Nusantarakini.com, Jakarta – Politik aslinya bersifat positif. Maksud asalnya adalah adab, bijak dan tatanan. Itulah sebabnya kebijakan disebut policy. Itulah sebabnya police state disebut negara kota yang teratur. Intinya politik itu suatu hal yang beradab. Itulah sebabnya polisi atau police, memang berurusan untuk menegakkan adab dan keteraturan. Bukan malah ikut-ikutan korup seperti politisi.
Tapi di Indonesia hari-hari ini, politik itu konotasinya lacur, bengis, kepentingan sempit dan jahat. Lama kelamaan publik akan memahami secara buruk dan sesat arti sebenarnya dari politik.
Siapa yang disalahkan atas hal ini? Ilmuan politik yang tuna intervensikah? Fakultas ilmu sosial politik yang impotenkah? Atau para politisi yang ugal-ugalan dan egois yang hanya punya agenda semput tentang kesenangan diri dan kelompoknya?
Tanpa harus menyalahkan siapa pun, bagi yang waras hendaknya mengambil politik sebagai seni untuk menciptakan masyarakat yang beradab. Tentu kita sadar bahwa hal itu tidak mudah di tengah amblasnya performa politik Indonesia dewasa ini yang makin jauh dari beradab.
Sejak demokrasi dengan prinsip adu banyak suara dihadirkan, melorotlah peranan keadaban yang termanifestasi dalam prinsip musyawarah berkerangka hikmah kebijaksanaan dari alam praktik dan alam konsep kemasyarakatan kita. Padahal ini merupukan tradisi yang lama hidup. Tradisi baik ini dilenyapkan oleh pemilu demi pemilu, pilkada demi pilkada yang sepenuhnya berprinsip adu banyak suara.
Maka jika hari-hari ini muncul yang banyak suara makin bengis dan yang kalah jumlah suara makin nyinyir, semua itu hendaknya diterima saja sebagai akibat logis dari adu banyak suara yang dipraktikkan dalam mengelola publik. Kalau hal itu tidak mau dinikmati, prinsip adu banyak suara yang asal muasalnya dimulai dari Maklumat Wakil Presiden Hatta itu, memang harus dilenyapkan. Karena sebenarnya tidak saja bertentangan dengan hikmah kebijaksanaan perwakilan, tapi juga menyalahi adat kita di Nusantara. Biarlah Barat yang memeluk-meluk mesra prinsip banyak-banyakan suara itu.
(Syahrul Efendi Dasopang, Penulis Buku Mengapa Gerakan Islam Gagal?)