan harga tanah sekarang bisa berkali lipat nilai tanah tersebut yang berdomisili di Jakarta Utara. Mengapa sampai detik ini tidak ada kabar berita dari KPK dalam memproses laporan tersebut?
Kedua, ada 18 perusahaan swasta yang mengelola dana Corporate Social Responsibility (CSR) dikelola oleh “Ahok Center” dari Tim Pemenangan Jokowi-Ahok pada Pilkada DKI tahun 2012. Mereka bermitra kerja berdasarkan MOU Gubernur DKI tahun 2012. Ini pantas dicurigai adanya unsur indikasi KKN.
Ketiga, dugaan kasus korupsi pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras. Hasil audit BPK terbukti banyak penyimpangan, kerugian negara 191,3 miliar.
Nampak terlihat sejumlah besar kejanggalan, yakni: 14 November 2013 Ciputra Karya Unggul (CKU) sudah terjadi transaksi pembelian lahan ini dan membuat PPJB dengan DP 8% dari harga lebih kurang 565 miliar. Ada syarat harus merubah status fungsinya menjadi komersial (jika tidak dapat dirubah maka transaksi otomatis batal).
Akan tetapi hanya selisih waktu satu tahun saja Gubernur Ahok bisa membelinya dengan harga 755 miliar. Ini artinya harga yang dibeli Ahok jauh lebih tinggi dari pada harga pasaran, masuk akal kah? Pembayarannya malam jam 19.00, 49 detik sekian di Bank DKI, sangat tidak lazim atau tidak pernah terjadi. Mana ada transaksi di Bank jam 7 malam? Transaksi di bank umumnya tutup jam 15.00 sampai dengan maksimal jam 17.00, itu kalau antri terlalu panjang.
Transaksi akhir tahun 31 Desember 2014, padahal tutup buku saja 25 Desember. Ini artinya tampak membeli dengan memaksa dan transaksinya istilah main “kucing-kucingan”. Dua tahun lagi baru serah terima, sementara dua tahun uang negara sudah keluar.
Hasil dari rumah sakit selama dua tahun itu ke mana? (kalau dua tahun lagi baru boleh dipakai, untuk apa buru-buru membayarnya sampai harus seperti main “kucing-kucingan?”). Bagi yang waras semua ini sangat tidak masuk di akal. Sampai detik ini tidak ada satu pun tersangka yang ditangani KPK.
Keempat, kasus korupsi pengadaan bus transjakarta anggaran disahkan 26 Februari 2013 sebesar Rp. 1 triliun dirubah menjadi Rp. 848,1 miliar dibawah pimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur Jokowi Ahok. Kerugian negara Rp. 399.956.176.750.
Terjadi penyuapan dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Bus yang baru didatangkan dari Cina belum sebulan sudah pada karatan dan tidak bisa digunakan lagi. Anehnya dalam kasus ini tersangkanya hanya empat orang yakni: Udar Pristono, Prawoto, R. Drajata Adhyaksa, dan Setyo Tuhu, dan putusannya bergulir beberapa tahun.
Mungkinkah kasus korupsi sebesar ini hanya dilakukan empat orang dan hanya dari pejabat Eselon III saja? Apakah masuk akal? Anehnya lagi, dari kabar burung yang beredar, bus itu sudah dibakar, jadi kalau sudah dibakar berarti barang bukti sudah hilang.
Kelima, Kasus Korupsi pengadaan Uninterupptible Power Supply (UPS) dengan anggaran ratusan miliar yang disahkan 13 Agustus 2014. Pada tanggal 2 Juni – 22 Juli 2014 pembahasan anggaran dilakukan oleh Ahok bertepatan pada saat Ahok menjabat menjadi Plt Gubernur menggantikan Jokowi yang cuti.
Pada kasus korupsi ini negara mengalami kerugian sebesar Rp. 81.433.496.225,00. Tersangkanya hanya lima orang saja yakni: Alex Usman, Zaenal Soleman, Firmanysah, Fahmi dan Harry. Sidang 4 Februari 2016, Hakim membuktikan Ahok yang bertandatangan persetujuan anggaran tersebut. Awalnya Ahok mengelak bukan dia yang menandatangani.
Seharusnya Ahok yang paling bertanggung jawab atas kasus ini, tapi mengapa Ahok tidak bersalah dan hanya lima orang tersangka saja? Mungkinkah korupsi anggaran APBD ratusan miliar hanya dilakukan lima orang saja? Masuk akal kah?
Keenam, kasus korupsi Reklamasi. Dalam rentang waktu kurang dari satu tahun, Ahok telah mengeluarkan empat ijin yang kemudian mengalami sejumlah besar cacat hukum. Kabarnya proyek besar ini bernilai lebih kurang Rp. 1.000 triliun. Awalnya KPK menyatakan ini “grand corruption” gunung es yang harus dicairkan, kenyataannya dari awal sampai akhir hanya tiga orang tersangkanya yakni: M. Sanusi, Ariesman Widjaja dan Trinanda Prihantoro.
Paling aneh sejak kasus ini muncul seorang staf khusus Gubernur Ahok yang bernama Sunny yang tidak berpenghasilan (gaji) tercatat di catatan Balaikota, tapi bisa banyak kerjaan besar, penting yang melibatkannya (sempat dicekal KPK).
Awalnya Ahok bilang itu teman akrabnya, terus bilang lain lagi, “Itu dia magang.” Masa iya sih katanya magang dari zaman Ahok jadi Bupati di Belitung. “Akhirnya ya sudah itu staf ahli saya.” Bahkan menurut informasi, Sunny ini saudaranya Veronica Tan, istrinya Ahok.
