Nusantarakini.com, Jakarta –
Waktu menunjukan pukul 08.00 WIB pagi. Perjalanan terus berlanjut menyusuri jalan Soekarno – Hatta Bandung. Antrian pejalan kaki semakin bertambah karena banyaknya yang bergabung di setiap titik sehingga kehebohan terjadi di sepanjang jalan yang terlewati.
Orasi di mobil komando terus dilakukan oleh Kyai Fatah bergantian dengan yang lain. Sedangkan saya dan adik saya Epung sudah tidak kuat lagi bersuara karena serak yang makin parah. Kalaupun dipaksakan serasa sakit di tenggorokan. Pada akhirnya nasyid aksi bela Islam dan nasyid wahai mujahid karya Hamka lebih banyak mengiringi perjalanan kami.
Kami para Kyai tetap berada pada garis depan dalam memimpin longmarch dengan tujuan agar semangat peserta tidak pernah kendor dan ingin memberikan pendidikan nyata bahwa pemimpin harus bertanggung jawab dalam segala hal dan berani mengambil risiko sepahit apapun demi kepentingan ummat yang lebih besar.
Terik matahari mulai menyengat ke sekujur tubuh, namun tiba-tiba awan menyelimuti langit kota Bandung. Kyai Titing menoleh ke arah saya sambil berkata, “Insya Alloh perjalanan kita ini diridhoi oleh Alloh.”
“Kenapa emang, kang?”
“Tanda-tandanya jelas awan melindungi kita sepanjang perjalanan ini, dan itu bukan faktor kebetulan. Semuanya atas seidzin Alloh,” ujar beliau.
Saya tertunduk sambil berjalan sesekali menatap ke atas sambil berkata, “Ya Robb, berkahi perjalanan kami dan mohon jaga dan bimbing kami agar hati ini tetap lurus demi membela agamamu.”
Sepanjang perjalanan masyarakat terus menyemut menyambut dengan pekikan Allohu akbar plus makanan dan minuman menumpuk. Namun lagi-lagi mobil tak muat lagi membawa logistik begitu banyak sampai ada ibu-ibu sambil menangis kepengen makanan itu dibawa kalaupun merasa ringkih. Makanan itu dibawa juga. Kita menghargai maksud baik pengorbanan saudara seiman. Subhaanalloh tabaarokalloh, sampailah kita di daerah sekitar Buah Batu. Rombongan ada yang nyegat. Bapak-bapak yang pakai baju batik korpri mengampiri saya, “Pak, maaf kepala Kemenag kota Bandung Drs. H. M. Yusuf ingin bertemu,” kata bapak tersebut.
“Oohh iya. Itu teman saya.” Begitu ketemu dengan kami langsung Kepala Kemenag merangkul kami sambil sesenggukan menahan tangis haru. Agak terbata-bata beliau berkata terima kasih. Salut luar biasa Kyai dan santri Ciamis telah menyadarkan kami arti sebuah perjuangan dan pengorbanan, beliau melirik pegawai yang di belakangnya sambil isyarat. Ibu-ibu yang di belakang mengahmpiri saya. “Pak, ini ada rizqi sedikit untuk bekal di jalan hasil urunan pegawai Kemenag Bandung.”
Sambil terharu saya ucapkan terima kasih. Tak henti-hentinya keajaiban dan pertulungan Alloh datang secara tidak disangka. Saya memanggil Kyai Endang yang jalan di belakang untuk menyimpan setiap amanah ummat ini.
Sudah hampir empat jam kami berjalan kaki, mulai terasa pegal, lutut terasa nyeri, perut sudah mulai keroncongan. Handhone disaku celana berdering. Sengaja nada deringnya diset nasyid, Untukmu Para Mujahid, biar iramanya menambah motivasi semangat jihad. Saya lihat nomornya tidak dikenal. Begitu dipijit tombol terdengar seseorang berbicara, “Assalamualaikum, Pak Kyai?”
“Waalaikum salam,” jawab saya.
“Ini saya dari aktivis Salman ITB, mau konfirmasi dimana istirahat?”
“Insya Allah kita akan istirahat di mesjid pertigaan Cibeureum, Pak. Ada apa, Pak?” tanya saya.
“Ini saya sudah menyediakan 4000 paket nasi untuk makan siang, Pak.”
“Oohh, terimakasih. Jazakumullohhh.”
Lagi dan lagi saya menangis. Baru saja perut terasa lapar, Alloh sudah langsung kirim jawaban lewat hambanya untuk jamuan makan siang. Nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang kalian sangkal?”
Tidak lama berselang sampailah kami di pertigaan Cibereum. Sebelum masjid kaum ibu-ibu dari Majlis Ta’lim menyemut menyambut kami pada menangis. Sesekali ambil photo kami. Pimpinan Majlis Ta’lim memasukan amplop ke saku kami sambil berujar, “Ini amanah dari ibu-ibu MT untuk mujahid Ciamis.”
“Jazajakumulloh, ibu. Semoga berkah, “saya menimpali. Mulut ini sudah kehilangan kata-kata untuk sekedar mengucapkan terima kasih. “Yaa Robb, apakah ini nikmat atau istidraj?”
Ujian manis datang bertubi-tubi pada kami apakah kami sanggup menjadi hamba yang bersyukur atau malah kami menjadi kufur? Begitulah gejolak bathin saya saat itu.
Sampailah kami di mesjid Cibeureum berbarengan dengan adzan dzuhur. Semua rebahan di pelataran dan emperan mesjid. Saya umumkan kita hanya istirahat satu jam dan dipersilahkan untuk mengambil wudhu terus sholat berjamaah dzuhur jama’ qoshor dengan Ashar sekaligus. Namun sebagaimana biasa, baru sepuluh menit di mesjid, seorang peserta melaporkan air di toilet masjid habis. Akhirnya kita yang belum wudhu terpaksa wudhu dengan air mineral.
Qomat dikumandangkan. Bertindak sebagai imam, Kyai Titing. Selepas sholat berjamaah, kita rebahan di dalam mesjid sambil ngobrol ringan. tiba-tiba dari belakang ada yang baca salam. “Asalamualaikum Pak Kyai.”
“Waalaikum salam,” jawab saya.
“Pak, saya yang tadi nelpon. Saya dari aktivis Salman ITB, sudah menyediakan makan siang untuk para mujahid.”
“Oohhh, baik akhi, jazakumulloh,” jawab saya.
“Pak, saya sengaja dari aktivis Salman menyembelih satu ekor sapi dan empat ekor domba. Disembelih sendiri dan dimasak sendiri oleh aktivis Salman. Kami belum tidur, kami ingin ambil bagian bersama kafilah mujahid Ciamis dan berharap Alloh mencatat kami termasuk Anshor bagi para Mujahid,” ujar orang itu.
Saya terdiam agak lama. Saya pegang tangannya lama sekali. Sambil berurai air mata disaksikan para Kyai, saya katakan, “Baarokalloh, hayyakalloh bilistiqomah.” Kita berangkulan dan peserta antri mengambil nasi kotak. Semua lahap menikmati sajian santap siang hadiah terindah aktivis Salman ITB. (sed)