Nusantarakini.com, Jakarta –
Sebagian besar umat Islam Indonesia masih belum bisa beranjak dari beragama secara emosional simbolik. Kenyataan ini sebenarnya amat merugikan umat Islam sendiri, karena akan dijadikan sasaran penipuan, penyesatan dan eksploitasi.
Apa yang berlangsung hari ini dengan sengitnya pertarungan politik untuk mengincar jabatan gubernur di DKI, dengan gamblang sekali, umat Islam telah diseret sedemikian mengenaskan sebagai kendaraan dan lahan eksploitasi politik oleh dua kubu.
Kubu Ahok memancing umat Islam yang lugu supaya terjebak dalam jebakan skenario mereka agar menjadi beringas, frustrasi dan terus menerus dalam kemarahan. Di kubu yang lain, umat Islam dieksploitir menjadi kuda troya yang gratis dengan tanpa jaminan konsesi dan kompensasi apapun secara politik. Disebabkan umat telah terjebak sedemikian rupa untuk menghancurkan hantu imperialisme Cina yang bersenggama dengan non Muslim yang ujungnya akan dirasa menjadi ancaman yang gawat bagi masa depan umat Islam, sumbu itu lalu dieksploitir sedemikian rupa agar menjadi mesin yang mendorong umat Islam memberikan dukungan gratis pada kubu kontra Ahok. Ibaratnya, umat Islam tidak lagi menghitung kalkulasi politik, yang penting jangan Ahok saja dan komplotan politiknya yang berkuasa di ibukota.
Sejatinya umat Islam menyimpan keraguan juga pada kubu kontra Ahok; apakah bisa diandalkan mengakomodir aspirasi terdalam mereka, mengingat reputasi kontra Ahok ini juga tidak similiar selama ini dengan aspirasi genuine umat Islam yang sedang kalap terhadap ancaman yang mereka bayangkan itu.
Di titik ini, baik umat Islam maupun kubu anti Ahok terpaksa saja membangun persekutuan pragmatis, karena tidak ada pilihan lagi. Ibaratnya, bagi umat Islam yang cemas dengan Ahok ini, dari pada bekerja sendiri menggagalkan Ahok, mendinganlah bersekutu. Soal bagaimana ke depannya, urusan lain dan dihadapi saja setelah itu.
Sementara kubu kontra Ahok yang mendapat tiket untuk memperebutkan kursi gubernur ini, mereka juga terpaksa pragmatis. Yang penting menang dulu, soal noda sektarian mengganjal perjalanan politik, dihadapi saja dulu. Sebab secara riil, memang kekuatan umat Islam inilah yang paling dapat diandalkan untuk mengimbangi militansi pendukung Ahok.
Urusan citra sektarian yang berat ditanggung oleh kubu yang bersangkutan, diabaikan dulu. Biar hal itu diurus setelah Pilkada. Tentu jika menang. Tapi jika kalah, mungkin soalnya beda. Tapi kan orang Indonesia terkenal pelupa? Artinya kelak citra bisa diubah kapan pun.
Begitulah yang terjadi kita lihat. Politik akhirnya bukan bicara soal subtansi dan kualitas, tapi soal formalitas dan kuantitas. Dalam politik akhirnya azas prestasi dilupakan. Yang mencorong adalah simbol dan representasi. Akibatnya praktik politik mengarah kepada kebangkrutan dan keprimitifan. Yah…begitulah rupanya politik. (set)