Ini tanda jawaban orang yang sedang panik dan penuh indikasi tidak jelas. Ditambah lagi rekaman pembicaraan telepone antara Sunny dan Sanusi dengan menggunakan berbagai kode bahasa kalimat. Tampak seakan ada kerja sama yang rahasia dan indikasi gelap.
Majalah tempo 11 Mei 2016 mengungkapkan ada ditemukan memo surat kontrak pembayaran kontribusi sistem barter (bukan CSR) antara Ahok dan Agung Podomoro Land senilai Rp. 392,6 miliar, sudah dibayar Rp. 218,7 miliar untuk pembangunan rusunawa, furniture rusunawa, rumah pompa, kalih-kalih, tiang JPU dan Rp. 6 miliar untuk biaya penertiban Kalijodo. Informasinya, ini biaya untuk ribuan aparat keamanan, ini masuk akal ya.
Sisanya Rp. 173,9 miliar, semua yang dibayarkan dari Podomoro ke Ahok langsung dikelola oleh Ahok tanpa melalui APBD dan pembahasan apapun. Sehingga jumlahnya berapa pun hanya Ahok dan pengembang yang tahu. Memangnya negara ini milik Ahok dan Podomoro? Ini jelas sudah terjadi pelanggaran berat.
Hal ini awalnya Ahok bilang mau menggugat media Tempo, akhirnya kalimat gugat itu hanya kebohongan saja, mana berani si Ahok. Menurut Tempo, narasumber ya dijamin valid. Kedua saksi yang dipanggil KPK melarikan diri ke Singapura sehingga tidak bisa hadir dalam persidangan. Antara lain Budi Nurwono (Chai Cung) dengan alasan berobat, dan Budi Setiawan beralasan kerja tidak bisa cuti. Apakah masuk akal kasus korupsi ini hanya dilakukan tiga orang saja? Dan mengapa pelanggaran Ahok tidak dipermasalahkan oleh aparatur penegak hukum?
Ketujuh, Ada berita dugaan dana Rp. 30 miliar mengalir ke “Teman Ahok”. Mengapa hal ini tidak ada berita pengusutan dari aparatur penegak hukum? Indikasi tersebut cukup kuat karena awalnya ada kebohongan pengumpulan KTP oleh “Teman Ahok”. Katanya itu semua relawan, ternyata ada beberapa orang mengaku dibayar berdasarkan harian serta ada target jumlah pengumpulan KTP. Pengumpulan dilakukan rata-rata di mal mewah milik Agung Podomoro Land. Kejadian ini tampak banyak indikasi kebohongan, ada apa ini?
Kedelapan, Mei 2016 Ahok menghibahkan Rp. 576 miliar kepada KPU dan Bawaslu. Hal ini sangat mencurigakan! Ada apa ini hibah sampai segitu banyak? Seharusnya dapat diselidiki atau diusut oleh aparatur penegak hukum.
Kesembilan, Desember 2016, adanya indikasi dugaan korupsi dana bantuan sosial (Bansos) yang sangat besar senilai Rp. 10 Triliun dikelola oleh Ahok hanya dengan proposal. Ini juga tidak ada kabar berita pengusutan dari KPK, padahal nilainya sangat besar dan indikasi korupsinya cukup besar pula.
Kesepuluh, nama adik kandung Ahok yang bungsu rupanya terdaftar di Panama Papers, dua nama lagi, yakni: Fifi Indra dan Fifi Lety Indra & partner. Ini pantas dicurigai karena pada umumnya yang terdaftar di Panama Papers itu orang-orang kaya raya (kelas kakap konglomerat), yang pasti punya nilai saham yang besar baru bisa terdaftar di sana (tanpa nilai saham daftar di PMI).
Contoh yang terdaftar di Panama Papers seperti James Riady, Rusdi Kirana, Anthony Salim, Rini Soemarno. Intinya total ada 2961 Nama WNI yang terdaftar di Negara surga pajak tersebut.
Sebelumnya pemerintah sempat klaim memiliki bukti data yang lengkap, tapi sangat aneh tidak ada kabar berita pengusutan atas bocoran rahasia data besar itu. Seharusnya minimal bisa dijerat dugaan penggelapan pajak, dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), dan berbagai dugaan tindakan kriminal lainnya, tergantung hasil peyelidikan dari mana sumber uang tersebut dan berapa jumlahnya yang ada di sana.
Kesebelas, 3 April 2017 saat sidang korupsi E-KTP di Pengadilan Tipikor, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Mantan Bendahara Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin mengatakan, semua anggota Komisi II DPR RI periode 2009-2014 menerima uang hasil korupsi proyek E-KTP. Pada saat itu Ahok menjabat Anggota DPR RI komisi II. Berarti Ahok masuk daftar kan?
Dari sejumlah besar hasil pengamatan saya, jika Ahok di depan saya mengatakan dia anti korupsi, orang yang paling bersih, berdasarkan keyakinan kepercayaan saya atau sesuai sejarah budaya Tionghoa di Bangka, maka:
“Saya berani ajak Ahok melakukan sumpah di depan langit dan bumi untuk potong kepala ayam. Biasanya sama-sama mengucapkan bunyi kata-kata sanksi dari sumpah yang dilakukan. Salah satu pihak yang bersalah antara pihak yang berbohong atau yang tidak percaya akan disamber gledek atau mati mengenaskan. Jika Ahok bersedia kapan pun saya siap melakukan itu, karena saya sangat tidak percaya Ahok.”
*Kan Hiung alias Mr. Kan, Pengamat Sosial dan Hukum tinggal di Jakarta. [mc]