Nusantarakini.com, Jakarta –
Peradaban Islam bukanlah peradaban kemarin sore. Merentang satu setengah milenuim. Mencakup wilayah Asia, Eropa dan Afrika. Berlapis bangsa dan bersepuhkan peradaban-peradaban raksasa. Semua diserap dan dicipta ulang menjadi hidangan peradaban sintetis Islam.
Jika kita melihat Arab Saudi masa kini, memori kita terlempar kepada imperium Umayyah.
Umayyah sebenarnya Arab, tapi terpengaruh oleh budaya Romawi dalam administrasi dan militernya. Demikian pun Arab Saudi. Arab Saudi adalah Arab, tapi dipengaruhi secara kuat oleh Inggris dan Amerika, suatu kekuatan dunia yang setara dengan Romawi di masa lampau.
Para pangeran Arab Saudi terdidik secara Barat. Opini umum mengaggap Arab Saudi merupakan kerajaan yang konservatif dan menghindari perubahan dan pengaruh asing.
Faktanya para pangeran Arab tergila-gila dengan teknologi dan gaya Barat.
Mereka boleh mengenakan abaya, tapi mereka juga terbiasa dengan jas dan dasi.
Visi 2030
Satu hal menilai Arab Saudi jauh dari konservatif dan kuno ialah adanya visi 2030. Visi 2030 ini merupakan rancangan pembangunan Arab Saudi masa depan mengandalkan sepenuhnya rasionalitas.
Indonesia sendiri tidak memiliki visi besar semacam itu. Indonesia masih mengandalkan rancangan yang berjangka pendek dan rutin melalui mekanisme Musrenbang. Bahkan zaman Orde Baru lebih maju dengan adanya Repelita secara teratur. Tidakkah kita malu sama negeri yang kerap diejek Bahlul dan onta? (sdf)