Nusantarakini.com, Jakarta-
Sangat aneh dan tidak dapat saya terima dengan akal sehat, akan tetapi ini fakta dan kenyataan yang telah terjadi di negara kita. Kadang-kadang jika kita berpikir secara akal sehat dan penuh kesadaran, seorang terdakwa jika melamar kerja ke perusahaan-perusahaan besar, apa ada perusahaan besar yang mau menerima orang yang sedang menyandang status terdakwa?
Saya sangat yakin gak bakal ada perusahaan besar yang mau menerimanya, kecuali status terdakwanya tidak diketahui oleh perusahaan yang dilamarnya, bisa saja kecolongan. Tapi umumnya perusahaan besar pasti membutuhkan satu syarat lamaran kerja yaitu surat kelakuan baik atau SKCK (police record).
Sebagai contoh, saya pernah bertanya kepada orang Singapura, menurutnya jika warga Singapura pernah masuk penjara maka tamatlah riwayat hidupnya. Tidak bakal ada perusahaan di Singapura yang mau menerimanya bekerja, kecuali pekerjaan kasar yang mana sudah tidak ada orang lagi yang mau mengerjakannya, itu pun sangat sulit mendapatkannya. Jadi orang Singapura sangat takut masuk penjara.
Contoh lagi, ada sebuah negara maju lima tahun belakangan ini, jika seorang tersangka kejahatan sudah masuk ke tahap meja hijau (persidangan), maka tidak ada satu pun tersangka yang dapat lolos dari jeratan hukumannya. Jadi ada istilah 100% dihukum jika berkas sudah masuk Pengadilan Negara, karena cara kerja aparatur penegak hukumnya sangat profesional. Negara tersebut menjadi sangat maju dan makmur, juga disegani negara-negara lain karena hukum yang berkeadilan betul-betul ditegakkan di negara tersebut.
Di negara kita saat ini, saya merasa aneh dan heran melihat kejanggalan yang ada. Mengapa seorang terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok masih bisa mencalonkan dirinya menjadi calon gubernur DKI Jakarta; dan makin aneh lagi di dalam pikiran saya mengapa masih ada sekelompok kecil warga yang sangat mendukung terdakwa Ahok?
Pendukung ini juga pantas saya pertanyakan, sebenarnya terpengaruh apa sampai bisa begitu ngotot mendukung seorang terdakwa Ahok? Dasar-dasar dan sumber-sumber apa yang mempengaruhi sampai dapat membuat pendukungnya tetap ngotot pantas juga dipertanyakan.
Logikanya, tugas negara jauh lebih penting daripada tugas kerja di perusahaan-perusahaan besar. Namun saya melihat ini jadi merasa seperti kebalikannya, seakan-akan negara sudah tidak sepenting perusahaan-perusahaan besar! Saya perkirakan untuk pendukung-pendukungnya ini jika punya perusahaan besar miliknya sendiri apa mau menerima lamaran kerja seorang terdakwa? Sebagai anak bangsa saya merasa situasi dan kondisi negara yang sudah sangat memperihatinkan.
Saya putar balik sedikit ke belakang secara singkat. Pada awal kasus dugaan penodaan agama atas terdakwa Ahok, sebelum menyandang status tersangka itu di dahului oleh aksi demo massa besar-besaran menuntut aparatur penegak hukum untuk proses hukum atas kasus ini. Baru lah dengan sangat amat cepat Ahok dijadikan tersangka. Jika tanpa adanya aksi massa demo besar-besaran atas kasus ini, saya memperkirakan bisa jadi kasus ini masih terombang-ambing.
Anehnya pada saat status tersangka berdasarkan undang-undang dan yurisprudensi yang mana seharusnya dapat dilakukan penangkapan dan penahanan oleh aparatur penegak hukum terhadap tersangka Ahok, itu pun tidak dapat di lakukan. Saya memperkirakan seperti ada yang penuh perhitungan, sehingga saya menduga ada sesuatu di balik ini.
Terakhir tanggal 11 Februari 2017, pasca cuti kampanye terdakwa Ahok yang seharusnya diberhentikan sementara oleh Mendagri Tjahjo Kumolo, ini pun tidak dilakukan.
Dalam hal kasus di atas ini, secara politik saya sangat yakin akan banyak pihak yang dirugikan; juga secara ideologi kebangsaan saya mengamati telah mencoreng hukum dan undang-undang di NKRI.
*Kan Hiung alias Mr. Kan, pengamat sosial, tinggal di Jakarta [mc]