Nusantarakini.com, Jakarta –
Sejak buku Vedi R Hadiz yang berjudul “Islamic Populism in Indonesia and the Middle East” terbitan Cambridge University Press terbit pada Februari 2016 lalu, tampaknya isu baru dalam diskursus sosial politik di Indonesia mutakhir menemukan sasarannya kembali. Adalah nomenklatur yang sebenarnya sudah lama diangkat kembali, yaitu populisme. Kemudian diiringkan dengan Islam, maka jadilah populisme Islam.
Sejak isu Masyarakat Madani atau Civil Islam berkembang di masa akhir pemerintahan Soeharto hingga awal-awal tahun reformasi, kemudian secara berangsur-angsur meredup dan kehilangan relevansinya. Hal ini disebabkan oleh liberalisasi politik dan maraknya partai-partai untuk memperebutkan negara. Sedangkan ide masyarakat madani mengandaikan negara hegemonik vis a vis secara berimbang dengan masyarakat teratur dan beradab. Namun selama reformasi bergulir, negara hegemonik Orde Baru itu lenyap dan berubah menjadi negara cair yang diperebutkan oleh partai-partai politik secara bergiliran berdasarkan rezim pemilu.
Demikianlah selama hampir dua dekade reformasi bergulir, yang berjaya bukanlah kedaulatan rakyat, tapi kedaulatan oligarki yang menyusup ke berbagai partai dan kekuatan politik melalui kekuatan uang. Akibatnya, masyarakat tersingkir dan teralienasi dari persaingan kekuasaan yang hanya dimainkan oleh segelintir elit oligarkis. Masyarakat hanya tambang suara saja seolah tidak bertuan dan bernyawa.
Seiring waktu, perasaan alienatif ini disadari dan kemudian tumbuh mencari saluran-salurannya dan bentuknya. Di titik inilah mulai bersemi gejala populisme. Populisme ini merupakan reaksi yang alami atas gagalnya fungsi murni partai politik dan makin merajalelanya oligarki yang makin biadab yang merampas kekuasaan ekonomi, politik hingga budaya massa.
Jadi, munculnya populisme di Indonesia semacam ini merupakan suatu hal yang wajar. Aksi Bela Islam yang memuncak pada 2 Desember 2016 yang lalu dapat dikatakan sebagai luapan populisme, kendati belum teratur secara politik melawan oligarki, dan boleh dikatakan masih dini dan impulsif, mengingat sasarannya bersifat simbolik dan dangkal. Menargetkan kekuasaan oligarki elit secara sistematis belum menjadi visi bangkitnya populisme tersebut. Kendati kesadaran makin tidak nyamannya suasana tidak adil yang ditimbulkan oleh oligarki, sangat kental dalam gerakan aksi bela Islam yang berlangsung tiga putaran tersebut.
Karena populisme yang ditunjukkan diwarnai oleh simbol-simbol dan wacana Islam, maka wajar jika populisme di Indonesia ini dinamakan secara dini oleh para pengamat dengan istilah gejala populisme Islam. Padahal, kapan pun, Islam senantiasa bereaksi atas ketidakadilan secara populis sejak dulu.
Jika benar telah muncul gejala populisme Islam, maka sepatutnya tidak dicemaskan kemunculannya dan dicap mengancam kebhinnekaan. Pasalnya hari ini, The Wahid Institute menggelar seminar di UI dengan tema yang tendensius, yaitu Populisme dan Tantangan Kebhinnekaan di Indonesia.
Justru kebhinnekaan selama ini telah dimanipulasi sebagai pertahanan sosial bagi kelangsungan elit oligarki ekonomi yang didominasi oleh penganut dan etnis tertentu. Keberadaan oligarkhi ini sangat suka mengampanyekan kebhinnekaan, suatu hal yang mengundang tanda tanya. Sebab dalam waktu yang sama, kampanye kaum oligarkhi ini untuk mempersempit jurang ketimpangan sama sekali tidak terlihat.
Syahrul Efendi Dasopang, The Indonesian Reform Institute