Nusantarakini.com, Jakarta –
Itulah nasib. Rupanya tidak selalu keberuntungan mengelus-elus jalan hidup SBY. Padahal boleh dikata, selama ini, karir dan hidupnya seolah banjir dengan keberuntungan.
Sejak taruna, perwira, hingga menjadi menteri, nasib baik selalu dalam pelukannya. Puncaknya saat dia menjadi presiden dua kali berturut-turut.
Rupanya kenikmatan Tuhan sebagai presiden dua kali berturut-turut itu belum juga memuaskan dahaga kuasa SBY. Dia masih terus ingin menikmati kekuasaan itu selagi kaki masih bisa berdiri.
Otoritas partai besutannya tetap dia genggam. Puncaknya, ketika Pilkada DKI digelar, sekonyong-konyong dia mempertaruhkan masa depan anaknya demi ambisi politik. Anaknya pun berhenti dari dinas militer. Padahal karirnya di dunia militer cukup menjanjikan dan sering dipandang sebagai model bagi militer Indonesia yang inteligen.
Anaknya itu harusnya kelak akan jadi jenderal, berhenti hanya untuk ikut dalam ritus pilkada. SBY mungkin bermimpi, jika menang Pilkada DKI, anaknya bisa melompat menjadi Presiden. Masalahnya tidak menang.
SBY membayangkan akan meraup keuntungan suara dari histeria anti non pri yang tengah bertarung. Sebab dua pesaing anak SBY, sama-sama non pri. Rupanya keadaan sudah berubah.
Dulu memang SBY memenangi kursi kepresidenan karena kepiawaiannya menselancari histeria publik. Saat itu publik histeris dan terpesona SBY yang tampan melawan profil ibu-ibu Megawati. Kali ini, resep yang sama dia sajikan. Tapi tragisnya nggak laku rupanya. Akibatnya fatal bagi reputasi SBY sendiri sebagai mantan penguasa dan anaknya yang sudah berkorban karir.
Tragedi SBY ini mengingatkan kita pada tragedi Norman Kamaru, seorang polisi yang terjebak dalam dunia ilusi publisitas. Hanya saja, ini yang ngalami SBY, lho. (sdt)