Nusantarakini.com, Jakarta – Negara Indonesia berdiri di atas tiga tiang. Pertama, umat Islam. Percayalah, jika bukan karena umat Islam yang merasa satu sama lain senasib dan seharapan, Negara Indonesia sudah lama roboh. Jika umat Islam di Aceh tidak merasa sehati dengan umat Islam di Tidore dan Maros, Negara Indonesia ini sudah lama runtuh.
Bukan tidak memperhitungkan umat agama lain. Sebab, umat Islam inilah yang terbesar dan paling tersebar. Dari pelosok hingga kota, dari lembah, dari pesisir hingga pegunungan, umat Islam menancap kuat. Merekalah yang menyatukan negara ini.
Jadi, jika ada usaha yang memecah belah umat Islam, ada upaya menekan dan memarginalkan umat Islam hari ini, menyusun basis politik dengan tendensi mengusir umat Islam dari ritme kekuasaan, disadari atau tidak, mereka yang melakukan itu sedang berupaya meruntuhkan tiang negara Indonesia. Maka sepantasnya mereka tidak dibiarkan. Membiarkan mereka dengan agenda semacam itu, sama dengan membiarkan pekerjaan mereka lancar meruntuhkan negara Indonesia.
Kedua, konstitusi 45. Konstitusi 45 telah dirusak dengan amandemen berkali-kali. Prinsip musyawarah mufakat yang tercermin dalam pembukaan konstitusi 45 tersebut, telah diubah menjadi prinsip adu kuat dan adu banyak suara. Asas kekuasaan hari ini menjadi kuantitatisme. Ujungnya duitisme. Karena suara dapat dibeli. Di celah inilah 9 naga, sorry, 9 rayap dapat menjalankan kekuasaannya dengan manipulatif.
Konstitusi 45 ini menjamin sebagai dasar penyelenggaraan negara. Sayangnya terlalu banyak penghianat di negeri ini sehingga konstitusi 45 tersebut rusak dan tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Ketiga, wilayah integral kepulauan nusantara. Di atas wilayah inilah penduduk Indonesia menyelenggarakan kehidupan sehari-harinya. Di atas wilayah kepulauan inilah penyelenggaraan negara Indonesia dilaksanakan.
Pelaksananya adalah rakyat dan pemerintah secara bersama-sama. Pemerintah bisa berganti dan bertukar, sesuai rezim dan kehendak rakyat yang seyogyanya diputuskan melalui musyawarah dan mufakat. Tapi sekarang mekanisme itu dihancurkan oleh para penghianat dan memberi peluang bagi berjalannya pengaruh para pemilik uang yang dicerminkan oleh segelintir orang saja.
Membebaskan negeri ini dari cengkeraman pemilik uang memang mendesak. Karena dengan bercokolnya pemilik kekayaan raksasa tersebut, maka Negara ini terhisap oleh parasit yang sangat merusak.
Mudarat hisapan mereka jauh lebih sadis dari pada manfaat pajak yang diberikan oleh mereka. Bahkan bukan rahasia umum, mereka suka mengemplang pajak.
Survive dan eksisnya mereka ini karena penghianatan segelintir penguasa yang bercokol di area pemerintahan dan hukum.
Sekarang umat Islam tengah bangkit. Umat Islam harus meluruskan kembali jalannya negara. Umat Islam harus membersihkan benalu dan rayap-rayap yang merongrong negeri mereka. Karena umat Islamlah yang paling berhak menegakkan tugas itu.
Karena itulah mereka, para rayap dan benalu itu, meradang dan mencoba melawan balik dengan mengerahkan apa saja, termasuk memperalat negara dan aparatusnya untuk menghancurkan tekad umat Islam. Tapi, sebenarnya mereka sedang berjudi nasib. Mereka hanya menaksir-naksir bahwa mereka dapat berhasil melakukannya.
Jaminan keberhasilan mereka tidaklah kuat. Karena yang mereka tegakkan hanya kebusukan yang makin lemah. 412 menjadi bukti peristiwa yang monumental bagaimana lemahnya kekuatan mereka. Bagaimana tidak, kekuasaan mereka berdiri tanpa fondasi moral.
Jika umat Islam berhasil menegakkan tugas sejarah mereka dalam menjaga tiang negara ini, harap mereka yang mengeruk keuntungan puluhan tahun dan menghisapnya tanpa jeda dan ampun, jangan lagi dibiarkan ada dan eksis.
Jadi, ingatlah dan camkanlah, tiang negara Indonesia ada tiga: umat Islam Indonesia, konstitusi 45 dan wilayah integral kepulauan nusantara. Kepulauan nusantara ini bukan wilayah kosong, tanpa pemilik tradisional dan tanpa adat istiadat yang satu sama lain saling terhubung.
Hanya sembilan rayap-rayaplah yang menganggap kepulauan nusantara bagaikan wilayah tak bertuan dan merasa berhak merampasnya. Sampai-sampai menyatakan ada 4.000 pulau belum bernama, maka boleh diobral ke asing. Terlalu, kata Bang Roma. Kalau kita bilang, terkutuk. (sed)