Nusantarakini.com, Jakarta – Beberapa waktu yang lalu, sebuah majalah pendukung rezim menurunkan laporan tentang wabah hoax. Sebagaimana pola yang biasa terjadi, laporan majalah tersebut merupakan aba-aba yang dikemas berkesan masuk akal sebagai pembuka jalan bagi meluncurnya serangkaian agenda dari rezim.
Benar saja. Hari ini telah dimobilisasi warga untuk kampanye melawan hoax. Padahal belum tentu juga semua masyarakat tahu dan berkepentingan dengan hoax.
Hoax atau desas-desus sebenarnya penting sebagai pembanding bagi suatu informasi yang muncul. Lagi pula orang sekarang tidaklah gampang untuk percaya begitu saja dengan desas-desus, kecuali memang desas-desus itu koheren dan korelatif dengan info resmi yang beredar.
Yang Harus Diperangi Adalah Monopoli, Manipulasi dan Konspirasi Berita
Adalah lebay sekali jika pemerintah sampai-sampai menggunakan dana pajak untuk memobilisir masyarakat kampanye anti hoax. Apalagi dikomandani Menteri Kominfo pula, kayak tak ada kerjaan saja.
Justru yang harus diperangi adalah monopoli, manipulasi dan konspirasi poduksi suatu berita. Sudah biasalah suatu rezim berkonspirasi memproduksi suatu berita dengan suatu perusahaan informasi dan media dalam rangka memanipulasi opini. Gaya semacam itu sudah kuno dan gampang terdeteksi.
Jadi tak bisa ditutupi lagi, semakin serius rezim ini berkampanye perangi hoax, jangan-jangan pemerintah ini berdiri dulunya karena hoax. Siapa tahu?
Sebab biasanya sifat manusia begitu. Yang paling sensi terhadap korupsi, biasanya koruptor. Demikian juga yang paling sensi terhadah hoax, biasanya hoaxers juga. Katanya sih begitu. (sed)