Nusantarakini.com, Jakarta –
Peristiwa akbar aksi bela Islam 212 belum berlalu sebulan, namun lama-lama terasa makin sepi. Semoga saja tidak dilupakan seiring berjalannya waktu dan orang kembali sibuk menghadapi masalahnya masing-masing.
Orang Indonesia itu terkenal mudah lupanya. Setahun kelak, belum tentu orang akan mengenang dengan baik spirit dan akhlak 212. Sekarang saja mungkin orang sudah mulai lupa. Yang ada cuma ramai-ramai mau bikin tandingan indomaret dan alfamart. Padahal spirit 212 bukan itu.
Spirit 212 adalah hentakan keimanan yang meluap membabat semua penghalang yang dibuat-buat oleh manusia demi untuk mengunjukkan perasaan kecintaan terhadap Islam. Spirit 212 itu ya Jihad sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Jihad menegakkan harga diri umat. Jihad menegakkan amar makruf nahi munkar.
Sekarang kemanakah spirit jihad itu di tengah silih bergantinya isu yang menampar-nampar hari demi hari kaum muslimin Indonesia?
Adnin Armas seorang kolumnis menyarankan, umat tidak boleh saling tunggu. Tidak boleh menunggu aba-aba dari GNPF. Masing-masing dituntut kreatif untuk mengembangkan spirit dan akhlak 212.
Akhlak 212 itu nyatanya telah terwujud dengan baik menjelang dan saat aksi 212. Saling tolong menolong, saling melindungi dan saling menasehati nyata hadir dalam banjir makanan dan personel yang diberikan oleh umat pada aksi 212.
Hendaknya spirit dan akhlak yang luhur itu dapat dirawat dan diwariskan. Tidak hanya manifest pada saat haru-biru aksi 212 yang lalu itu.
Untuk hal itu, penting ditekankan untuk mendidik umat soal iman dan jihad. Dua hal ini merupakan api sebenarnya dari ajaran Islam.
Mendirikan alternatif minimarket tentu suatu inisiatif yang harus dihargai. Tapi jelas hal itu bukanlah solusi total atas masalah yang mendera umat hari ini.
Sebab seperti yang dikatakan Adnin Armas, mendirikan minimarket, bank dan media alternatif itu gampang. Tapi apakah sudah disiapkan bagaimana caranya mempertahankan eksistensinya nanti?
Yang paling penting sekarang adalah mengembangkan sistem bagaimana harta umat bersirkulasi di antara umat itu sendiri.
Bila umat ini memiliki ribuan pesantren, dapatkah ribuan pesantren itu saling berinteraksi secara ekonomi dalam semangat bukan persaingan tetapi saling melengkapi. Misalnya, jika satu pesantren fokus pada produksi pakan ikan, maka pesantren lain, fokus pembesaran ikan. Pesantren berikutnya fokus pemasaran ikan segar. Pesantren selanjutnya fokus nilai tambah seperti pengolahan ikan menjadi makanan yang bervariasi.
Eksprimen semacam itu saja dicoba, sudah sangat lumayan. Sebab pesantren itu memiliki santri, alumni, jamaah, influencers, sumber daya dan kemampuan yang layak dipertimbangkan.
Sayangnya memang hal semacam ini kurang tertangani. NU misalnya, dengan sekian ratus pesantren yang terkumpul di bawah payung NU, bukannya menjadi mercusuar ekonomi umat, malahan menjadi pasar yang empuk bagi orang lain. (sed)