Nusantarakini.com, Jakarta –
Kompas sebagai media yang lahir dari kepentingan Katolik, dalam perjalanannya memainkan secara halus penetrasi ideologinya kepada para pembacanya.
Kompas dengan unik berhasil menancapkan citranya sebagai bacaan yang tidak terafiliasi dengan kepentingan politik Katolik. Padahal hal itu sulit dibantah.
Dewasa ini, bisnis Kompas telah berkembang biak ke berbagai lini. Selain menganakpinakkan lusinan media cetak, elektronik yaitu TV dan online, grup ini juga memiliki bisnis perguruan tinggi seperti UMN, dan perhotelan seperti Santika dan Amaris. Jangan sebut penerbitan buka dan toko buku gramedia. Karena di situlah core bisnisnya. Semua lini bisnis Kompas tersebut menampung ribuan manusia yang tentu kebanyakan orang Muslim.
Jadi sebetulnya perkembangan bisnis Kompas ditopang oleh kaum Muslimin Indonesia, baik sebagai konsumen maupun sebagai penggerak roda produksi.
Kendati pun demikian kontribusi kaum Muslimin terhadap perkembangan bisnis Kompas, namun tidak jarang pemberitaan Kompas berseberangan dengan kepentingan kaum Muslimin.
Ahok yang dituntut kaum Muslimin supaya tidak dibela oleh media semacam Kompas, nyatanya Kompas nyaris sejajar dengan Metro TV sebagai media pembela Ahok.
Jika dirunut, masih banyak lagi pemberitaan Kompas yang bertentangan dengan kepentingan kaum Muslim Indonesia.
Itulah sebabnya, baik di masa Orde Baru apalagi di masa sekarang ini, ketidaksenangan kaum Muslim terhadap Kompas kerap muncul.
Mungkin kaum Muslim dapat merenungkan lagi, mengapa harus terus membiarkan Kompas berlaku bertentangan dengan kepentingan kaum Muslimin Indonesia. (rul)