Nusantarakini.com, Jakarta-
Lain ladang lain belalang, lain Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, lain pula dengan Bos Jawa Pos Group Dahlan Iskan. Meski keduanya sama-sama membacakan eksepsinya. Keduanya sama-sama mengeluarkan buliran air mata. Namun masyarakat bisa menilai, jenis air mata apakah yang keluar dari mereka berdua.
Ahok membacakan eksepsinya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sedangkan Dahlan Iskan membacakan eksepsi atau nota keberatan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya, Selasa (13/12) sekitar pukul 10.00.
Kendati terdengar dengan suara tegas dan lantang saat membacakan semua catatannya. Namun, beberapa kali Dahlan Iskan terpatah-patah dalam membacakan eksepsinya karena tak kuasa menahan tangis.
Mau tahu perbedaan eksepsi antara Ahok (seperti yang sudah diberitakan Nusantarakini.com kemarin) dengan eksepsi Dahlan Iskan? Silahkan simak selengkapnya di bawah ini:
Majelis Hakim Yang Mulia, marilah bersama-sama kita cegah berkembangnya kebingungan masyarakat dalam hal penanganan korupsi. Terutama yang ditangani oleh kejaksaan.
Ada kasus yang terang-benderang dan sangat jelas permainannya, tapi hanya diusut-usut, diubek-ubek, dihaha-huhu, dan ujung-ujungnya D (duh), tidak jadi perkara.
Sebaliknya ada yang dengan jelas sulit disebut korupsi justru diperkarakan. Dengan menggunakan segala cara. Dan untuk memperkarakannya menggunakan uang negara pula. Jaksa menanganinya dengan tergopoh-gopoh. Sampai mengabaikan hak tersangka.
Gaya kejaksaan seperti itu, Yang Mulia, yang membingungkan masyarakat. Masyarakat yang modal utamanya adalah hati nurani, dan akal sehat dibuat bingung karena sering disuguhi oleh ulah kejaksaaan yang seperti itu. Yakni bagaimana mengobyekkan korupsi demi kerakusan politik, kerakusan jabatan maupun kerakusan harta.
Dengan ulah kejaksaan seperti itu, Yang Mulia, berarti kejaksaan telah menghancurkan semangat anti korupsi di kalangan masyarakat. Masyarakat bisa apatis. Bahkan masyarakat akhirnya percaya pada istilah nasib-nasiban.
Masyarakat akhirnya bisa percaya bahwa orang yang diperkarakan kejaksaan itu belum tentu karena harus diperkarakan tapi hanya karena nasibnya saja yang apes. Lagi salah mongso. Atau lagi dimangsa. Atau hanya karena tidak mau menyogok. Atau bahkan karena tidak mampu menyogok.
Alangkah tragisnya negeri ini, Yang Mulia, setelah hampir 20 tahun reformasi, setelah lima presiden silih berganti, sampai presiden yang program utamanya adalah revolusi mental, masih juga begini-begini.
Yang Mulia, 16 tahun yang lalu. Saat para jaksa ini mungkin masih remaja. Saya diminta untuk membenahi perusahaan daerah Jatim yang lagi sakit.
Kenapa harus saya? Gubernur Jatim menjawab karena Perusda Jatim dalam keadaan sakit parah. Sakit yang menahun. Gubernur mengatakan Perusda harus diubah secara drastis. Aset-asetnya hanya banyak yang jadi beban perusahaan. Harus dikonsolidasikan. Perusahaan daerah harus dikelola seperti perusahaan swasta. Baru bisa maju.
Mengapa mereka mengubah Perusda menjadi PT? Mereka menjawab bahwa dengan status PT, Perusda akan bisa keluar dari kesulitan yang sudah dialaminya bertahun-tahun. Dengan status PT Perusda bisa membuat keputusan lebih cepat. Birokrasi tidak perlu berbelit-belit.
Dengan bentuk PT keputusan tertinggi ada di lembaga RUPS. Bukan di DPRD lagi. Begitulah asbabun nuzulnya, Yang Mulia mengapa gubernur maunya begitu. Mengapa DPRD maunya begitu. Itu bukan mau saya.
Cetho welo-welo.
Meski sudah cetho welo-welo seperti itu, tetap saja saya diperkarakan. Dengan dakwaan “menjual aset Pemda tanpa persetujuan DPRD”. Bingung, Yang Mulia.
Tahun 2001, yaitu 15 tahun yang lalu, RUPS PT PWU, sudah memutuskan agar aset yang diperkarakan ini dilepas. Mestinya saat itu saya sudah bisa melepaskannya. Toh aset itu aset PT, bukan aset Pemda. Tidak ada di dalam daftar aset Pemda tercamtum aset tersebut.
