Nusantarakini.com, Jakarta – Rezim Jokowi yang tulang punggung politiknya adalah PDIP dan merupakan antitesa dari Orde Baru, tentu agenda utama setelah berkuasa ialah mengokohkan dan memperbanyak pilar-pilar kekuasaannya, baik dari dalam maupun dari luar.
Salah satu pilar kekuasaan dari luar yang dibangun oleh rezim Jokowi ialah dukungan politik strategis dari China. Dukungan politik strategis dari China penting, tidak saja karena secara spirit memiliki kesamaan dengan elemen rezim Jokowi, tapi juga dalam rangka meningkatkan bargaining rezim Jokowi di hadapan Amerika sebagai sekutu organik bagi rezim Orde Baru yang merupakan saingan dan lawan rezim Jokowi.
Masalahnya tidak ada yang gratis dalam hubungan timbal-balik politis. Sekalipun China juga memerlukan persekutuan dengan rezim Jokowi, namun harus ada bukti dan simpul yang mengikat persekutuan di antara mereka.
Simpul persekutuan itu adalah Ahok. Ahok bagi China adalah pembuktian atas perwujudan persekutuan rezim Jokowi dengan China. Adapun bagi rezim Jokowi, Ahok adalah tanda mata dan balas budi bagi jasa China yang telah membina persekutuan strategis antara China dan rezim Jokowi. Intinya, Ahok adalah prasasti hidup atas persekutuan rezim Jokowi dengan China.
Itulah sebabnya, keberadaan Ahok sebagai penguasa DKI dan mungkin akan meningkat ke level yang lebih tinggi, sedaya mungkin akan diamankan oleh rezim. Bila Ahok terpental, maka persekutuan antara rezim Jokowi dengan China juga berguncang.
Karena itu, Ahok akhirnya merasa bagaikan putri kesayangan yang mendapatkan perlindungan rangkap, baik dari China maupun dari rezim Jokowi. Ahok bagaikan anak hasil perkawinan silang antara dua kepentingan besar lintas negara. Jadilah dia menggila karena merasa istimewa dan kuat.
Sekarang kecerobohan dan kepongahannya tengah dilawan oleh rakyat Indonesia yang telah muak dengan sikap pongah dan tipu daya rezim. Akankah tanda mata rezim Jokowi untuk China itu akan terlempar, waktulah yang akan menjawabnya. (sed)