Nusantarakini.com, Jakarta – Belakangan ini tercermati ada upaya sistematis untuk menghidupkan isu Pancasila bukan untuk menerapkan secara tegas keadilan sosial yang masih terus terbengkalai akibat praktik oligarki, tapi untuk upaya menghalau setiap potensi oposisi pada pemerintah.
Mengejutkan sekali, tiba-tiba isu kesakralan Pancasila seakan-akan diatur ritmenya sedemikian rupa ke hadapan publik. Secara berturut-turut dapat dicatat misalnya, sepekan yang lalu, dikabarkan terjadi pelecehan terhadap Pancasila oleh tentara Australia. Akibatnya di luar dugaan, Panglima TNI bereaksi dengan sangat mengejutkan, menghentikan sementara kerjasama militer dengan Australia. Akhirnya, sikap Panglima TNI ini mencuatkan kembali isu Pancasila di publik.
Setelah itu, dalam waktu yang berdekatan, Mantan Presiden Megawati selaku Ketua Umum PDIP menyampaikan pidato yang juga cukup menghenyakkan. Dia bilang, tidak perlu jadi orang Arab untuk berislam.
Inti dari pidatonya ialah pentingnya Indonesia menegaskan identitasnya tersendiri di tengah menguatnya pergerakan yang didorong Islam. Hanya saja Megawati tidak menyatakan secara terus terang. Dia hanya menggunakan istilah pihak tertentu dengan ideologi tertutup. Betulkah tudingannya? Masih harus dibuktikan.
Di dalam pidato tertulisnya itu, tampak sekali bahwa pidato itu disusun oleh suatu penyusun yang terlatih berpikir Marxis. Hal itu terdeteksi dari pilihan diksi dan rasa bahasa yang digunakan. Cuma saja, tampaknya pidato yang bercita rasa marxis itu hanya diakomodir paragraf-paragraf awal. Setelahnya, cara berpikir Megawati yang mengikuti gaya Soekarno yang romantik dan heroik, tampak mulai aktual.
Tapi bagaimana pun meletakkan Pancasila sebagai jangkar kebhinnekaan masih senantiasa menjadi poin pidato tersebut. Padahal sejatinya, urusan utama Pancasila bukanlah soal itu, tapi urusan Keadilan. Bagaimana tidak, di dalam Lima Dasar atau Pancasila tersebut, terdapat secara eksplisit dua sila yang mengandung amanat tentang keadilan, yaitu sila kedua dan sila kelima.
Sebab sekarang ini, isu keberagaman dan kebhinnekaan banyak dimanipulir oleh sebagian pihak untuk mengamankan sepak-terjang mereka yang tak termaafkan dalam perkara mendominasi ekonomi dan politik di hadapan pribumi dan umat Islam. Hendaknya hal ini disadari semua pihak.
Setelah pidato Megawati sehari yang lalu mengenai Pancasila, besok kamis, Habib Rizieq, pemimpin terkemuka dari aksi damai umat Islam yang memprotes ketidakadilan hukum yang diterapkan, akan memenuhi panggilan penyidik Polda Jabar terkait isu Pancasila juga.
Dari rentetan peristiwa di atas, dugaan segera tak bisa disangkal, bahwa ada suatu rancangan besar politis memunculkan Pancasila sebagai batu penguji dan alat pemukul bagi siapa yang dipandang merugikan secara politik bagi yang sedang berkuasa. Wajarlah jika diambil kesimpulan bahwa Pancasila kembali digunakan sebagai alat untuk menghalau oposisi. Kalau itu betul, sungguh kolot dan stupidlah penguasa negeri ini. (sed)