Nusantarakini.com, Jakarta – Saat ini, kaum penyangkal Al-Qur’an banyak yang menjadi penguasa di negeri ini. Yang dominan di sektor ekonomi, dan makin bertambah di sektor politik. Dan mereka makin berani unjuk gigi.
Sedangkan para peyakin Al-Qur’an makin didesak ke pinggiran. Di antara para penyangkal dan peyakin Al-Qur’an yang sedang bertarung, terdapat kaum yang netral dan oportunis, menunggu siapa yang unggul dan ikut siapa yang menang.
Kaum peyakin Al-Qur’an harus awas dengan perilaku politik kaum oportunis ini. Kulit mereka menampakkan ikut pada arus para peyakin Al-Qur’an, namun pedalaman hati mereka sebenarnya ragu dan tidak ikhlas mengikutinya. Namun mereka memanfaatkan keadaan apa pun yang dapat mereka gunakan untuk kepentingan mereka.
Lalu bagaimana harusnya menghadapi kaum yang tidak jelas ini? Bagaimana harusnya memperlakukan kaum mudzabdzabinna baina dzalik dan mustahziin ini?
Pertama kenali mereka sejak dari awal sikap-sikap mereka hingga perubahan mendadak sikap terakhir mereka. Selama mereka belum bertaubat secara terang-terangan, hendaklah terus mengawasi dan memberi jarak terhadap mereka. Karena sejatinya, hanya urusan kepentingan sesaatlah yang tiba-tiba mereka berada seolah-olah dalam barisan kaum peyakin Al-Qur’an. Jika kondisi telah membuat posisi mereka aman, mereka akan kembali kepada musuh kaum peyakin Al-Qur’an, yaitu para penyangkal Al-Qur’an.
Maka dalam urusan apa pun, termasuk pilkada DKI sekarang, kaum mustahziin ini, jangan terlalu diberi kegembiraan berupa dukungan. Kecuali mereka dengan para peyakin Al-Qur’an membubuhkan tanda tangan perjanjian, yang apabila nanti mereka ingkar, siap menanggung hukuman yang diberikan langsung oleh para peyakin Al-Qur’an.
Keadaan hari ini yang berubah-ubah sebenarnya akibat pertentangan yang hebat antara peyakin Al-Qur’an dengan para penyangkal Al-Qur’an. Saat tertentu para penyangkal Al-Qur’an di atas angin dan meremehkan para peyakin Al-Qur’an hingga terjadi peristiw 2 Desember 2016 yang menampakkan mukjizat Al-Qur’an itu nyata.
Saat betikutnya kaum penyangkal Al-Qur’an ini membalas dengan sistemtis dan desesif menargetkan setiap pemimpin peyakin Al-Qur’an itu. Puncaknya, kaum penyangkal Al-Qur’an ini berhasil menghancurkan karakter salah seorang pemimpin utama peyakin Al-Qur’an itu dengan modus permainan hukum positif. Merasa kurang puas, mereka maju selangkah untuk menghancurkan pimpinan sentral tertingginya dengan maksud supaya kaum 212 yang tipikal itu benar-benar hancur moral dan akar-akar sosiologisnya.
Tapi mereka tidak menyadari bahwa mereka tengah menghancurkan Islam di Indonesia. Mereka tengah menghancurkan atsar Tuhan di bumi yang sudah lama Al-Qur’an berjejak. Benarlah Allah bahwa mereka tidak akan ridla sampai para peyakin Al-Qur’an ikut plot mereka atau hancur dari hadapan mereka. Dan mereka membuktikan ayat Tuhan itu dengan terang sekali melalui tindakan, plot dan perkataan mereka. Akhirnya, arus balik dari yang mereka perdaya selama ini dengan obral rayu dan janji, bersikap dan sadar. Sejauh mana implikasi sadarnya kaum yang diperdaya oleh kaum penyangkal Al-Qur’an itu, masih kita tunggu.
Kembali kepada kaum mustahziin, netralis cum oportunis, kita mau bertanya, kemana kalian saat para peyakin Al-Qur’an bertempur sangat keras dengan kaum penyangkal Al-Qur’an? Tiba-tiba kalian mau dipilih menjadi penentu nasib masyarakat dan orang-orang utama di lingkungan kaum peyakin Al-Qur’an. Tiba-tiba kalian mengemis minta suara dari kaum peyakin Al-Qur’an saat suara dari basis sebenarnya kalian sudah diborong oleh para penyangkal Al-Qur’an.
Hendaklah hal ini dicermati. Karena kisah semacam ini telah dialami oleh Nabi pada periode dini perjuangan menegakkan agama. Selalu saja kaum mustahziin mengambil kesempatan untuk dirinya sendiri. (sed)