Nusantarakini.com, Jakarta-
Anies Baswedan dan Sosok Generasi Soekarno-Hatta
Oleh: Denny JA
Indonesia tidak didirikan untuk melindungi minoritas. Indonesia juga tidak didirikan untk melindungi mayoritas. Indonesia didirikan untuk melindungi segenap anak bangsa.
Namun negara tak bisa mengatur bagaimana warga harus berpikir. Yang bisa diatur bagaimana mengekspresikan pikiran itu di ruang publik. Saya tak masalah jika ada orang yang sangat meyakini bahwa bumi itu kotak. Saya tetap bisa berkomunikasi dengannya. Itu baru menjadi masalah jika ia memaksa saya atau orang lain untuk percaya bumi itu kotak. Apalagi memaksa dengan kekerasan.
Itu petikan gagasan Anies Baswedan. Cukup jernih Anies Baswedan mengekpresikan keyakinannya tentang keniscayaan Indonesia yang beragam.
Di ruang itu, kami bertiga saja. Hadir Geis Chalifah kawan sejak menjadi aktivis kelompok studi tahun 80an, sejak 30 tahun lalu. Ia sudah berulang kali mencarikan waktu agar kami bisa berdiskusi bertiga.
Di depan kami terhidang makanan kesukaan saya goreng pisang dan tahu isi. Tapi karena keasyikan berdiskusi, saya tak menyentuhnya. Saya hanya menyerumput air mineral saja.
Saya tidak menyatakan menemukan Anies Baswedan kembali seperti ketika ia membuat tulisan yang terkenal soal Tenun Kebangsaan. Tidak pula saya menyatakan Anies Baswedan kembali ke khitah, kembali kepada posisi aslinya: berada di tengah dalam spektrum pemikiran politik dan agama di Indonesia.
Namun saya meyakini memang demikianlah sosok Anies Baswedan. Oleh banyak media dan aneka pihak dalam pilkada putaran pertama ia acapkali diproyeksikan terlalu ke kanan dan dianggap menghianati komitmen bersama tenun kebangsaan.
Siang itu saya meyakini Anies tidak seperti yang banyak diproyeksikan selama ini. Ia tetap Anies Baswedan yang dulu, yang sudah saya kenal sejak tahun 80an. Ia tetap digelorakan dengan pemikiran yang modern, pro keberagaman.
Tapi memang Anies kini sudah berkembang menjadi politisi. Ia tengah terjun dalam pilkada, bertarung memenangkan pikiran dan hati pemilih.
Dengab sendirinya, tanpa harus menghianati komitmen intelektualnya, ia harus pula paham dan bergerak dalam realisme politik. Ia juga harus peka dengan kalkulasi elektoral setiap langkahnya.
Perjumpaannya dengan Habib Rizieq, Hary Tanu, Tomy Suharto harus dipahami dalam kerangka realisme politik. Dari penjelasannya, terasa tak ada komitmen intelektual yang ia gadaikan untuk ia tukarkan dengan dukungan itu.
Ia justru menunjukkan keberanian mengambil resiko, merajut komunikasi dengan aneka pihak yang kontroversial sekalipun, dalam rangka realisme politik dan tenun kebangsaan itu.
-000-
Melihat Anies Baswedan, saya menemukan generasi pemimpin yang lama hilang. Itu adalah harta karun Indonesia: corak pemimpin model founding fathers. Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Tan Malaka, terlepas dari gagasan masing masing, adalah tipe pemimpin yang diidealkan oleh Plato: Philosopher King.
Itu adalah corak pemimpin yang cinta dunia pemikiran dan hidup bersahaja. Dalam bahasa gaul, mereka pemimpin pemikir dan pemikir pemimpin. Motor yang menggerakkan hatinya adalah gagasan, bukan kepentingan praktis jangka pendek. Namun tentu saja mereka tidak naif mengabaikan realisme dan hukum besi politik.
Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Tak Malaka tak hanya fasih berpolitik praktis, tapi juga kawakan dalam dunia pemikiran. Kualitas pemikiran founding fathers di atas tak kalah dengan pemikir terbaik di zamannya. Namun berbeda dengan intelektual lazimnya, mereka juga praktisi politik.
Tidakkah itu dua hal yang bertentangan, dunia gagasan versus dunia politik praktis? Bisakah dua dunia itu diperankan sama baiknya oleh seorang pribadi, tanpa kontradiksi?
Dunia gagasan memang di dunia maya dan bisa terus ideal dan puritan. Tapi politik praktis adalah dunia begitu banyak kepentingan yang harus dikompromikan. Pada titik tertentu memang kadang ada ketegangan antara dunia pemikiran dan realitas praktis.
Tapi kontradiksi itu bisa dipahami dan dipersepsikan sebagai tidak masalah. Bisa dikatakan ada kebutuhan taktis dan kendala praktis yang membuat idealisme dalam dunia gagasan kadang bisa diwujudkan bertahap saja.
Ketika dunia gagasan belum bisa diwujudkan sepenuhnya, baru bisa sebagian saja, itu tak perlu dipersepsikan menghianati dunia gagasan, atau mengingkari pemikiran. Itu tak serta merta diklaim sebuah ideologi sudah dihianati oleh pelopornya sendiri. Situasi itu bisa dibaca sebagai realisme politik bahwa perubahan dan perwujudan gagasan kadang harus diwujudkan secara bertahap.
Karl Popper secara tepat menyatakannya. Seorang politisi tak bisa bergerak murni sebagai seorang ideolog. Kompleksitas realitas terus bergerak dan berubah. Pada titik tertentu ia harus mencicil bahkan memodifikasi ideologinya agar bisa diterima dunia nyata.
Anies Baswedan membawa kembali corak pemimpin era founding fathers: philosopher king, pemimpin pemikir, pemikir pemimpin. Sebagai pemikir Anies sangat kuat. Sebagai pemimpin ia juga terus mematangkan diri, memahami realisme dan hukum besi politik, memahami efek elektoral sebuah gagasan.
Sudah lama sosok politisi yang juga pemikir hilang dalam belantara politik Indonesia. Lahirlah generasi politisi yang lihai merebut kekuasaan, namun sangat gagap bicara gagasan Indonesia ke depan. Lahir generasi politisi yang lihai mengumpulkan uang, namun tertatih tatih jika bicara Indonesia akan dibawa kemana?
Kitapun menyaksikan politik indonesia yang semakin dimiskinkan dari perdebatan gagasan. Politik Indonesia menjadi kering, hilang romantisme debat wacana besar seperti era politik zaman founding fathers.
Berita utama politik umumnya bukan lontaran gagasan. Namun acapkali berita soal korupsi dan pertikaian tokoh politik.
Anies Baswedan membawa harapan itu. Ia bisa menjelaskan aneka langkah praktisnya dalam kerangka gagasan yang lebih besar. Ia mampu mengkomunikasikan mengapa sebuah tindakan harus diambil, walau kontroversial, dalam kaca mata burung yang terbang lebih tinggi.
Anies berpolitik dengan gagasan. Tapi ia tak hanya man of ideas, tapi juga man of action yang berniat mewujudkan gagasan itu dalam belantara politik praktis.
-000-
Selesai pula jumpa kami bertiga. Untuk Indonesia yang lebih baik, ada kesepahaman perlu terus dikembangkan platform politik Indonesia yang sentris, yang ramah pada keberagaman. Dan perlu disimulasi agar semakin banyak gagasan mewarnai politik praktis.
Di dalam mobil kembali saya teringat dengan Soekarno, Hatta. Juga teringat dengan Thomas Jefferson, Winston Churchill. Beruntunglah sebuah negeri yang memiliki kualitas pemimpin bercorak philosopher king: pejuang pemikir dan pemikir pejuang.
Pemimpin jenis itu tak hanya menjadi manager sebuah negara atau sebuah propinsi. Tapi mereka juga intelektual yang akan terus menyirami rohani bangsa dengan gagasan inspiratif. [mr]