Nusantarakini.com, Jakarta – Rakyat paham apa yang akan mereka lakukan untuk membela diri dan nasibnya. Mereka bisa bersabar untuk suatu saat, namun tidak akan seterusnya, jika ambang batas sudah terlewati.
Akhir-akhir ini ada gejala yang patut jadi sorotan. Gejala itu adalah mulai turunnya jawara menunjukkan posisinya di hadapan tekanan politik.
Di Bekasi, tokoh jawara setempat, Damin Sada, sudah mendatangi kantor kaki tangan pemerintah yang berurusan dengan keamanan, untuk menantang organisasi yang telah melukai FPI dan Ulama, duel secara jantan.
Ini jelas bahasa kemarahan khas kaum jawara gentlement. Dan jika diperhatikan, para pesilat dan jawara Betawi telah lama bersinergi dengan FPI di dalam menegakkan marwah agama dan nasib umat Islam.
Apabila tren jawara yang keluar mendukung ulama, ini berarti situasi sudah genting layaknya situasi periode kekuasaan kumpeni.
Kekuasaan kumpeni asing Belanda yang bersekongkol dengan Cina, pernah menguasai ruas-ruas ekonomi dan lahan di tanah air. Bumi putera terpental dan diperbudak saat itu.
Akibatnya tumbuhlah perlawanan ulama yang bahu membahu dengan jawara. Sebab jawara dan ulama tidak bisa dipisahkan. Jawara memerlukan asupan spritual dari ulama, sedangkan ulama dan santrinya butuh kekuatan kanuragan dan keberanian jawara untuk menghancurkan kezaliman. Kadang-kadang, ulama juga sekaligus jawara seperti kisah KH. Noer Ali dan H. Darif.
Pemerintah silakan tutup mata dan silakan terus sesukanya dan tidak mengubah kezaliman yang makin kasar di rasakan rakyat akibat persekongkolan jahat kaum plutokratis dan pebisnis politik dan kekuasaan. Teruskan saja. Rakyat akan bisa mengakhirinya. Sebab rakyat punya pengalaman membasmi kejahatan yang menunggangi tangan-tangan negara. (sdf)