Toh saya masih hati-hati. Saya masih berkirim surat ke DPRD: Apakah untuk melepaskan aset yang sudah diperintahkan oleh RUPS tersebut masih harus melalui persetujuan DPRD?
Surat yang saya kirim di bulan Maret 2002 tersebut baru dibalas di bulan September. Enam bulan kemudian. Saya sabar menunggu jawaban itu. Saya belum mau menjalankan perintah RUPS tersebut sebelum ada balasan dari DPRD. Saya memaklumi DPRD perlu waktu yang panjang karena untuk menjawabnya harus dibahas dulu dalam mekanisme internal DPRD.
Jawaban DPRD itu akhirnya saya terima. Jawabannya jelas sekali. Saya diminta berpegang pada UU PT. Berarti tidak perlu persetujuan DPRD. Begitu jelasnya, Yang Mulia, cetho welo-welo.
Yang Mulia, selanjutnya saya sebenarnya tidak ingin mengungkapkan yang berikut ini.
Saya takut kalau saya ungkapkan sia-sialah makna pengabdian saya. Tapi untuk menunjukkan apakah saya punya niat untuk korupsi tampaknya harus saya ungkapkan.
Selama menjabat Dirut PT PWU saya tidak mau digaji Yang Mulia. Saya juga tidak mau diberi fasilitas apa pun. Perjalanan dinas pun saya biayai sendiri. Termasuk perjalanan dinas luar negeri.
Saking sulitnya PT PWU di tahun 2000 itu, Yang Mulia, sampai saya memutuskan agar kebiasaan memberi sekedar bingkisan lebaran kepada para pejabat daerah pun harus dihentikan. Beratnya lagi Yang Mulia Pemda sudah tidak mau menyediakan modal tambahan.
Bank juga tidak mau memberi kredit. Tentu saja bank tidak percaya pada PT PWU. Kredit macetnya masih banyak. Tapi perusahaan ini harus sembuh dari sakitnya. Harus bisa bangkit.
Akhirnya, saya pribadi, Yang Mulia, harta saya pribadi saya jaminkan ke bank. Bank BNI akhirnya memberi kredit Rp 40 miliar dengan jaminan pribadi saya untuk membangun pabrik steel conveyor belt.
Ini bersejarah bagi PWU dan bagi Jatim. Inilah satu-satunya pabrik serupa di Indonesia. Sejak itu Indonesia bisa tidak perlu lagi impor steel conveyor belt.
Ketika melihat aset PWU yang kumuh, berbau, dan jadi sumber polusi di Jalan A Yani Surabaya, saya memutuskan untuk membangun gedung Jatim Expo di atasnya. Sebagai propinsi terbesar kedua di Indonesia, Jatim belum punya fasilitas ekonomi seperti itu.
Tapi PWU tidak punya uang. Bank juga belum percaya kepada PT PWU. Untuk memulai pembangunan gedung Jatim Expo tersebut, Yang Mulia, saya jaminkan deposito pribadi saya sebesar Rp 5 miliar. Jadilah sekarang gedung Expo Jatim yang megah itu.
Sebenarnya masih ada yang lebih besar lagi pertaruhan harta saya untuk membuat PWU tidak terpuruk. Tapi izinkan yang satu ini tidak saya ungkap agar masih ada tersisa pahala untuk saya di sisi Yang Maha Kuasa. (Dahlan menangis)
Yang Mulia, semua itu tidak penting. Yang penting adalah, jangan bikin masyarakat bingung. Jangan bikin masyarakat apatis. Jangan bikin masyarakat akhirnya lebih percaya pada unsur nasib-nasiban daripada percaya pada hukum.
Bagaimana caranya? Saya yakin Yang Mulia lebih tahu caranya. Orang-orang yang hadir di sidang ini juga tahu caranya. Di sini hadir tokoh-tokoh hukum seperti Pak Mahfud MD dan Pak Abraham Samad dan tokoh-tokoh hati nurani seperti Gus Mus, Gus Ali, bang Haji Rhoma Irama dan Prof Effendi Gozali,
Jangan bawa perkara seperti ini masuk ke pengadilan (Dahlan menangis). Kalau pun sudah terlanjur jangan diteruskan.
Jangan sampai pengadilan ini menjadi pengadilan sesat.
Maksud saya bukan hanya perkara saya ini saja, tapi juga perkara-perkara sejenis ini yang banyak sekali terjadi di negeri ini. Kita bantu bapak presiden untuk revolusi mentalnya. (*mc)