Nusantarakini.com, Jakarta – Banyak yang bergidik jika disebut kata revolusi. Revolusi identik dengan darah dan huru-hara. Padahal makna esensial revolusi adalah perubahan total sosial ekonomi politik dari yang tadinya menindas menjadi bebas dan adil. Itulah sebabnya tujuan revolusi adalah kebebasan dan keadilan.
Sekarang ini Indonesia makin lama makin jauh dari ketidakadilan. Bayangkan betapa curamnya tingkat kesenjangan kemakmuran penduduk.
Sejak bayi hingga mati, penduduk Indonesia telah disekat-sekat sedemikian keji berdasarkan tingkat kemakmuran. Ketika bayi, ada yang lahir di rumah-rumah sakit mewah, tumbuh di kompleks-kompleks perumahan mewah, mendewasan di sekolah-sekolah terbaik dengan teman-teman pergaulan terpilih, kemudian memerintah melalui organisasi-organisasi profit atau pemerintahan yang sudah disediakan kepadanya. Dan yang paling mengenaskan lagi, matinya pun ditanam di pekuburan-pekuburan mewah ekslusif seperti Sandiego Hills di pinggiran Ibukota.
Nyaris sepanjang hidupnya tidak pernah bercampur dengan penduduk yang dimiskinkan secara sistematis yang umumnya pribumi.
Sebaliknya penduduk pribumi yang miskin, lahir di kamar-kamar sempit, tumbuh di pemukiman-pemukiman liar dan tertinggal, bersekokah di sekolah-sekolah murah tak bermutu, dewasa sebagai jongos dan hidup menghadapi penderitaan dan kemiskinan. Kemudian beranak pinak sembari mewariskan kemiskinan. Matinya pun tidak menentu apakah di pemakaman umum atau tanpa kuburan sama sekali.
Keadaan disparitas yang menyakitkan ini terus dirawat oleh sistem. Karena itu, sebenarnya masyarakat membutuhkan secara mendesak terjadinya revolusi supaya disparitas antar penduduk teesebut diakhiri.
Menjadi masuk akal jika revolusi tidak saja dapat dipertimbangkan sebagai solusi bagi penduduk Indonesia, tapi juga amat mendesak. Yang menahan-nahan agar revolusi jangan sampai terjadi hanyalah golongan yang menikmati disparitas kemakmuran di dalam struktur masyarakat.
~ John Mortir
